Connect with us

Apa Itu Tarekat

Istilah “Tarekat” memiliki berbagai makna, bisa berarti jalan, tradisi kesufian, atau organisasi persaudaraan sufi. Tetapi kini istilah “tarekat” sering kali diartikan sebagai organisasi persaudaraan sufi, sehingga tarekat dalam arti ini berarti pengorganisasian ajaran esoteris (khusus kesufian) yang berpusat pada hadirnya seorang mursyid (guru sufi).[2]

Secara etimologis, istilah “tarekat” berasal dari bahasa arab tariqah, yang berarti “jalan”, yang bermakna sama dengan jembatan/sirat, syariah, dan sabil[3]. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tarekat merupakan kata benda yang mempunyai beberapa arti, yakni: jalan, jalan menuju kebenaran (dalam tasawuf), cara atau aturan hidup (dalam keagamaan atau ilmu kebatinan), dan persekutuan para penuntut ilmu tasawuf.[4]

Secara terminologis, tarekat memiliki tiga arti, yakni: jalan lurus, tasawuf, atau persaudaraan sufi[5]. Tarekat bisa diartikan dengan as-sirat al-mustaqim (jalan lurus) sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah al-Fatihah yang berarti: “ Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” Tarekat dalam arti ini adalah islam yang benar, yang berbeda dari kekufuran dan syirik sebagai penyimpangan dari jalan yang lurus.[6]

Tarekat juga bisa berarti tradisi sufi atau tasawuf. Apabila tasawuf dipandang sebagai jalan spiritual menuju Tuhan, maka tarekat dalam arti ini sama dengan tasawuf. Sang penempuh jalan spiritual ( salik ) harus  menempuh jalan itu di bawah bimbingan seorang guru terpercaya, yang biasanya disebut syekh, mursyid atau pir. Dalam arti ini, tarekat adalah nama khusus untuk jalan spiritual islam yang disebut tasawuf.[7] Makna lain  dari tarekat adalah persaudaraan sufi yang terorganisasi. Dalam arti ini, tarekat bukan hanya merupakan jalan spiritual yang disebut tasawuf, tetapi juga merupakan organisasi sosial sufi yang memiliki anggota dan peraturan yang yang harus ditaati. Tarekat dalam arti persaudaraan sufi baru muncul pada abad ke-12 dan ke-13.[8]

Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin mempunyai definisi tersendiri mengenai tarekat, menurut beliau tarekat ialah:[9]

وَقَدْ سَبَقَ أنْ عَرَفْنَا أنَّ مَرَاتِبَ الوُصُولِ إلى اللهِ عَلَى ثَلاثَةِ مَرَاحِلْ : اِسْلامٌ ، فَإيمَانٌ ، فَإحْسَانٌ ، فَالعَبْدُ مَا دَامَ مَشْغُولاً بِالعِبَادَةِ وَحْدَهَا فَهُوَ في مَقَامِ الاِسْلامْ ، أوْ مَقَامَ الشَّرِيعَةِ ، فَإذَا اِنْتَقَلَ العَمَلُ إلُى القَلْبِ بِالتَّصْفِيَةِ وَالتَّخْلِيَةِ مِنَ الشَّرِ وَالتَّحْلِيَةِ بِالخَيْرِ وَتَحَقَّقَ بِالاِخلاَصِ فَهُوَ في مَقَامِ الإيمانِ أوْ مَقَامَ الطَّرِيقَة ، وَإذَا بَلَغَ الاِنْسَانُ مَرْتَبَةَ العِبَادَةِ للهِ كَأنَّهُ يَرَاهُ فَهُوَ في مَقَامِ الاِحْسَانِ أوْ مَقَامِ الحَقِيقَة ، وَلِذَلِكَ يَقُولُوْنَ – الشَّرِيعَةُ أنْ تَعْبُدَهُ وَالطَّرِيقَةُ أنْ تَقْصِدَهُ – وَالحَقِيقَةُ أنْ تَشْهَدَهُ –

