Connect with us

Hikmah

Habib Puang Makka: Pahami Islam Secara Kaffah

Published

on

Dalam al-Quran dijelaskan, masuk Islamlah kamu secara kaffah. Lalu, apa itu kaffah? Ada tiga unsur fundamen dinul haqq, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Kita perlu mengetahui Islam dengan baik dan benar melalui pendekatan Ilmu Fiqh. Kita perlu mengetahui iman dengan baik dan benar melalui pendekatan Ilmu Kalam dan kita perlu mengetahui ihsan dengan baik dan benar melalui pendekatan Ilmu Tasawuf. Inilah tiga kekuatan yang harus didoktrinkan kepada kita yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang kita nikmati manisnya sekarang.

Halawatul (manisnya) Islam, Halawatul (manisnya) Iman, Halawatul (manisnya) Ihsan itu dapat dirasakannya Islam dengan baik, dapat dinikmatinya Iman dan Ihsan itu dengan baik oleh jiwa kita, dan itulah wilayah thariqah.

Jadi wilayah thariqah itu adalah wilayah rasa. Berbicara rasa kedudukannya qalbu (hati). Kalau wilayah fiqih kedudukannya di akal. Thariqah kedudukannya di hati, dirasakan, bukan dipikirkan. Tetapi dua kekuatan ini, yaitu kekuatan pikiran di satu sisi dan kekuatan qalbu di sisi yang lain, itulah yang dinamakan dengan ibadah.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad saw. bersabda,

ان تعبد الله كانك تراه فان لم تراه فانه يراك

“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah Engkau melihatNya (Allah). Jika pun belum bisa melihatNya, maka yakinlah bahwa Ia (Allah) melihatmu”

Hadis di atas adalah dalil ihsan. Adapun lafaz An Ta’budallah itu bermakna umum. Semua penyembahan kepada Allah, termasuk shalat, puasa, haji, zakat, syahadatain sewaktu tahiyat, dan apapun yang merupakan ibadah mahdhah, kita pasti berhadap-hadapan pada suasana tersebut.

Kekhusyukan hati itu bukan hanya waktu shalat. Sewaktu mengeluarkan zakat, maka khusyukkan hatimu. Sewaktu menunaikan puasa, maka khusyukkan hatimu. Sebab itu adalah satu rangkaian penyembahan. Karena selama ini kita sering salah paham jika yang perlu khusuk itu hanya shalat.

Begitu juga sewaktu melakukan haji, maka khusyukkan hajimu. Bahkan dalam Kitab Haqiqatul Hajj, Syekh Yusuf Maqassari menjelaskan ‘Al-Hajju Arafah’, bukan Al-Hajju fil Arafah. Yang dimaksud Arafah bukan hanya sekedar tempat. Pada hakikatnya haji adalah pertemuan seorang hamba dengan Tuhannya. Untuk bisa bertemu, ia harus wukuf, berhenti dari urusan duniawi. Maka ia baru bisa mengenal Tuhannya dengan baik dan benar. Jadi kekhusyukan sangat dibutuhkan.

Adapun thariqah dan kekhusyukan adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena kedudukannya di hati dan perlu diolah dengan baik. Jika ada ahli thariqah yang masih memiliki sifat dengki, hasad, ujub, sombong, sudah pasti itu hanya casingnya saja yang thariqah. Maka dari itu Rasulullah saw. amat menitikberatkan pada innamal a’malu binniat, karena urusan niat adalah urusan hati. Inilah yang perlu diasah oleh para salik, murid, badal, khalifah dan mursyid.

Selain kuat di dalam urusan ikhtiar (urusan otak), orang thariqah juga harus mengasah hati. Sebab itu kita perlu memaksimalkan pikiran kita dengan ikhtiar dan mengoptimalkan hati kita dengan zikir, bermunajah, berdoa kepada Allah Swt. Sehingga ketika kita terbentur pada urusan logika, maka secara otomatis kekuatan logikanya akan pindah ke dalam kekuatan hati. Itulah orang thariqah.

Untuk itu, jangan sampai ilmu hanya keluar dari lisan dan otak saja. Karena yang paling penting adalah bagaimana ilmu keluar dari hati. Jika hanya lisan yang menyampaikan, maka orang lain hanya menerima dengan otaknya saja. Tetapi jika ilmu keluar dari hati dan pikiran, maka orang lain juga akan menerima dengan hatinya, itulah keberkahan.

