Akhlak Santri
Urgensi Akhlak dalam Islam
Published
3 years agoon

Pengertian Akhlak
Ditinjau dari segi bahasa, kata akhlaq berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khilqun atau khuluqun, yang berarti perangai, tabiat, watak dasar, budi pekerti, kebiasaan, tingkah laku, atau sopan santun.[1] Secara linguistik (kebahasaan), kata akhlaq merupakan isim jamid atau ghairu musytaq, yakni kata benda yang tidak mempunyai akar kata, melainkan muncul begitu saja sehingga tidak bisa ditashrif (non derivatif). Kata akhlak dapat dijumpai dalam al-Hadits, tetapi tidak disebutkan dalam al-Qur’an. Sebaliknya bentuk tunggalnya (khuluq), dapat dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Seperti dalam surat al-Qalam (68) ayat 4:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang luhur”.
Demikian juga dalam surat al-Syu’ara (26) ayat 137 :
“(Agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”
Kata khuluq pada surat al-Qalam (68) ayat 4 di atas menunjukkan arti budi pekerti, sedangkan pada surat al-Syu’ara (26) ayat 137 menunjukkan arti adat kebiasaan. Adapun penggunaan kata akhlaq dan khuluq dalam hadits, antara lain adalah sabda Rasululah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad sbb. :
“Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti”.
Demikian juga sabda Rasululah SAW yang diriwayatkan Imam al-Turmudzi sbb. :
”Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik budi pekertinya”
Sedangkan menurut istilah, para ulama merumuskan berbagai macam definisi, yang antara lain adalah sbb. :
1. Menurut Ibnu Maskawih[2] dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq :
“Akhlaq adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk bersikap, berprilaku dan melakukan suatu perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan dipertimbangkan lagi”.[3]
2. Menurut Imam al-Ghazali :
”Akhlaq adalah suatu keadaan (sikap) yang mengakar di dalam jiwa yang darinya muncul berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Jika dari sikap batin tersebut lahir perbuatan yang baik dan terpuji, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir dari sikap batin tersebut perbuatan yang tercela, maka ia disebut akhlak yang buruk”.
Berdasarkan definisi di atas dapat dirumuskan, bahwa akhlak pada dasarnya adalah sikap batin yang melekat pada diri seseorang yang secara spontan tercermin dalam sikap, tingkah laku atau perbuatan yang tampak. Hal ini dapat terjadi karena didasarkan pada watak yang dibawa sejak lahir, atau boleh jadi karena didasarkan pada latihan dan kebiasaan. Dalam kerangka ini, Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai seorang Rasul yang bertugas untuk menyempurnakan budi pekerti manusia. Sebagaimana telah beliau sabdakan :
“Sesungguhnya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti”.
Akhlak, Etika dan Moral
Di samping akhlak kita juga mengenal istilah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti adat istiadat, kebiasaan baik, moral, atau karakter. Etika merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang perilaku yang baik, nilai-nilai yang benar dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang. Etika bertujuan agar manusia hidup bermoral baik dan berkepribadian, sesuai etika atau moral yang dianut oleh kesatuan atau lingkungan hidupnya.
Etika atau moral ini menimbulkan kaidah-kaidah atau norma-norma etika yang mencakup teori nilai tentang hakikat apa yang baik dan apa yang buruk dan teori tentang perilaku (conduct) tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.
Moral berkaitan erat dengan pandangan hidup, agama, atau kepercayaan ataupun adat kebiasaan masyarakat yang bersangkutan. Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dan sebagai pandangan hidup serta jati diri Bangsa Indonesia, sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan etika atau moral bangsa kita.
Menurut istilah, etika adalah suatu sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan demikian obyek pembahasan etika adalah kebiasaan-kebiasaan manusia yang terdapat di dalam konvensi atau kesepakatan. Misalnya kesepakatan nilai dalam berbusana, etika dalam berbicara dan bergaul dengan orang lain. Dengan kata lain, makna etika di samping sebagai penilaian terhadap perbuatan seseorang, ia juga merupakan suatu predikat dari perbuatan-perbuatan seseorang. Oleh karena itu, etika acapkali dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang menetapkan ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari pemberian tanggapan atau penilaian terhadap perbuatan-perbuatan.[4]
Etika seringkali dikaitkan dengan profesi tertentu sehingga disebut Etika Profesi, yaitu suatu etika moral yang secara khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat atau ciri dan standar profesi sendiri, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Profesi berbeda dengan pekerja. Pekerja adalah orang yang melakukan sesuatu kegiatan, dan bertujuan mencari sumber nafkah guna mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sedangkan profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi dengan persyaratan adanya keahlian khusus, serta tersedia wadah untuk memberikan dukungan kepada penyandang profesi.
Sedangkan moral berasal dari bahasa latin mores bentuk jama’ dari kata mos yang berarti adat kebiasaan atau susila. Suatu perbuatan atau tindakan dinilai bermoral, jika perbuatan atau tindakan tersebut dapat diterima dengan baik dan wajar oleh kelompok sosial atau lingungan tertentu; atau sesuai dengan ide-ide atau ukuran-ukuran atau nilai-nilai yang berlaku dalam sebuah kelompok sosial atau lingkungan tertentu. Moral adalah suatu kelakuan atau tindakan yang sesuai dengan ukuran-ukuran atau nilai-nilai masyarakat, yang timbul dari hati seseorang (bukan paksaan dari luar) dan disertai oleh rasa tangung jawab atas kelakuan atau tindakan tersebut. Dengan demikian, moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik dan buruk yang diterima oleh masyarakat secara umum.