Sudah kita sebut dahulu, bahwa martabat wushul ( sampai kepada Allah ) adalah tiga perjalanan, yakni: pertama islam, kedua iman, dan ketiga ihsan. Adapun seorang hamba Allah, jika ia kekal sibuk dalam ibadah, berada dalam makam Islam atau makam Syariat. Apabila amal itu berpindah kepada hati dengan kebersihan dan sunyi daripada kejahatan, berisi dengan kebajikan sempurna ikhlas, maka orang itu berada dalam makam iman atau makam tarekat. Apabila manusia itu telah sampai pada martabat ibadat untuk Allah semata-mata, seakan-akan Allah melihatnya, maka ia berada dalam maqom Ihsan  atau maqom hakikat. Oleh karena itu di ungkapkan orang :”Adapun syari’at  itu ialah bahwa kamu menyembah Allah”. Tarekat itu ialah bahwa kamu menuju kepada Allah, dan hakikat itu ialah bahwa kamu bermusyahadah benar-benar menyaksikan Allah yang Maha Pencipta.”[10]

Tarekat pada bayan diatas ialah “bahwa kamu menuju kepada Allah”, menuju kepada Allah disini ialah merupakan tujuan dari segala bentuk ibadat yang dilakukan oleh semua makhluk, apa yang mereka kerjakan tidak lain adalah untuk menuju kepada-Nya dan mendapat ridla-Nya tenmtunya dengan aturan dan cara yang tepat pada pengamalan tarekat tersebut.

Bila membicarakan tarekat sudah tentu membicarakan tentang tasawuf. Tarekat dan tasawuf adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya, karena dua hal ini adalah sebagai sebab dan akibat dari adanya dua hal tersebut.

Dari hasil wawancara penulis dengan narasumber yakni bapak KH. Nur Muhammad Suharto (wakil talkin Abah Anom TQN Pon.Pes Suryalaya) didapat keterangan sebagai berikut:[11]bahwasannya ajaran islam berlandaskan pada tiga asas/dasar, yakni islam, iman dan ihsan. Dari masing-masing asas tadi memiliki ruang lingkup kajian yang berbeda-beda, islam mengkaji tentang aspek syariah, iman mengkaji tentang aspek akidah, dan ihsan mengkaji tentang aspek akhlak. Untuk memahami semua itu diperlukan ilmu yang mengkaji lebih detail untuk setiap aspek-aspek trilogi islam tersebut, dimana ilmu yang membahas tentang syariah disebut ilmu fikih, ilmu yang membahas tentang akidah disebut ilmu ushuludin dan ilmu yang membahas tentang akhlak disebut ilmu tasawuf. Dan ilmu-ilmu tersebut diaplikasikan dalam bentuk madzhab untuk aplikasi ilmu fikih, firqah untuk aplikasi ilmu ushuludin dan tarekat untuk ilmu tasawuf.

Islam
Ihsan
Syariah
Akidah
Akhlak
Ruang ling-kup kajian:
Trilogi Ajaran Islam
Iman
Tasawuf
Ushuludin
Fikih
Ilmu
Aplikasi
Firqah
Tarekat
Madzhab

Menurut Ibnu Khaldun[12], ilmu tasawuf merupakan bagian dari ilmu-ilmu yang muncul dikemudian hari dalam agama. Pada dasarnya, pendekatan para ulama salaf seperti para sahabat dan para tabi’in yang datang sesudahnya merupakan pendekatan yang benar dan berhak mendapat petunjuk, yang bertumpu pada kesungguhan dalam beribadah dan memfokuskan pengabdian kepada Allah SWT, menghindari kemegahan dan gemerlap dunia dengan segala perhiasannya, berzuhud dari kenikmatan harta dan ketinggian jabatan yang banyak diharapkan masyarakat pada umumnya, dan mengasingkan diri dari keramaian dunia dan berkhalwat untuk memusatkan diri dalam ibadah. Aktivitas semacam ini merupakan fenomena umum di kalangan para sahabat dan ulama salaf. Ketika kecintaan dunia semakin merebak dalam kehidupan pada abad kedua dan sesudahnya, dimana manusia berlomba-lomba untuk menggapai kemewahannya, maka orang-orang yang mengabdikan diri dalam kekhusyukan ibadah mendapat sebutan khusus ash-shufiyah dan al- Mutashawifah.[13]Al- Qusyairi mengatakan, “ Asal kata nama ini tidak memiliki bukti apapun dari segi bahasa Arab dan tidak pula qiyas. Yang jelas, nama tersebut merupakan gelar jabatan. Orang yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari ash-shafa atauash-shifah, maka sangat jauh dari segi filologi (qiyas bahasa), begitu juga dengan kata ash-shuf. Sebab yang memakai wol ini bukan hanya mereka.”[14]

