Connect with us

Berita

Gus Nadirsyah, Ibadah Puasa Dapat Mengendalikan Syahwat Kemanusiaan

Published

on

Jakarta, JATMAN Online – Gus Nadirsyah Hosen menjelaskan Ibadah puasa ini salah satu latihan untuk mengendalikan syahwat kemanusiaan kita. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya menjelaskan bahwa puasa itu bertujuan supaya manusia tidak terjerumus syahwatnya.

“Itu sebabnya perkara yang halal sekalipun -seperti makanan, minuman dan seks – diminta kita untuk menahan diri di siang hari, apalagi terhadap hal yang haram,” tulis Gus Nadir melalui akun Facebooknya, dikutip JATMAN Online, Senin (11/04).

Menurutnya syahwat adalah bagian dari tabiat naluri manusia. Tidak ada manusia yang tidak punya syahwat.  Jika setan itu musuh yang menggoda dari luar–yang di bulan Ramadan ini dibelenggu–, maka syahwat itu tantangan dari dalam diri sendiri, yang terus menggoda.

“Jika setan bisa diusir, maka syahwat tidak bisa. Itulah yang paling berat; melawan syahwat alias hawa nafsu,” ujar Rais Syuriah PCI (Pengurus Cabang Istimewa) Nahdlatul Ulama (NU) di Australia dan New Zealand.

Dosen Monash University ini mengingatkan Islam hadir bukan untuk menutup pintu syahwat tapi untuk mengontrol alias mengendalikan dan menyalurkannya dengan tepat dan proporsional.

Lanjut, Alumni UIN Jakarta ini, pada bulan puasa, justru kebutuhan rumah tangga meningkat. Ketika kita sudah berpuasa di siang hari, syahwat kita memuncak untuk menikmati hidangan yang sejatinya tidak pernah hadir di meja makan kita di luar Ramadan.

Timun suri, kolak pisang, kurma, es kelapa muda –sekadar menyebut hidangan takjil. Belum lagi hasrat untuk membeli pakaian serba baru, dan di penghujung Ramadan nanti, tradisi mudik juga mengeluarkan biaya yang tak sedikit.

“Puasa tak lagi sekadar ritual, tapi sudah menjadi bagian dari budaya konsumerisme. Celakanya, harga bahan pokok pun meningkat tajam mengikuti kaidah supply dan demand”, terangnya.

Gus Nadir menjelaskan selain syahwat yang berupa naluri manusia seperti makanan, minuman dan seks, terdapat pula syahwat jenis lain yang mengintai kita, yaitu syahwat kekuasaan. Terkenal adagium bahwa “Semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila kau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan”.

“Puasa selalu diberi makna sebagai bagian dari solidaritas sosial dimana kita belajar merasakan kesengsaraan orang fakir-miskin yang sepanjang tahun “berpuasa” dari kebutuhan dasar manusia. Kita berlatih merasakan pedihnya penderitaan mereka selama sebulan di bulan Ramadan. Dan umumnya kita bisa lulus ujian ‘kesengsaraan’ ini,” ucapnya.

Akan tetapi, kita boleh jadi gagal dalam ujian syahwat kekuasaan. Merasakan pedihnya penderitaan orang lain tidak akan ada artinya kalau kita gagal mengubah ketimpangan sosial yang ada. Yang fakir dan miskin pada bulan Ramadan tahun lalu, boleh jadi kini bertambah banyak jumlahnya.

“Alih-alih membantu mereka agar keluar dari garis kemiskinan, kita malah menjadikan kepedihan hidup mereka sebagai cara mendekatkan diri kita pada Tuhan di bulan Ramadan. Tentu menjadi ironis bukan?,” ujarnya.

Gus Nadir berpendat, itu sebabnya bulan Ramadan tidak hanya berisi menahan syahwat, tapi kita juga diwajibkan menolong fakir dan miskin lewat zakat fitrah. Tapi tidak mungkin rasanya kita menghapus ketimpangan sosial hanya lewat beras 2-3 kg saja.

“Ketimpangan sosial terjadi akibat sebagian pihak tidak bisa menahan syahwat kekuasaannya sehingga kue pembangunan hanya dirasakan oleh segelintir elit semata,” kata Gus Nadir.