Dalam sejarah filsafat, terdapat banyak aliran tentang moral atau etika. Sebagian menyatakan bahwa etika bersandar pada Kebenaran Abadi dan ada pula yang berpendapat bahwa etika sangat erat berhubungan dengan situasi dan kondisi suatu lingkungan. Sungguh pun pengertian dan sumber akhlak, etika serta moral mempunyai perbedaan, namun ketiganya memiliki kesamaan mengenai obyek pembahasannya, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai baik dan buruk, serta keindahan dan kejelekan.
Pada dasarnya, konsep akhlak dalam Islam memiliki cakupan yang sangat luas, karena akhlak berarti agama itu sendiri. Akhlak dalam pengertian ini meliputi hubungan antara manusia dengan dirinya, dengan Tuhannya, dengan orang lain dan dengan lingkungannya. Akhlak merupakan cermin dari apa yang ada di dalam jiwa seseorang. Akhlak yang baik merupakan dorongan keimanan seseorang, karena keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari. Oleh karena itu, akhlak bersifat universal dan abadi, sedangkan moral dan etika bersifat local dan temporal.
Dalam perkembangannya, akhlak sering dipahami sebagai tabiat atau sifat manusia serta sopan santun dalam kehidupan sehari-hari, seperti akhlak kepada orang tua, kepada orang yang lebih muda, kepada guru dan lain-lain. Akhlak dalam pengertian ini sama dengan moral dan etika pergaulan hidup yang kemudian berkembang menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri.
Sebagai sebuah disiplin tersendiri, ilmu akhlak mempelajari tentang prilaku hidup yang seharusnya dan tidak seharusnya dijalankan oleh manusia. Ilmu akhlak kemudian membagi prilaku manusia kepada dua kelompok besar, yakni prilaku yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan prilaku yang tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Baik atau buruknya suatu akhlak dalam Islam, diukur dengan nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadist, sebagai pedoman hidup umat manusia.
Akhlak Santri, Ulama (Kyai/Guru) dan Wali Santri
Ditinjau dari segi bahasa, kata ”santri” berasal dari bahasa Tamil (India) ”shastri” yang berarti guru mengaji atau orang yang paham tentang buku-buku suci, karena kata shastri merupakan turunan dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku ilmu pengetahuan.[5] Dalam perkembangannya di Indonesia, kata santri bermakna orang yang mempelajari ilmu-ilmu agama, khususnya yang bermukin di lembaga pendidikan pondok pesantren, sementara sang guru disebut kyai. Santri juga berarti sekelompok masyarakat muslim yang taat menjalankan ajaran-ajaran agama Islam, baik dalam bidang aqidah, syari’ah maupun al-akhlak al-karimah, khususnya dalam beribadah kepada Allah SWT. Lawan katanya adalah “abangan” (kelompok merah), yaitu sekelompok masyarakat yang beragama Islam, tetapi tidak atau kurang taat dalam menjalankan ajaran agama Islam.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa kata “santri” adalah sebuah akronim yang terdiri dari 5 (lima) huruf yang merupakan singkatan dari kalimat sbb. :
- Sin (س) adalah kepanjangan dari الخَيْرِ سابق yang berarti pelopor kebaikan.
- Nun (ن) adalah kepanjangan dari العُلَمَاءِ نَائبُ yang berarti (calon) pengganti atau penerus ulama.
- Ta (ت) adalah kepanjangan dari الْمَعَاصِى تَارِكُ yang berarti orang yang meninggalkan kemaksiatan.
- Ra(ر) adalah kepanjangan dari اللهِ رِضَى yang berarti (orang yang mencari) ridho Allah.
- Ya (ي) adalah kepanjangan dari اَلْيَقِيْنُ yang berarti (orang yang memiliki) keyakinan (keimanan).
Sementara itu sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa kata “santri” adalah sebuah akronim yang terdiri dari 5 (lima) huruf yang merupakan singkatan dari kalimat sbb. :
- Sin (س) adalah kepanjangan dari الاخَرةِ سالك الى yang berarti orang yang berjalan menuju akhirat sehingga semua aktivitasnya berorientasi untuk meraih ridla Allah SWT dan kebahagiaan hidup di dunia serta akhirat.
- Nun (ن) adalah kepanjangan dari العُلَمَاءِ نَائبُ عن yang berarti calon pengganti atau penerus ulama. Oleh karena itu, santri adalah orang yang siap menggantikan kedudukan para ulama yang sholih dan cintai Allah SWT, terutama sesudah para ulama wafat.
- Ta (ت) adalah kepanjangan dari الْمَعَاصِى تَائب من yang berarti orang yang bertaubat dari kemaksiatan. Yakni santri adalah orang yang ketika terlanjur berbuat dosa, segera menyadari kesalahannya kemudian segera bertaubat untuk membersihkan diri dari berbagai kotoran dosa yang dapat menjadi penghalang dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
- Ra(ر) adalah kepanjangan dari راغب في الخيراتyang berarti orang yang senang berbuat baik dengan beribadah kepada Allah SWT dan membantu sesama manusia.
- Ya (ي) adalah kepanjangan dari يرجو رضاالله والسعادة في الدارينyang berarti orang yang mengharapkan ridla Allah SWT dan kebahagiaan hidup di dunia serta akhirat.
Sementara itu sebagian ulama yang lain berpendapat, bahwa kata “santri” adalah sebuah akronim yang terdiri dari 5 (lima) huruf yang merupakan singkatan dari kalimat sbb. :
- Sin (س) adalah kepanjangan dari سا فر الى المعهد لطلب العلم yang berarti (orang yang) pergi ke pondok pesantren dengan tujuan untuk mencari ilmu.