Ibnu khaldun berpendapat[15], “ Jika memang bahwa kata tasawuf berasal dari kata ash-shuf,  maka hal ini dikarenakan para sufi paling banyak memakai pakaian dari wol atau bulu domba. Sikap ini dimaksudkan untuk menentang pakaian masyarakat pada umumnya yang bermewah-mewahan dalam berpakaian. Ketika mereka mengikuti gaya hidup yang jauh dari keglamouran, banyak berkhalwat dan bermeditasi untuk memusatkan perhatian kepada Allah dalam ketulusa ibadah, maka mereka memiliki karaketer yang membuat mereka mudah dikenal. Sebab manusia berbeda dengan semua makhluk hidup hanya dengan pengetahuannya.[16]

Adapun objek dari ilmu tasawuf adalah perbuatan hati dan panca indera ditinjau dari segi cara penyuciannya. Penyucian hati manusia menjadi amat penting keberadaannya karena tanpanya manusia tidak akan bisa dekat dengan Zat Yang Maha Suci.[17] Dan buah dari ilmu tasawuf itu sendiri tidak lain ialah terdidiknya hati sehingga memperoleh makrifat terhadap ilmu gaib secara rohani, selamat di dunia dan bahagia di akhirat, dengan mendapat keridaan Allah, memperoleh kebahagiaan abadi, hati bersinar dan suci yang karenanya terbukalah kepada sufi tersebut perkara-perkara yang gaib, dan ia dapat menyaksikan keadaan-keadaan yang menakjubkan. Manusia yang terdidik hatinya disebut al-‘arif al-wasil ilallah.  Indikator model sufi serupa ini adalah terwujudnya akhlak karimah dalam dirinya.[18]

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang paling mulia karena berkaitan dengan makrifat kepada Allah SWT dan mahabbah kepada-Nya. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang paling utama secara mutlak, karena objeknya adalah hati manusia dan hubungannya dengan Allah SWT.[19] Sumber ilmu tasawuf tidak lain adalah sumber hukum islam yang utama, yakni al-Qur’an dan as-Sunah, juga dari atsar as-sabitah(tradisi yang sudah baku dan mapan) dari umat-umat pilihan dimasa silam.[20]

Segala ilmu yang ada di dunia ini pasti berkaitan dengan hukum dalam mempelajarinya, begitu juga dengan ilmu tasawuf, hukum mempelajari ilmu tasawuf adalah wajib ain, artinya kewajiban yang mengikat kepada setiap individu muslim, sebab setiap orang tidak akan lepas dari kekurangan-kekurangan, dan kemungkinan terkena penyakit hati kecuali para nabi.[21]

Sudah jelas apa yang dimaksud dengan ilmu tasawuf, dan dapat penulis simpulkan bahwasannya ilmu tasawuf adalah ilmu yang membahas bagaimana cara untuk membersihkan hati dengan metode-metode mendekatkan diri kepada Allah SWT atas petunjuk sang Guru Mursyid dengan silsilah yang wushul hingga Allah SWT dan amaliyah yag berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunah dan metode yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah itulah yang kita kenal dengan istilah tarekat.Bila diawal kita telah mengetahui apa itu tarekat baik secara bahasa dan ishtilah,  secara khususnya pengertian tarekat dalam ilmu tasawuf ialah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah dengan ajaran yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dan diajarkan oleh sahabat-sahabat Nabi, tabiin, tabiit tabiin dan turun-temurun sampai pada guru-guru/ulama-ulama sambung-menyambung sampai pada masa kini.[22]

Maka sudah jelas disini, antara tarekat dan tasawuf adalah dua hal yang berbeda, dimana tasawuf adalah ilmu yang membahas bagaimana cara untuk berakhlakul karimah, dan tarekat adalah aplikasi dari ilmu tersebut yang berbentuk organisasi atau perkumpulan para pengamal ajaran tarekat yang bersangkutan.