Banyak ilmu kalau tidak ada berkah kita akan menjadi sombong, banyak harta kalau tidak ada berkah kita akan menjadi angkuh, memiliki tinggi jabatan kalau tidak ada berkah kita akan menjadi zalim pada jabatan kita. Yang kita buru adalah keberkahan dari Allah Swt. yang dudukannya di otak dan hati kita.

Disarikan dari penjelasan Sayyid Abdurrahim Assegaf (Habib Puang Makka)

Hikmah

Bulan Maulid 1445 H, Habib Umar bin Hafidz Ijazahkan Shalawat Khusus Ibrahimiyah

Published

on

Habib Umar bin Hafidz dikenal sebagai seorang ulama keturunan Ba Alawi yang nasabnya sampai kepada Rasulullah Saw.

Habib Umar bin Hafidz mengajar tentang tasawuf dan kehidupan spiritual. Ia menghabiskan masa mudanya untuk memperdalam ilmu agama di bawah bimbingan ayahnya dan para ulama terkemuka di Kota Tarim.

Pada bulan Rabiul Awal 1445 H Habib Umar mengijazahkan Shalawat khusus Ibrahimiyah dibaca minimal 3000 kali. Bagi mereka yang banyak membaca akan mendapatkan banyak keutamaan dari Allah Ta’ala.

Adapun teks bacaan Shalawat Khusus Ibrahimiyah 1445 H sebagai berikut :

اللهُمَّ يا خَيرَ الناصرين، نسألكَ بِكَ أن تُصلِّيَ وتُسَلِّمَ على عَبدِكَ وحَبِيبِكَ سيِّدِنا محمدٍ وعلى آلهِ وصحبهِ، صلاةً تنصُرُنا بها بِما نَصرْتَ بهِ المُرسلِين، وتحفظُنا بها بِما حَفِظْتَ بهِ الذِّكرَ، يا قويُّ يا مَتِين.

“Ya Allah, Dzat sebaik-baiknya penolong, kami meminta kepada-Mu semoga shalawat dan dalam tercurahkan kepada hamba-Mu, kekasih-Mu junjungan Nabi Muhammad serta keluarga dan sahabatnya. Shalawat untuk memenangkan kami sebagaimana Engkau telah memenangkan semua urusan-Mu dan dengan itu Engkau akan melindungi kami dengan apa yang telah Engkau pelihara Ingatannya, Wahai Yang Maha Perkasa, Wahai Yang Maha Kokoh.”

Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dilahirkan di Tarim pada Senin, 4 Muharram 1383 H atau 27 Mei 1963 M. Habib Umar resmi mendirikan Darul Musthafa pada Selasa 29 Dzulhijjah 1417 H/6 Mei 1997 M.

Sejak belia, beliau telah mempelajari sejumlah ilmu agama seperti Al-Hadist, Fiqih, Tauhid dan Ushul Fiqih dari lingkungan keluarganya sendiri, terutama dari ayahnya, Muhammad bin Salim yang merupakan seorang Mufti di Tarim.

Keluarganya bermazhab fikih Imam Syafi’i. Mereka termasuk kalangan Ahlussunnah waljama’ah dengan kecenderungan pada Thariqah Bani Alawi (Alawiyah).

Selain dari Ayahnya, pada masa itu ia juga belajar dari tokoh-tokoh lainnya seperti Al-Habib Muhammad bin Alawi bin Shihab al-Din, Al-Habib Ahmad bin Ali Ibn al-Shaykh Abu Bakr, Al-Habib Abdullah bin Shaykh Al-Aidarus, Al-Habib Abdullah bin Hasan Bil-Faqih, Al-Habib Umar bin Alawi al-Kaf, al-Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad, dan ulama lain di Tarim.

Penulis: Abdul Mun’im Hasan
Editor: Khoirum Millatin

Continue Reading

Hikmah

Syekh Usama Kisahkan Imam Layts bin Sa’ad: Ulama Sufi Kaya yang Tak Wajib Zakat

Published

on

Syekh Usama Sayyid al-Azhari mengisahakan bagaimana dermawannya Imam Layts bin Sa’ad yang hidup sezaman dengan Imam Malik.

Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i bahwasanya Imam Layts bin Sa’ad adalah ulama yang amat faqih dan kepakarannya melebihi Imam Malik. Ia adalah pimpinan ahli fikih, hadis dan banyak disiplin ilmu pada masanya yang banyak menjadi rujukan bagi umat Islam pada saat itu.