- Nun (ن) adalah kepanjangan dari نَال كثيرا من العلم والحكمة yang berarti (orang yang) meraih ilmu dan hukmah yang banyak.
- Ta (ت) adalah kepanjangan dari على منهج اهل السنة والجماعة تمسك دين الاسلام yang berarti (orang yang) berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran agama Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jamaah.
- Ra(ر) adalah kepanjangan dari رجع الى بلده للدعوة yang berarti (orang yang) kembali ke daerahnya untuk melaksanakan kegiatan dakwah di tengah-tengah masyarakatnya.
- Ya (ي) adalah kepanjangan dari يؤسس معهدا مباركا لنشر العلم وتربية كوادير العلماءyang berarti (orang yang) mendirikan pondok pesantren yang penuh berkah untuk menyebar luaskan ilmu pengetahuan dan mendidik para kader ulama dengan niat ikhlas semata-mata mengharapkan ridla Allah SWT dan kebahagiaan hidup di dunia serta akhirat.
Berdasarkan urian di atas dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud “Akhlak Santri, Kyai (Guru) dan Wali Santri” adalah; akhlak yang seharusnya difahami, dihayati, dimiliki dan diamalkan oleh para santri, kyai (guru) dan wali santri dalam kehidupan sehari-hari, terutama para santri yang sedang dalam proses tholab al-ilmi (mencari ilmu pengetahuan) di lembaga pendidikan Islam Pondok Pesantren. Pada dasarnya Akhlak Santri, Kyai (Guru) dan Wali Santri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Akhlak Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan al-Hadist, sebagai pedoman hidup umat manusia, khususnya dalam menentuan nilai-nilai baik dan nilai-nilai buruk terhadap prilaku manusia.
Baca sebelumnya: Akhlak Santri, Kyai dan Wali Santri; Membangun Ekosistem Pendidikan Islami
Lihat juga di Perpustakaan Digital JATMAN
[1] Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, Juz I, h. 539.
[2] Ibnu Maskawaih adalah salah seorang pemikir dalam bidang Ilmu Akhlak yang sangat terkenal. Pemikirannya tentang Akhlak Islam selalu menjadi perhatian, karena pengalaman hidupnya pada waktu muda yang banyak melakukan perbuatan sia-sia, sehingga memiliki motivasi yang cukup kuat untuk menulis buku-buku tentang akhlak agar dapat menjadi tuntunan bagi generasi sesudahnya.
[3] Ibnu Maskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlaq, (terjemahan dari Tahdzib al-Akhlak), Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ketiga, h. 14 – 15.
[4]Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy, (Pengantar Filsafat), alih bahasa Soejono Soekanto, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1987), Cet. II, h. 352
[5] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 1982), h. 18
Bersambung…

Sebelum menetapkan pilihan untuk belajar di sebuah lembaga pendidikan, pondok pesantren atau mengaji kepada seorang guru, hendaknya para calon santri atau orang tuanya melakukan survey terlebih dahulu, bahkan kalau perlu shalat istikharah untuk memohon petunjuk kepada Allah SWT. Hal ini pernah dilakukan oleh Imam Hanifah ketika akan berguru kepada Hammad ibn Abi Sulaiman yang mengantarkan beliau menjadi ulama besar, salah satu mujtahid mutlak yang sampai sekarang banyak diikuti oleh umat Islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia.
Sebaiknya para calon santri atau orang tuanya memilih lembaga pendidikan, pondok pesantren atau mengaji kepada seorang guru yang ‘alim (pandai), luas dan mendalam ilmunya, berakhlak mulia, memiliki sifat khashyatullah (takut kepada Allah SWT), serta benar-benar mampu mendidik para santri dengan baik dan berkualitas sehingga kelak mereka menjadi orang-orang yang ‘alim (pandai) dan berakhlak mulia serta bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. Hal ini dapat dilihat dari segi kualitas pendidikannya, guru-gurunya dan faham keagamaannya.
Sebaiknya para calon santri atau orang tuanya memilih lembaga pendidikan atau guru yang memiliki faham keagamaan atau berhaluan AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH dan dapat ditelusuri sanad keilmuannya hingga Rasulullah SAW. Sebagian ulama salaf, — — yakni para ulama yang hidup sesudah Rasulullah SAW hingga abad ketiga hijriyah– — mengatakan :
“Sesungguhnya ilmu ini adalah masalah agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa engkau akan mengambil (ilmu yang menjadi) ajaran agama kalian”.
Memilih guru yang memenuhi kualifikasi di atas sangat penting, karena guru bukan hanya bertugas menyampaikan ilmu (transfer of knowledge), tetapi juga membimbing rohaniah para santri (transfer of value) agar mereka memiliki hati yang bersih serta jiwa yang teguh sehingga mampu meraih kedekatan dengan Allah SWT.
Dengan memilih lembaga pendidikan dan guru-guru yang tepat, diharapkan para santri tidak akan berpindah ke lembaga pendidikan lain atau meninggalkan guru pertamanya dan berpaling kepada guru lain yang dinilai lebih berkualitas. Hal ini dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti menambah biaya pendidikan, adaptasi dengan lingkungan dan teman-teman baru, serta sakit hati guru pertamanya sehingga bisa menyebabkan kurang berkah ilmunya.
