Pustaka
Thariqat Sufi Empat Imam Madzhab
“Di, aku lagi puyeng juga, ditanya banyak orang, apakah Imam-imam besar yang menjadi imam mazhab, Seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Hambali, itu berthariqat? Bagaimana aku menjawab, tentang mereka saja saya nggak begitu kenal, apalagi ketemu, Di.”
Published
3 years agoon

“Siapa yang tanya kamu?”
“Yah, kalau yang tanya sesama kawan makelar, tukang ojek dan tukang becak, saya nggak ambil pusing. Senasib lah dengan saya. Lho yang bertanya ini seorang kyai pada saya… Weleh-weleh, apa nggak mumet saya…”
Dulkamdi mencoba memahami kemumetan Pardi. Kira-kira kalau yang bertanya itu seorang kyai pada Pardi, bisa pertanyaannya dilatari apakah si Pardi itu ngerti apa nggak. Atau sebaliknya kyai tadi memang tidak berthariqat sufi, lalu mencoba menggugat lewat pertanyaan seperti itu. Atau bahkan kyai itu penasaran, mencari informasi sungguhan, karena para ulama besar seperti Imam-imam itu tidak mengarang kitab tasawuf.
“Oke… oke….”
“Oke oke apanya, Dul.”
“Maksudku oke itu, aku faham kenapa ndhasmu ngelu…”
“Jawabnya?”
“Sama dengan kamu, ndhasku ngelu pisan, Di….”
Dua sahabat itu tiba-tiba dikejutkan oleh Kyai Mursyid yang mendatangi kedai Cak San bersama Kang Soleh. Pardi dan Dulkamdi agak rikuh, buru-buru cium tangan kyainya.
Sang kyai langsung memesan kopinya Cak San yang konon ceshpleng mak greng!
Pardi menyenggol-nyenggol kakinya Dulkamdi, sembari mengisyaratkan agar disampaikan kegelisahannya.
“Minuman kopi ini, di zaman Nabi SAW. belum ada,“ celetuk Kyai Mursyid.
“Weh, kalau begitu apa haram hukumnya, Pak Kyai?” timpal Pardi.
Kyai Mursyid tersenyum lembut.
“Untung saja tidak dibahas oleh MUI, mestinya dibahas juga ya?” jawabnya sembari disambut gerr.
“Wah kalau sampai diharamkan, saya mau bikin label Halal untuk nandingi labelnya MUI, Pak Kyai…” timpa Pardi.
“Tasawuf juga belum ada istilahnya di zaman Nabi. Makanya tasawuf dianggap bid’ah oleh orang-orang yang model pikirannya dangkal….”
“Apa kalau para imam mazhab empat itu juga berthariqat sufi, Kyai?” tanya Pardi mumpung wacananya mengalur.
“Oh ya… Semua mujtahidin dan para ulama salaf itu sekaligus juga seorang sufi dan berthariqat, kecuali para ulamanya penguasa model MUI-nya para khalifah waktu zaman-zaman Abbasiyyah, yang justru banyak menentang tasawuf….”
Semua penghuni kedai itu terdiam. Lalu Kyai Mursyid melanjutkan.
“Misalnya, Imam Abu Hanifah ra, seorang imam mazhab dari empat mazhab terkenal, ternyata juga seorang mursyid thariqah sufi. Diriwayatkan oleh seorang faqih Hanafi al-Hashkafi, menegaskan, bahwa Abu Ali ad-Daqqaq ra, berkata, “Aku mengambil thariqah sufi ini dari Abul Qasim an-Nashr Abadzy, dan Abul Qasim mengambil dari Asy-Syibly, dan Asy-Syibly mengambil dari Sary as-Saqathy, beliau mengambil dari Ma’ruf al-Karkhy, dan beliau mengambil dari Dawud ath-Tha’y, dan Dawud mengambil dari Abu Hanifah ra.”
“Wah, ladhala kersaning ngalah, berarti ini jawaban yang jelas Dul,” celethuk Pardi.
Kyai Mursyid melanjutkan.
“Abu Hanifah dikenal sebagai fuqaha ulung, ternyata tetap memadukan antara syari’ah dan haqiqah. Dan Abu Hanifah terkenal zuhud, wara’ dan ahlu dzikir yang begitu dalam, ahli kasyf, dan sangat dekat dengan Allah Ta’ala, berkah tasawuf yang diamalkannya.”
“Jika ada pertanyaan, kenapa para mujtahidin itu tidak menulis kitab khusus mengenai tasawuf, jika mereka mengikuti aliran sufi?” tanya Dulkamdi.