Di samping karunia ilmu yang begitu luar biasa, ia juga ulama yang sangat kaya raya. Imam Layts bin Sa’ad memiliki tanah dan sawah yang berlimpah. Sampai-sampai para ulama memperkirakan keuntungan pertahun dari hasil pertaniannya itu sekitar 80.000 dinar emas. Di mana setiap satu dinar setara dengan 4,5 gr emas. Jika dikonversikan ke masa sekarang, bisa jadi hartanya lebih dari 100 juta dollar AS.

Yang menarik, dari harta yang demikian banyak, Imam Layts tidak pernah memiliki kewajiban zakat. Sebab sebelum datang haul, hartanya sudah dikeluarkan semuanya. Karena begitu luar biasa dermawan, sehingga untuk bersedekah ia tidak pernah menunggu haul. Dan itulah yang ia lakukan sampai bertemu dengan Sang Pemilik Kehidupan.

Di samping itu, Imam Layts bin Sa’ad memiliki tiga majelis. Majelis pertama dikhususkan untuk para ulama, ahli fikih, hadis dan tafsir. Majelis kedua dikhususkan untuk para umara. Di mana para umara tersebut tidak akan pernah mengeluarkan satu keputusanpun kecuali setelah mendapat arahan darinya. Sedangkan majelis ketiga dikhususkan untuk orang yang memiliki kebutuhan dan hajat. Sehingga, tidak ada seorangpun yang meminta hajat kepadanya kecuali ia penuhi, termasuk biaya untuk pernikahan, haji, pengobatan dan lain-lain. Imam Layts bin Sa’ad melakukan kedermawanan yang begitu besar.

Pernah pada suatu hari datang seorang perempuan yang mengatakan jika suaminya sakit. Menurut dokter, cara menyembuhkan penyakit suaminya itu dengan memberikannya madu. Kemudian perempuan tersebut menemui Imam Layts bin Sa’ad dengan membawa sebuah lepek. Lalu Imam Layts bin Sa’ad menolak permintaan perempuan itu dengan berkata, “Tidak. Saya tidak akan memberikanmu selepek untuk madu. Tapi ambillah satu drigen madu itu, bukan satu lepek.”

Pada kisah yang lain, setiap kali Imam Layts bin Sa’ad melakukan perjalanan, ia selalu membawa tiga perahu. Perahu pertama khusus untuknya dan keluarganya. Kemudian perahu kedua untuk tamu-tamunya. Sedangkan perahu ketika khusus para koki dan bahan-bahan makanan. Sehingga ketika ia sampai di satu lokasi, para koki itu memasak dan membagikan semua hasil masakannya kepada pendudukan lokasi itu.

Suatu hari Imam Layts bin Sa’ad melakukan ibadah haji dengan ditemani oleh Imam Malik bin Anas. Imam Malik kemudian memberikannya satu piring kurma. Kemudian kurma itu ia tuang dan diganti dengan dinar emas setara piring itu untuk diberikan kepada Imam Malik.

Dari kisah ini, Syekh Usama kemudian menyampaikan,

“Saya ingin menyimpulkan apa yang saya katakan. Inilah keadaan orang Islam. Inilah keadaan sebenarnya ahli tasawuf yang memenuhi dunia dengan pembangunan, memerangi kemiskinan, memerangi kelaparan, memenuhi dunia dengan kekayaan. Dan kita harus seperti itu.”

Continue Reading

Hikmah

Diamnya Syekh Imam Rifa’i adalah Bukti Kedalaman Ilmunya

Published

on

Syekh Ahmad bin Abi al-Husain ar-Rifa’i atau Syekh Imam Rifa’i adalah seorang pendiri Thariqah Rifa’iyyah sekaligus Wali Quthub pada masanya. Sayangnya, kisah-kisah tentang beliau kurang banyak tercatat. Kalau diistilahkan dalam bahasa sekarang bukan karena beliau seorang introvert,melainkan memang kewajibannya yang tidak diperkenankan untuk banyak bicara, sebagaimana perkataannya sendiri,

أٌمِرْتُ بِالسُّكُوْتِ

“Aku diperintahkan untuk diam”

Maqam waliyullah memang beraneka ragam. Ada yang Allah anugerahi memiliki harta yang melimpah selayaknya Nabi Sulaiman as. seperti Syekh Abu Hasan as-Sadzili dan ada yang memang lebih banyak diam selayaknya Nabi Isa as. seperti Syekh Ahmad bin Abi al-Husain ar-Rifa’i.