Para santri harus selalu menghormati dan memuliakan guru, karena mreka tidak akan meraih ilmu yang bermanfaat kecuali jika mereka selalu menghormati dan memuliakan guru. Guru adalah bagaikan orang tua, bahkan melebihi orang tua, karena orang tua hanya bertanggung jawab dalam masalah pertumbuhan fisik anak, sedangkan guru bertanggung-jawab terhadap perkembangan rohaniah dan keberagamaan para muridnya. Jika orang tua juga berperan sebagai guru, maka dia adalah orang yang paling mulia dan paling wajib dihormati, karena dia bertanggungjawab terhadap pertumbuhan fisik sekaligus perkembangan rohaniah dan keberagamaan anaknya. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib berkata; “Aku adalah hamba orang yang pernah mengajariku ilmu pengetahuan, meskipun hanya satu huruf. Jika guruku mau, aku persilahkan menjual aku, atau menjadikan aku hamba sahayanya, atau memerdekakan aku.”
Dengan menghormati guru, diharapkan para santri meraih ridla guru dan terhindar dari murkanya, sehingga ilmunya bermanfaat serta berkah di dunia dan di akhirat. Di antara bentuk kongkret memuliakan kyai (guru) adalah sebagai berikut:
- Meyakini dan memandang kyai (guru) sebagai sosok manusia agung yang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu serta bertaqwa kepada Allah SWT, sehingga sangat layak untuk diikuti dan dijadikan suri tauladan oleh para santri. Dengan cara demikian, maka para santri akan mampu mengambil manfaat serta meraih keberuntungan. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Nadlam ‘Umrithy :
“Seorang pemuda akan diangkat (derajatnya) sesuai dengan kadar keyakinannya. Dan setiap orang yang tidak yakin, maka tidak akan bisa mengambil manfaat”
Syeh Yusuf berkata bahwa beliau mendengar sebagian ulama salaf berkata :
“Barang siapa tidak meyakini keagugungan gurunya, maka tidak akan sukses (beruntung)”1
. - Melaksanakan perintah guru selama perintah tersebut tidak melanggar syari’at agama Islam. Jika guru memerintahkan para murid melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum Islam, maka para murid tidak boleh melaksanakannya. Dikisahkan, suatu ketika Syaikh al-Halwani, seorang ulama yang berasal dari Negara Bukhara Uni Soviet tinggal di sebuah perkampungan. Kemudian beliau meminta para murid yang sudah menjadi alumni agar mengunjungi beliau. Maka seluruh alumni datang mengunjungi beliau, kecuali al-Syaikh al-Imam al-Qodli Abu Bakar al-Zaranji. Pada kesempatan berikutnya, Syaikh al-Halwani berjumpa al-Syaikh al-Imam al-Qodli Abu Bakar al-Zaranji dan menanyakan, “Mengapa engkau tidak memenuhi undanganku?” Maka al-Syeh al-Imam al-Qodli Abu Bakar al-Zaranji menjawab; “Mohon maaf saya tidak bisa memenuhi undangan Tuan Guru karena saya sibuk mengurus ibu saya”. Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Halwani berkata; “Baik kalau begitu anda akan memperoleh keberkahan usia tetapi tidak mendapatkan keberkahan ilmu”. Akibat dari kemarahan Syaikh al-Halwani Sang Guru tersebut, maka al-Syaikh al-Imam al-Qodli Abu Bakar al-Zaranji lebih banyak menghabiskan hidupnya di perkampungan dan sama sekali tidak mengajar. Hal ini menunjukkan, bahwa seorang murid yang mengecewakan hati guru akan menyebabkan ilmunya kurang berkah dan kurang bermanfaat.2
- Meminta saran dan pertimbangan kepada guru dalam memilih disiplin ilmu yang akan dikaji dan hal-hal yang terkait dengan proses belajar-mengajar, jurusan, program studi atau fakultas karena meyakini bahwa guru lebih berpengalaman dalam masalah ini. Syaikhul Imam Burhanal-Haq wa al-Din RA. berkata: “Pada masa dahulu, para santri dengan suka rela menyerahkan sepenuhnya urusan belajar-mengajar kepada gurunya, maka mereka sukses dan meraih apa saja yang dicita-citakan. Akan tetapi pada masa kini, banyak santri yang menentukan sendiri pilihannya, maka akhirnya mereka gagal meraih cita-citanya dan tidak bisa meraih ilmu pengetahuan.” Dikisahkan, bahwa pada mulanya Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhariy belajar Ilmu Fiqh kepada Imam Muhammad ibn al-Hasan. Ketika Sang Guru melihat al-Bukhari lebih berbakat dalam bidang Ilmu Hadits, maka Sang Guru memerintahkan agar al-Bukhari menekuni Ilmu Hadits. Akhirnya al-Bukhari pun belajar Ilmu Hadist sehingga menjadi imam hadist paling terkemuka di seluruh penjuru dunia.
- Memanggil atau menyebut kyai (guru) dengan panggilan terhormat seperti menyebut status atau kedudukannya. Bukan langsung memanggil atau menyebut namanya, karena hal ini dinilai tidak sopan. Jika berbicara dengan guru, para santri harus memperhatikan sopan santun. Tidak boleh berbicara dengan suara keras, apalagi membentak; tidak boleh memulai berbicara kepada guru sebelum dipersilahkan; Juga tidak banyak berbicara di hadapan guru, atau bertanya hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi jika guru dalam keadaan lelah.