Gus Nadir berpesan, ibadah di bulan Ramadan sebaiknya mampu membuat para elit di negara kita untuk tidak hanya menahan syahwat berupa makanan dan seks semata, tapi juga menahan diri dari terus memperkaya diri, atau hendak memperpanjang jabatan, dan lalu melupakan pelayanan terbaik untuk rakyat.

“Puasa mengajari kita untuk mengubah kekuasaan dari sekadar syahwat menjadi maslahat untuk semuanya,” ungkapnya. 

Berita

Hadiri Ngaji Bulanan Pesma Daarusshohabah, Kiai Nafi Jelaskan Pentingnya Tasawuf

Published

on

Jakarta, JATMAN Online – Khodimut Thariqah Naqsabandiyah KH. Ahmad Nafi menjelaskan setelah tarbiyah syariat, selanjutnya tarbiyah qulub. Ilmu tasawuf, memperbaiki nafsu, membuka hijab. Orang yang sudah bersyariat, berfiqih, bertasawuf maka itulah orang yang sampai pada hakikat.

“Hakikat adalah sempurnanya iman. Yakni, dalam kitab Lathoiful Isyaroh, hidupnya kalbu bersama Allah kapanpun, dimanapun, dengan siapapun. Kita tidak hanya mencegah hawa nafsu saat ibadah, tapi saat dalam pekerjaan,” kata Kiai Nafi saat mengadiri Pengajian Bulanan di Pesantren Mahasiswa Daarusshohabah, Jalan Pemuda Asli II No. 20 RT 03/03, Rawamangun, DKI Jakarta, Kamis (14/09/2023).

Pengasuh PP Raden Rahmat Sunan Ampel Jember ini menyampaikan kalau baik dengan orang yang baik itu wajar. Kalau hati bersih, ketemu orang maksiat atau buruk atau kriminal saja selalu husnuzon.

“Gimana caranya bersih hati? Kita harus tawadlu berhadapan dengan orang maksiat. Itu diterangkan dalam kitab Nasoihul ibad, caranya lihatlah bahwa rahmat Allah mungkin diberikan pada siapapun yang dikehendaki-Nya, sekalipun manusia itu ahli maksiat. Jika dia mendapat hidayah, bisa husnul khatimah. Kita tidak bisa menjamin bisa husnul khotimah,” jelasnya.

“Bencilah pada perilakunya, jangan benci pada orangnya. Ketika kita tidak bisa tawadlu, berarti ada kesombongan dalam hati,” tambahnya.

Menurut Kiai Nafi, cita-cita mulia adalah baik di dunia dan akhirat, tercegah dari neraka, masuk surga tanpa melihat neraka, tanpa hisab. Gimana caranya? Jadilah orang-orang pilihan Allah. Jadilah orang-orang yang shalih (ibadah dan muamalah).

“Ibadah jangan jasmani saja, isi juga dengan ruhaniyah, sambung dengan Nur Nabi, yakni sambunglah dengan orang-orang yang menjadi jalan menuju Allah. Jadilah orang yang bisa menjadi sahabat terbaik bagi semua orang,” ungkapnya.

Continue Reading

Berita

Sebarluaskan Tarekat, JATMAN Jateng dan DIY Gelar Manaqib Kubra

Published

on

Semarang, JATMAN Online – Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al Mu’tabaroh an Nahdliyyah (JATMAN) Idaroh Wustho Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY) menggelar Manaqib Kubro di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Nyatnyono, Ungaran, Semarang, Sabtu (9/9/2023).

Manaqib Kubro, Istighosah, Bahtsul Masail, Temu Mursyid, dan Pengajian Akbar murupakan kegiatan rutin keliling 6 bulan sekali di 41 Syu’biyyah yang ada di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Manaqib Kubro ini turut dihadiri oleh perwakilan pengurus Idarah Aliyyah, pengurus Idarah Wustho Jateng dan DIY, Pengurus Syu’biyyah, para masyaikh dan habaib, serta TNI – Porli setempat dan tamu undangan lainnya.

Menurut Mudir JATMAN Jateng KH Ahmad Sa’id Lafif, Musyawarah Idaroh Wustho merupakan program JATMAN yang rutin dilakukan satu tahun dua kali.