“Imam Asy-Sya’rany, mujtahid dan ulama besar mengatakan, “Para mujtahidun itu tidak menulis kitab khusus mengenai tasawuf, karena penyakit-penyakit jiwa kaum muslimin di zamannya masih sedikit. Mereka lebih banyak selamat dari riya’ dan kemunafikan. Mereka yang tidak selamat jumlahnya kecil. Hampir-hampir cacat mereka tidak tampak di masa itu. Sehingga mayoritas mujtahidin di masa itu lebih konsentrasi pada bidang ilmu dan mensistematisir pemahaman pengetahuan yang tersebar di kota dan desa, dengan para tabi’in dan tabi’it tabi’in, yang merupakan sumber materi pengetahuan, sehingga dari mereka dikenal timbangan seluruh hukum, disbanding berdebat soal amaliyah qalbiyah sebagian orang yang tidak banyak muncul.”
“Kalau Imam Malik, Pak Kyai?” tanya salah seorang pengedai di sana.
“Wah, malah beliau mengatakan soal tasawuf ini dengan kata-kata yang sangat popular hingga saat ini. Siapa yang bersyariat atau berfiqih tanpa bertasawuf, benar-benar menjadi fasiq. Dan siapa yang bertasawuf tanpa bersyariat (berfiqih) benar-benar zindiq. Siapa yang mengintegrasikan fiqih dan tasawuf benar-benar menapaki hakikat kebenaran.”
Suasana jadi hening.
“Sekalian Imam Syafi’i…? Daripada kalian masih nggrundel…”
“Betul Pak Kyai…”
“Imam Syafi’i Ra. Malah mengatakan, “Aku diberi rasa cinta melebihi dunia kalian semua: yaitu meninggalkan hal-hal yang makruh, bergaul dengan sesama penuh dengan kelembutan, dan mengikuti thariqat ahli tasawuf.”
“Nah, saya dengar pengikut aliran Hambali banyak menolak dunia thariqat ini, bagaimana sebenarnya….”
“Memang, awalnya Imam Hambali menolak dunia sufi. Bahkan banyak muridnya juga demikian. Tokoh-tokohnya yang bermazhab Hambali seperti Ibnu Taymiyah, Ibnul Qoyyim, dan mereka yang lebih cenderung mendalami hadits Nabi saja, kebanyakan menolaknya…. Kalau menerima kayaknya malu-malu gitu.”
“Lalu?”
“Akhirnya malah Imam Hambali ikut thariqah sufi…. Sebelum belajar tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum sufi. Karena kadang di antara mereka sangat bodoh dengan agama.”
“Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajelis dengan para sufi, karena mereka bias memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur kepada Allah.”
Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat….”
“Kelak, Ibnu Qayyim pun, juga menulis kitab tasawuf. Banyak yang tidak paham pada Imam Ahmad bin Hambal, lalu berubah jadi radikal.”
Kyai Mursyid lalu berdiri, usai meminum secangkir kopi Cak San. Beliau keluar diikuti oleh Kang Soleh.
“Nah, Dul, beres kalau begitu… hehehe….” bisik Pardi.
(Dari Buku Kedai Sufi, Jalan Hakikat, KHM Luqman Hakim)
Kitab
Empat Buku Penting Kajian Syekh Hamzah Fansuri Sepanjang Masa
Published
3 months agoon
12/09/2023
Hamzah Fansuri telah dikaji oleh orientalis setidaknya sejak tahun 1933 atau bahkan lebih awal. Di tahun tersebut, John Doorenbos melakukan kajian filologi atas prosa dan syair Hamzah dan menerbitkannya dalam buku berjudul De Geschriften van Hamzah Pansoeri. Buku ini mengkaji beberapa karya syair dan prosa Syekh Hamzah seperti Ashrar Al Arifin dan Sharb Al Ashiqin. Selanjutnya muncul buku-buku karya orientalis lain seperti G.W.J Drewes dan L.F Brakel yang menulis The Poems of Hamzah Fansuri (1986); Claude Guillot dan Ludvik Kalus, menulis La stele funeraire de Hamzah Fansuri atau Batu Nisan Hamzah Fansuri (2000); Dan Braginsky, Satukan Hangat dan Dingin Kehidupan Hamzah Fansuri Pemikir dan Penyair Sufi Melayu (2003).