- Jika para santri ingin berkunjung ke rumah atau kamar kyai (guru) untuk mengaji, dipanggil, atau ada suatu keperluan, hendaklah memakai pakaian yang sopan dan rapi. Jika perlu mandi terlebih dahulu dan memakai parfum. Hendaklah para santri tidak mengganggu istirahat kyai (guru). Oleh karena itu, para santri tidak boleh mengetuk pintu rumah atau kamar, tetapi hendaknya sabar menunggu hingga kyai (guru) keluar dari kamar atau rumahnya. Jika sudah dipersilahkan masuk ke dalam rumah atau kamar kyai (guru), hendaklah para santri mengucapkan salam dan bermushofahah (salaman), kemudian duduk dengan penuh tawadlu’ seperti duduknya seseorang yang sedang tahiyyat atau bersila. Tidak boleh duduk di tempat duduk kyai (guru). Demikian juga tidak boleh duduk terlalu dekat dengan kyai (guru) kecuali dalam keadaan darurat, karena dikhawatirkan dapat mengurangi penghormatan kepada guru. Sesudah selesai, hendaknya para santri segera berpamitan. Karena jika para santri terlalu lama, dapat mengganggu aktivitas atau waktu istirahat kyai (guru).
- Jika bertemu kyai (guru), hendaklah para santri menundukkan pandangannya. Tidak boleh memandang wajah kyai (guru) dengan pandangan yang tajam (melotot) atau menoleh ke arah kanan, kiri dan atas, kecuali sangat darurat.
- Jika kyai (guru) sedang mengajar, hendaklah para santri menyimak dengan penuh konsentrasi serta mencatat penjelasannya dengan rapi agar dapat dibaca ulang sehingga meresap di dalam qalbu. Oleh karena itu para santri tidak boleh mengobrol atau bermain-main sehingga mengganggu kegiatan belajar mengajar (KBM). Para santri juga tidak boleh bersikap “sok pintar” dengan menyahuti ayat suci al-Qur’an, hadits, syi’ir atau lainnya yang sedang dibacakan oleh kyai (guru); atau menjawab pertanyaan kyai (guru) sebelum kyai (guru) menyelesaikan pertanyaannya, atau sebelum mempersilahkannya untuk menjawab; atau memandang rendah atau mengoreksi penjelasan kyai (guru). Jika ada penjelasan kyai (guru) yang dirasa tidak sesuai atau dinilai salah, hendaklah disampaikan dengan cara yang santun.
- Membantu kyai (guru) dalam menyelesakan tugas atau pekerjaannya. Seperti memasak makanan, memebersihkan rumah dan mencuci pakaian. Al-Qodli al-Imam Fahruddin al-Irsabandi, seorang ulama besar yang menjadi pimpinan para Imam di wilayah Marwa dan sangat dihormati oleh Sultan negeri tersebut mengatakan; “Saya memperoleh derajat atau kedudukan yang tinggi ini semata-mata karena berkah dari guruku, al-Qodli Abu Yazid al-Dabbusy. Saya selalu melayani beliau dan membantu beliau memasak makanannya”. Para ulama yang telah sukses meraih derajat yang tinggi menyatakan, bahwa untuk meraih ilmu memang perlu tekun belajar. Akan tetapi, untuk meraih keberkahan, harus diusahakan dengan melayani para guru ( العلم بِلتعلم والبَكة
بِلخدمة ) - Memberikan hadiah kepada kyai (guru), sesuai dengan kemampuannya. Syeh Sadiduddin al-Syairazi menceritakan, bahwa salah seorang gurunya berkata; “Barangsiapa ingin mempunyai anak, cucu, atau keturunan yang ‘alim (menjadi ulama), hendaklah ia memuliakan para ulama dan memberikan hadiah kepada mereka. Jika seseorang senang memuliakan para ulama dan memberikan hadiah kepada mereka, maka dapat dipastikan anaknya, atau cucunya, atau keturunnya akan menjadi ulama”.
- Memuliakan putra-putri kyai (guru) dan orang-orang yang terkait dengan sang kyai (guru), seperti para pembantu, sopir dsb. Dikisahkan, pada masa dahulu ada seorang ulama besar di Bukhara Asia Tengah. Ketika beliau sedang mengajar, tiba-tiba beliau berdiri dan menghormati anak kecil. Maka para murid bertanya; “Mengapa sang ulama berdiri dan menghormati anak kecil?” Belau menjawab; “Dia adalah anak guruku. Aku menghormatinya sebagai penghormatan kepada ayahnya yang menjadi guruku”.
- Hendaknya para santri selalu mengenang kebaikan kyai (guru) dan memaafkan kesalahannya. Oleh karena itu para santri harus selalu mendoakan kyai (guru), baik sewaku masih hidup maupun sesudah wafat. Jika kyai (guru) sudah wafat, hendaknya para santri menziarahi kuburnya serta memohonkan ampunan atas semua dosa dan kesalahan kyai (guru) kepada Allah SWT.[]
1KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, Maktabah al-Turats al-Islami, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, tt. h. 10
2Syeh Ibrahim ibn Ismail, “Syarah Ta’lim al-Muta’allim”, karya Syeh al-Zarnuji, al-Haramaim Surabaya, 2006, h. 17

Islam adalah agama universal yang bertujuan menciptakan rahmat bagi seluruh alam semesta serta memberikan petunjuk kepada umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Oleh karena itu, agama Islam tidak hanya mengajarkan tata cara beribadah untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, tetapi juga memberikan petunjuk tentang tata cara bermuamalat (berinteraksi) antar sesama manusia untuk menciptakan kesejahteraan, ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan seluruh anggota masyarakat.