“Program ini akan berkelanjutan terus menerus merupakan bagian Khidmah kita terhadap Thoriqoh.Musyawarah Idharoh Wustho ini bentuk komunikasi yang baik, sehingga menjalankan JATMAN Jateng berkembang pesat memberikan manfaat bagi masyarakat luas,’’ katanya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal JATMAN Idaroh Aliyyah KH. Mashudi dalam sambutannya menyampaikan atas nama JATMAN Idaroh Aliyyah mengapresiasi kegiatan pengajian akbar dan manaqib kubro ini

“Sejak pagi sampai sekarang dengan pengajian akbar dan tadi kita mengikuti bersama-sama maulidurrasul, kami yakin bahwa ini adalah arena untuk menjadikan majelis ini majelis yang mubarak. Sepulang dari mejelis ini semuanya diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala,” katanya.

Kiai Mashudi menjelaskan mejelis seperti inilah yang dikemas dan dikawal oleh JATMAN menjadi salah satu ngerem datangnya kiamat.

“Tidak akan terjadi kiamat selagi masih ada orang yang wirid dzikir Allah, Allah, Allah. Itulah garapan dari JATMAN, mengistiqomahkan wirid. Jadi, barangsiapa yang diberikan kekuaran berdzikir maka yang bersangkutan akan diberi tanda-tanda kewalian,” jelasnya.

“Jadi, JATMAN itu bukan hanya diikuti oleh bapak-bapaknya saja tapi ibu-ibunya juga berthoriqoh. Polisi berthoriqoh, tantara berthoriqoh. Mari kita do’akan dengan didampingi TNI-POLRI JATMAN semakin besar. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin,” tambahnya.

Mudah-mudahan majelis ini, lanjutnya, menjadikan kita semakin cinta kepada Rasululah shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika kita berkhidmah kepada Allah maka segala sesuatu akan tunduk kepada kita.

“Itulah sebabnya JATMAN sedang mengembangkan salah satu lajnah, yaitu lajnah Wathonah (Wanita Thoriqoh an Nahdliyyah). Kemudian lajnah MATAN (Mahasiswa Ahlith Thoriqoh al Mu’tabah an Nahdliyyah),” paparnya.

“Mudah-mudahan semua program yang sudah direncanakan oleh Idarah Aliyyah berserta Idaroh Wustho, Syu’biyyah, Ghusniyyah, dan Sa’afiyyah Se-Indonesia dimudahakan Allah dan akhirnya JATMAN menjadi jam’iyyah salah satu yang bisa mengamankan Indonesia yang kita cintai ini, menjadi Indonesia semakin hebat dan maju,” ungkapnya.

Continue Reading

Berita

Gus Yaqut Ajak Umat Islam Gelar Shalat Istisqa

Published

on

By

Jakarta, JATMAN Online – Seiring dengan kemarau panjang yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, yang membuat sejumlah wilayah mengalami kekeringan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) mengajak umat Islam untuk menggelar Shalat Istisqa atau shalat meminta hujan.

“Kementerian Agama mengajak umat Islam untuk melaksanakan Shalat Istisqa atau shalat meminta hujan,” kata Gus Yaqut di Jakarta, Jumat (15/09).

Ia mengatakan sesuai dengan namanya, al-istisqa’, adalah meminta curahan air penghidupan (thalab al-saqaya). Para ulama fikih mendefinisikan Shalat Istisqa sebagai shalat sunah muakkadah yang dikerjakan untuk memohon kepada Allah SWT agar menurunkan air hujan.

Shalat Istisqa pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW, seperti yang dikisahkan lewat hadis riwayat Abu Hurairah RA.

Menurut Gus Yaqut, Shalat Istisqa menjadi bagian dari ikhtiar batin sekaligus bentuk penghambaan kepada Allah SWT.

“Memohon agar Allah menurunkan hujan yang lebat merata, mengairi, menyuburkan, bermanfaat tanpa mencelakakan, segera tanpa ditunda. Amin,” ujarnya.

Adapun pelaksanaan Shalat Istisqa sama dengan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Sesudah Takbiratul Ihram, melakukan takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua.

Setelah membaca Surat Al-Fatihah dan lainnya, lalu rukuk, sujud hingga duduk tahiyyat kemudian salam.

Khatib lalu menyampaikan khutbah sama seperti khutbah Idul Fitri dan Idul Adha. Khutbah dianjurkan mengajak umat Islam untuk bertobat, meminta ampun atas segala dosa, serta memperbanyak istighfar dengan harapan Allah SWT mengabulkan apa yang menjadi kebutuhan umat Islam dan makhluk hidup lainnya pada saat kemarau panjang.

Continue Reading

Facebook

Arsip

Trending