Namun sebagaimana para ahlussufi dan waliyullah lainnya, mereka tidak pernah mendeklarasikan diri sebagai waliyullah, bahkan kebanyakan mereka memilih tidak dikenal dan terasing dari keramaian daripada menjadi popular yang mengakibatkan mereka ujub kepada Allah.

Suatu hari maqam Wilayah Quthub dari Syekh Imam Rifai’i sudah diketahui oleh beberapa muridnya. Kemudian salah seorang di antaranya berkata,

“Wahai tuanku, engkaulah Wali Quthub.” Kemudian Syekh Imam Rifa’i menampik, “bersihkanlah gurumu ini dari gelar Wali Quthub.” Lalu murid tersebut berkata lagi, “Wahai tuanku, engkaulah Wali Ghauts.” Kemudian Syekh Imam Rifa’i menampik lagi, “bersihkanlah gurumu ini dari gelal Wali Ghauts.”

Keengganannya menyandang gelar Wali Quthub atau Wali Ghauts menunjukkan ketawadhu’annya kepada sesama manusia. Beliau tidak ingin diagung-agungkan dan lebih suka duduk sejajar bersama para muridnya. Bahkan saking tawadhu’nya, murid-murid beliau sering menyaksikannya kerap berjalan-jalan dengan orang-orang yang mengidap penyakit gatal-gatal, suka membaur dengan orang yang sedang mencuci baju, berbaur dengan orang yang sedang mencari kutu di rambut dan di jenggot, serta membawa makanan untuk dimakan bersama serta berada dalam satu majelis seraya meminta doa kepada mereka.

Namun tanpa beliau tunjukkan kedudukannya, para ahlussufi tersebut sejatinya sudah tahu seberapa dalam ilmunya dan seberapa dekat dirinya dengan Allah. Hal ini dibuktikan dengan ketika Syekh Imam Rifa’i  membuka majelis ilmu.

Setiap kali Syekh Imam Rifa’i menggelar pengajian, para jamaah yang posisi duduknya jauh dari sang syekh bisa mendengarkan suaranya dengan jelas sebagaimana orang yang dekat dengannya. Sampai-sampai penduduk desa-desa yang ada di kanan dan kiri Desa Ummu Ubaidah (desa Syekh Imam Rifa’i) ikut duduk di atas rumah-rumah mereka untuk mendengarkan suara beliau. Tak hanya itu, bahkan orang-orang yang tuli dan tidak bisa mendengar, ketika mereka hadir di majelis tersebut Allah bukakan pendengarannya untuk menyimak perkataan Syekh Imam Rifa’i.

Demikian pula dengan para guru thariqah yang ikut mendengarkan majelisnya dan mendengarkannya dari kejauhan. Sebagian ada yang menggelar sajadahnya kemudian setelah Syekh Imam Rifa’i sudah selesai dari mejelisnya, ulama-ulama tersebut menempelkan sajadah itu di dadanya, sehingga sajadah itu dengan sendirinya menceritakan apa yang disampaikan oleh Syekh Imam Rifa’i.

Syekh Imam  Rifa’i adalah waliyulah yang lebih suka mengamalkan daripada menitahkan. Sehingga tak jarang jika murid-muridnya ini harus bertanya kepadanya terlebih dahulu untuk mendapatkan ijazah dari beliau. Namun terhadap putranya sendiri yang bernama Shalih, beliau lebih serius berpesan untuk mengikuti jejaknya dan secara terang-terangan tidak menganggapnya lagi sebagai anak jika ia membangkang.

فلست لك انا ولا انت لي ولدا

“Aku bukanlah milikmu, dan engkau bukanlah anak bagiku”

Meskipun tidak banyak bicara, Syekh Imam Rifa’i sangat totalitas dalam pendidikan ruhani. Beliau selalu ingin murid-muridnya bisa wushul (sampai) kepada Allah dan mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya. Karena baginya, wushul kepada Allah adalah perkara yang lebih besar daripada apapun yang diperkirakan dan lebih sulit dari apapun yang dicita-citakan.

Sumber: Kitab Manaqib al Auliya’ al Abrar karya Syekh Misbah al-Musthafa

Continue Reading

Facebook

Arsip

Trending