Keluarga sebagai komunitas terkecil dalam suatu masyarakat, sangat besar peranannya dalam menciptakan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Jika setiap keluarga hidup dengan sejahtera dan bahagia, penuh kehangatan dan kasih sayang, saling menghormati dan menyayangi di antara para anggota keluarga, maka dapat dipastikan seluruh masyarakat akan tenang, tenteram dan bahagia. Demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, agama Islam, sangat memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dengan memberikan petunjuk tentang kewajiban dan hak masing-masing anggota keluarga.
Pengorbanan Kedua Orang Tua
Kedua orang tua, ayah dan ibu adalah manusia yang paling berjasa terhadap anaknya. Anak-anak lahir di muka bumi adalah dengan perantaraan (wasilah) kedua orang tua. Ibu dengan ikhlas mengandung anak di dalam perutnya selama kurang lebih 9 (Sembilan) bulan, kemudian melahirkannya dengan penuh rasa sakit, bahkan tidak jarang bersabung nyawa. Akan tetapi begitu melihat sang anak lahir dengan selamat, Ibu tersenyum bahagia dan seketika itu, hilanglah rasa sakit dan penderitaan yang dirasakan selama ini. Ayah dan seluruh anggota keluarga juga menyambut kelahiran bayi dengan senyum bahagia. Sebagaimana diilustrasikan oleh seorang penyair :
“Wahai manusia, ketika engkau dilahirkan oleh ibumu (ke alam dunia), engkau dalam keadaan menangis sedangkan orang-orang di sekelilingmu (orangtua dan saudara-saudaramu) menyambutmu dengan suka cita. Maka berjuanglah agar ketika wafat engkau dalam keadaan tersenyum sedangkan mereka menangis karena meratapi kepergianmu”.
Sesudah itu, ibu menyusui anak selama 2 (dua) tahun kemudian memberikan nutrisi (asupan makanan dan minuman) yang diperlukan serta membimbingnya sehingga sang anak bisa berjalan. Ayah juga berjuang sekuat tenaga, bekerja keras agar mendapatkan rizki untuk memenuhi kebutuhan hidup anak istri. Pengorbanan ayah dan ibu terus berlangsung hingga anak menempuh pendidikan sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan Tinggi, bahkan tidak jarang sampai anak melangsungkan pernikahan.
Kalau sekarang kalian para santri bisa belajar, menuntut ilmu di lembaga pendidikan Islam pondok pesantren, tidak lain adalah karena peran kedua orang tua yang sangat berkeinginan agar kalian menjadi orang-orang yang pandai (‘alim) serta berakhlak mulia sehingga dicintai oleh Allah SWT dan manusia serta memiliki kedudukan yang terhormat dan mulia di hadapan mereka. Ayah dan Ibu dengan sabar bekerja keras, bahkan mengurangi waktu istirahatnya, semata-mata agar bisa memenuhi kebutuhan hidup anaknya serta membiayai pendidikannya agar kelak anaknya lebih sukses dan mulia dibanding diri mereka sendiri.
Akhlak Anak terhadap Orang Tua
Uraian di atas menunjukkan betapa besar pengorbanan kedua orang tua dalam melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang sehingga mereka tumbuh berkembang menjadi orang-orang yang sukses dan berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Oleh karena itu, setiap anak berkewajiban untuk berakhlak mulia kepada kedua orang tua, terutama ibu.
Mengingat betapa besar peran dan pengorbanan kaum ibu dalam mengandung, melahirkan, menyusui dan mendidik anak-anaknya hingga tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dan mandiri, maka agama Islam memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada kaum ibu. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Surga itu berada di bawa telapak kami kaum ibu.”
Demikian juga hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim dari sahabat Abu Hurairah RA:
“Ada seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW kemudian bertanya; Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk saya perlakukan dengan baik? Ia menjawab, “ibumu”. Orang laki-laki tersebut bertanya lagi. (Sesudah ibuku), siapa lagi wahai Rasulullah? Ia menjawab, “ibumu”. Orang laki-laki tersebut bertanya lagi. (Sesudah ibuku), siapa lagi wahai Rasulullah? Ia menjawab, “ibumu”. Orang laki-laki tersebut bertanya lagi. (Sesudah ibuku), siapa lagi wahai Rasulullah? Ia menjawab “ayahmu”.
Berdasarkan hadits shahih di atas, maka dapat dipahami bahwa kewajiban anak untuk menghormati, menyayangi, dan mentaati ibu adalah tiga kali lipat dibanding kewajibannya untukmenghormati, menyayangi, dan mentaati ayah. Oleh karena itu, anak harus senantiasa taat dan berbakti kepada kedua orang tuanya terutama kepada ibu, sehingga meraih keberkahan dan kebahagiaan hidup yang hakiki.
Jika dijabarkan, akhlak mulia yang menjadi kewajiban anak terhadap orang tuanya adalah sebagai berikut:
Menghormati, mengabdi dan membahagiakan kedua orang tua. Setiap anak wajib menghormati, mengabdi dan membahagiakan orang tua, terutama ibu yang telah bersusah payah mengandungnya selama kurang lebih sembilan bulan, kemudian melahirkannya dengan menahan segala macam rasa sakit dan bahkan harus mempertaruhkan nyawanya, menyusui dan membesarkannya hingga mampu hidup mandiri. Demikian juga ayah yang telah bersusah payah mencarikan rizki untuk membiayai hidupnya, mendidiknya serta menjaga kesehatannya dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, sesudah mengabdi kepada Allah SWT. Dzat Yang Mencipta dan Memeliharanya, setiap manusia wajib mengabdikan hidupnya untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa’ ayat 36 :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu”.