Perlu diketahui, tidak semua organisasi atau perkumpulan para pengamal ajaran tarekat dapat dikatakan tarekat. Tentunya sebuah tarekat mempunyai beberapa syarat dan kriteria sehingga ia dapat dikatakan sebagai sebuah tarekat. Dalam perishtilahan kaum ahlu sunah wal jamaah, ada yang disebut dengan Tariqah al-Mu’tabarah, ialah tarekat yang sah secara hukum dan bisa dipertanggungjawabkan secara syariat.[23]

 Menurut ahli sufi kriteria kemuktabarahan sebuah tarekat ialah:[24]

  1. Substansi ajarannya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunah, dalam arti bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunah.
  2. Tidak meninggalkan syariat
  3. Silsilahnya sampai dan bersambung kepada Rasulullah SAW
  4. Ada mursyid yang membimbing para murid
  5. Ada murid yang mengamalkan ajaran gurunya
  6. Kebenaran ajarannya bersifat universal

Dan bila disimpulkan kriteria-kriteria tersebut dapat mengkerucut menjadi beberapa syarat, yakni:[25]

  1. Mursyid
  2. Wirid
  3. dan Murid.

Wallahu a’lam bishshawwaab

Oleh: Aspiyah Kasdini. R. A


                [2]Ade Armando, Edi Sudrajat dan Ahmad Gaus A.F, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar  ( Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),  hlm: 9.

                [3]Ibid.

                [4]Departemen Pendidikan Nasional,  Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga  (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),  hlm: 1144.

                [5]Ade Armando, Edi Sudrajat dan Ahmad Gaus A.F, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar  (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),  hlm: 9.

                [6]Ibid.

                [7]Ibid.

                [8]Ibid.

                [9]KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin, Miftahus Shudur Juz ats-Tsani (Sukabumi: Katabah Zainal Abidin Aminullah,  1980),  hlm: 38.

                [10]Kh. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin ,  Kunci Pembuka Dada Juz 2,  terj. Prof. Dr. KH. Aboebakar Atjeh, (Tasikmalaya: PT. Mudawamah warahmah, 1970),  hlm: 33.

                [11]KH. Nur Muhammad Suharto, Wakil Talkin Abah Anom TQN Pon. Pes Suryalaya, Wawancara, Tasikmalaya, 06 Mei 2014, 14: 48 WIB.

                [12]Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Mukaddimah, ter. Masturi Irham, Malik Supar, dan Abidun Zuhri (Jakarta: al-Kautsar, 2011),  hlm: 865.

                [13]Ibid.

                [14]Ibid.

                [15]Ibid.

                [16]Ibid, hlm: 866.

                [17]Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat  (Bandung: Rosda Karya, 2012),  hlm: 12.

                [18]Ibid.

                [19]Ibid.

                [20]Ibid.

                [21]Ibid, hlm: 14.

                [22]Noor Anom Mubarok, Syariat Thoriqat Hakikat dan Makrifat  (Tasikmalaya: Pon.Pes Suryalaya, tth),  hlm: 20.

                [23]Ade Armando,Edi Sudrajat, dan  A. Ahmad Gaus, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar  (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),  hlm: 10.

                [24]Zainal Abidin Anwar,  Konsep Islam Dalam Memanusiakan Manusia ( Tasikmalaya: PP. Suryalaya, tth),  hlm: 6.

                [25]Zaenal Abidin Anwar, IAILM Ponpes Suryalaya STIE Lathifah Mubarokiyyah(Tasikmalaya: PT. Mudawwamah Warahmah. 2010), hlm: 18.

Facebook

Arsip