Firman Allah ini, menempatkan kewajiban manusia untuk berbuat baik dan mengabdi kepada kedua orangnya, langsung sesudah kewajibannya untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Mendengarkan Nasehat dan Mentaati Perintahnya. Sebagai konsekuensi logis dari kewajiban untuk mengabdi dan membahagiakan kedua orang tua, maka setiap anak wajib mendengarkan nasehat dan mentaati semua perintah mereka, sepanjang tidak memerintahkan berbuat maksiat atau menyekutukan Allah SWT. Jika kedua orang tua memerintahkan anaknya berbuat maksiat atau menyekutukan Allah SWT, maka anak tidak boleh mentaatinya. Sungguh pun demikian, kedua orang tua tetap harus dihormati dan diperlakukan dengan baik. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Luqman ayat 14 – 15 :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Berbicara dengan penuh sopan santun dan tidak membentaknya. Para santri wajib berbicara yang sopan kepada kedua orang tua dan tidak membentak merka, terutama jika orang tua sudah menjadi renta dan pendengaran mereka sudah sangat menurun, karena hal itu sangat menyakiti hati orang tua. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Isra’ ayat 23 :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka serta ucapkanlah perkataan yang mulia”.
Membantu pekerjaan dan berusaha memenuhi semua kebutuhan hidup orang tua. Para santri harus siap dan bersedia membantu pekerjaan orang tua seperti membersihkan rumah, merapikan tempat tidur, memasak, mencuci piring, memperbaiki letak atau mengganti geneteng yang bocor dsb. Jika orang tua sudah tidak mampu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebabkan kerena telah berusia lanjut, sakit atau faktor yang lain, maka semua kebutuhan hidupnya, baik berupa makanan, minuman, pakaian, perumahanan, maupun obat-obatan menjadi tanggung jawab anak-anaknya, terutama anak laki-laki yang sudah dewasa. Di banding dengan jasa orang tua terhadap anaknya, bantuan nafkah tersebut belum berarti apa-apa. Bahkan hadits Rasulullah saw telah menyebutkan, “Demi Allah, meskipun kamu telah memotong-motong dagingmu untuk memenuhi keperluan hidup orang tuamu, niscaya kamu belum memenuhi haknya, walaupun hanya seperempat”.
Menghindari hal-hal yang menimbulkan murka orang tua. Para santri wajibmenghindari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kekecewaan, kemarahan dan murka orang tua. Seperti ucapan yang kasar, membentak, sikap dan perbuatan yang menyakitkan. Terutama jika orang tua telah berusia senja yang biasanya sangat mudah tersinggung dan menjadi pemarah. Karena kekecewaan, kemarahan dan murka orang tua, akan menyebabkan murka Allah SWT. Sedangkan orang yang dimurkai Allah, hidupnya tidak akan bahagia, baik di dunia maupun di akheratnya. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW :
“Ridla Allah bergantung pada ridla kedua orang tua dan murka Allah bergantung pada murka kedua orang tua”.
Mendoakan dan memohonkan ampunan. Di samping kewajiban-kewajiban di atas, setiap anak juga wajib mendoakan kepada orang tuanya agar mereka memperoleh rahmat dan kasih sayang dari Allah swt. serta diampuni semua dosa, kesalahan dan kehilafan mereka. Di antara do’a-do’a tersebut telah disebutkan dalam surat al-Isra’ ayat 24 :
“Dan bersikaplah sopan santun kepada mereka dengan penuh kesayangan, serta doakanlah mereka dengan ucapan, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu masih kecil”.
Uraian di atas menunjukkan, bahwa selama orang tua tidak memerintahkan kekufuran, kemusyrikan dan perbuatan maksiat kepada Allah SWT, maka semua perintahnya wajib dilaksanakan, semua larangannya wajib dihindarkan dan semua nasehatnya wajib didengar dipatuhi. Akan tetapi jika mereka memerintahkan kekufuran, kemusyrikan dan maksiat kepada Allah, maka tidak boleh diikuti. Meskipun demikian perbedaan agama dan kepercayaan tidak menjadi penghalang bagi anak untuk menghormati dan mentaati orang tuanya.
Akhlak Anak terhadap Orang Tua yang telah Wafat
Meskipun orang tua telah wafat, anak-anak tetap mempunyai kewajiban untuk berakhlak mulia kepadanya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Abu Daud dari sahabat Abu Usaid Malik ibn Rabi’ah al-Sa’idi RA. Beliau berkata :
“Ketika kami sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berasal dari Bani Salimah datang. Kemudian laki-laki tersebut bertanya; ’Wahai Rasulullah, masih adakah kewajiban bagi saya untuk berbakti kepada kedua orang tua saya sesudah mereka berdua wafat? Kemudian Rasulullah SAW menjawab betul, yaitu (1). Shalatkan jenazah kedua orang tuamu (2). Mohonkan ampunan keduanya (3). Laksanakan janji (amanah/wasiat) keduanya sesudah wafat (4). Jalin hubungan sillaturrahim dengan kerabat keduanya (5). Muliakan sahabat keduanya”[1]
Berdasarkan hadits shahih di atas dapat disimpulkan, bahwa kewajiban anak terhadap kedua orang tuanya sesudah mereka wafat adalah sbb. :
- Menshalati (menyembahyangkan) jenazahnya
- Memohonkan ampunan kepada Allah SWT dan sesama manusia
- Melaksanakan semua janji-janji atau wasiatnya.
- Menyambung tali persaudaraan dengan keluarga dan sanak famili almarhum dan almarhumah
- Memuliakan para sahabatnya.[]
[1] Al-Imam Abi Zakaria Yahya ibn Syaraf al-Nawawi al-Dimasyqi, Riyadu al-Sholihin, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 2010, h. 137
- Baca juga: Akhlak kepada Rasulullah SAW

Selain wajib berakhlak mulia kepada Allah SWT, umat Islam juga wajib berakhkak mulia kepada Rasulullah SAW, karena beliau adalah kekasih Allah yang diutus untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia agar mereka menjalani hidup dan kehidupan sesuai petunjuk-Nya sehingga meraih kebahagiaan hidup yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat (السعادة في الدارين).
Beliau-lah yang mengenalkan kita kepada Allah SWT. Beliau-lah yang mengajarkan hukum-hukum Islam kepada kita, baik hukum-hukum tentang ibadah, mu’amalah, munakahah maupun jinayah. Beliau-lah yang mendidik kita agar berakhlak mulia, baik kepada Allah, diri sendiri maupun kepada orang lain, bahkan flora, fauna serta alam di sekeliling kita.
Di antara bentuk nyata akhlak mulia kepada Rasulullah SAW adalah sebagai berikut :
- Meyakini dengan sepenuh hati (beriman) bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT. kepada seluruh manusia dan jin untuk menebarkan rahmat bagi alam semesta. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Fath ayat 29 :
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras (tegas) terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.
Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Anbiya’ ayat 107 :
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” - Meyakini dengan sepenuh hati (beriman) bahwa semua informasi (al-Qur’an & al-Hadits) yang disampaikan oleh beliau adalah pasti benar, karena berasal dari wahyu Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Najm ayat 3 – 4 :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). - Mentaati beliau dengan melaksanakan semua perintahnya, menjauhi larangan-larangannya serta mengikuti dan menghidupkan sunnah-sunnahnya. Hal ini merupakan bukti nyata keincintaan manusia kepada Allah SWT, Dzat yang menganugerahkan berbagai macam keni’matan kepada manusia. Sebagaimana difirmankan dalam surat Ali Imrah ayat 31 :
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Demikian juga firman-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 59 :
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. - Tidak membantah apalagi menentang keputusan Rasulullah SAW. karena meyakini bahwa keputusan beliau pasti benar karena beliau selalu mendapat bimbingan dan pengawasan dari Allah SWT. Barangsiapa membantah apalagi menentang keputusan Rasulullah SAW, kemudian tidak segera bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, maka tempatnya adalah di neraka Jahannam. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa’ ayat 115 :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. - Menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh teladan dalam seluruh aspek kehidupan, karena Allah SWT telah merekomendasikan kepada orang-orang yang beriman agar mencontoh sikap dan prilaku beliau. Sebagaimana telah difiramkan dalam surat al-Ahzab ayat 21 :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. - Memperbanyak membaca shalawat dan salam sebagai ekpsresi dari rasa cinta (mahabbah) kepada Rasulullah SAW. Jangankan kita umat yang sangat mengharapkan syafaat (pertolongan) beliau pada hari kiamat kelak, Allah SWT Dzat yang menciptakan beliau dan para malaikat yang tidak mempunyai dosa saja selalu membaca shalawat kepada beliau. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Ahzab ayat 56 :
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat: dari Malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: Allahuma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad. Sedangkan mengucapkan salam, adalah ucapan seperti: Assalamu’alaika ayyuhan Nabi artinya: semoga keselamatan tercurah kepadamu wahai Nabi. Seseoang yang rajin bershalawat, maka akan dibalas berlipat-lipat oleh Allah SWT, bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW mendapatkan syafa’at. - Tidak berbicara dengan suara keras, melebihi suara Rasulullah SAW padahal beliau adalah manusia yang paling halus. Jika kita berbicara dengan suara keras apalagi berteriak-teriak di hadapan beliau atau makam beliau, maka hal itu berpotensi menghapuskan pahala amal ibadah yang telah kita lakukan. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Hujurat ayat 2 :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari”. - Menghormati dan memuliakan ahlul bait (keluarga) Nabi Muhammad SAW, baik para istri (umahat al-mukminin), para putra dan putri maupun para cucu keturunan beliau yang dikenal dengan sebutan habib (habaib) atau sayyid, karena mereka adalah orang-orang yang disucikan oleh Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Ahzab ayat 33 :
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.
[]
- Baca juga Akhlak kepada Allah SWT (2)

Hirarki Kemursyidan dalam Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Hadiri Ngaji Bulanan Pesma Daarusshohabah, Kiai Nafi Jelaskan Pentingnya Tasawuf
Habib Luthfi bin Ali bin Yahya
Anugerah Gelar DHC Abah
Arsip
- September 2023 (35)
- August 2023 (68)
- July 2023 (63)
- June 2023 (62)
- May 2023 (71)
- April 2023 (54)
- March 2023 (66)
- February 2023 (61)
- January 2023 (72)
- December 2022 (60)
- November 2022 (68)
- October 2022 (66)
- September 2022 (68)
- August 2022 (61)
- July 2022 (73)
- June 2022 (74)
- May 2022 (72)
- April 2022 (67)
- March 2022 (89)
- February 2022 (85)
- January 2022 (89)
- December 2021 (72)
- November 2021 (36)
- October 2021 (6)
- September 2021 (15)
- August 2021 (14)
- July 2021 (15)
- June 2021 (20)
- May 2021 (15)
- April 2021 (20)
- March 2021 (15)
- February 2021 (30)
- January 2021 (62)
- December 2020 (95)
- November 2020 (101)
- October 2020 (72)
- September 2020 (41)