Sarjana Nusantara yang juga menulis tentang Hamzah Fansuri di antaranya Syed Muhammad Naquib Al-Attas melalui buku The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970); Ali Hasjimi yang menulis Ruba’i Hamzah Fansuri-Karya Sastra Sufi Abad XVII (1976); Wan Mohd Saghir Abdullah yang menulis Tafsir Puisi Hamzah Fansuri dan Karya-karya Sufi (1993); Abdul Hadi, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik terhadap karya-karya Hamzah Fansuri (2001); Dan Sangidu, Wachdatul Wujud – Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Samatrani dengan Nururddin ar Raniri (2003)
Di antara begitu banyak karya tersebut, ada empat judul yang sangat penulis rekomendasikan Alasannya, pertama karena sebagiannya adalah buku-buku paling awal yang mengkaji naskah tasawuf Hamzah Fansuri. Kedua, semua buku tersebut menggunakan sumber primer, yaitu naskah asli Hamzah Fansuri. Ketiga, buku-buku tersebut memuat analisis karya sang Hamzah secara komprehensif. Nyaris belum ada karya sebelum maupun setelahnya yang memuat sumber lain di luar dari apa yang mereka tulis. Keempat, hampir keseluruhan buku dan jurnal yang lahir setelahnya merujuk kepada mereka. Kelima, belum ada diskursus yang keluar dari wilayah kajian dari peneliti-peneliti tersebut seperti linguistik, metafisika, kosmologi, teologi, psikologi dan epistemologi.
1. The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970)
The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970) adalah karya Syed Muhammad Naquib Al Attas yang diterbitkan oleh University of Malay Press Kuala Lumpur. Buku ini dapat dianggap sebagai karya legenda karena hampir semua peneliti pasca tahun 1970 yang hendak mengkaji Hamzah Fansuri akan merujuk kesini. Menurut Braginksy, buku ini adalah karya revolusi yang membangkitkan kajian mengenai berbagai aspek dalam studi Hamzah, Islam dan Melayu dalam berbagai aspeknya (Wan Daud dan Uthman, 2009).
Pengarangnya, Syed Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas adalah filsuf kebangsaan Malaysia yang lahir di Bogor, 5 September 1931. Al-Attas menghadirkan buku ini dalam rangka menyempurnakan transliterasi naskah Hamzah yang telah dimulai oleh Doorenbos.
Buku Al-Attas sendiri, selain mengelaborasi tiga risalah tasawuf juga mencantumkan lebih dari seratus bait syair Hamzah yang diambil dari perpustakaan Universitas Leiden. Menurut Al-Attas, ajaran tasawuf Hamzah Fansuri, secara ontologi, kosmologi dan psikologi memiliki kesamaan dengan Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli. Beberapa pokok pemikiran Hamzah Fansuri yang terdapat dalam buku Al-Attas yaitu aspect of oneness (tauhid dan ketauhidan); the world of created things (makhluk, ciptaan atau maujudad), creation and the doctrine of perpetual creation (doktrin penciptaan dan keabadian ciptaan yang diperdebatkan), fixed essence (a’yan thabithah), the spirit (nyawa/ruh) dan the soul/self (diri/nafs), divine attribute (Sifat Allah) dan hubungan fana dengan ma’rifah dan ikhtiar. Selain itu, secara mendalam Al Attas juga mengkaji pemikiran Hamzah mengenai divine will (irâdah) dan hal-hal terkait dengannya, termasuk hubungan antara irâdah dengan makna hendak dan mahu (mau) dalam bahasa Melayu. Melalui pendekatan linguistik dan semantik (a general linguistic and semantic approach) ia berusaha menemukan sistem mistik Syekh Hamzah Fansuri dengan pemetaan terhadap kata-kata kunci (to selection of key words in the vocabulary of Hamzah’s mystical system).
2. Ruba’i Hamzah Fansuri (1976)
Ruba’i Hamzah Fansuri; Karya Sastra Sufi Abad XVII (1976) ditulis oleh Ali Hasjimi dan diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Buku berukuran kecil tersebut merupakan transliterasi atas karya Syekh Samsuddin As Sumatrani yang membahas 26 bait syair Hamzah Fansuri. Sebagai pengantar Ali Hasjimi juga memaparkan riwayat Hamzah Fansuri dan polemik pemikiran tasawufnya. Terakhir, Ali Hasjimi juga memuat 19 bait syair tafsir unggas yang sedikit berbeda dengan tafsir unggas dalam buku Al-Attas. Perbedaan ini bisa terjadi karena perbedaan hasil bacaan atau manuskrip yang dibaca berbeda. Karena salah satu resiko dalam dunia penyalinan naskah di masa lalu adalah terjadinya berbedaan salinan dari satu naskah yang sama.
3. The Poems of Hamzah Fansuri (1986)
The Poems of Hamzah Fansuri (1986). Buku ini diterbitkan oleh Foris Publication, Cinnaminson-USA tahun 1986. Pada tahun 1976, Brakel memperkenalkan Hamzah Fansuri dalam The World Orientalist Conference di Paris dan tahun 1979 di the 2nd European Colloquium on Indonesian Studies di London. Artinya, naskah sastra sufi Melayu Nusantara, wabilkhusus Syekh Hamzah telah sejak lama menjadi lirikan orang Eropa dan Amerika.
Drewes dan Brakel memulai bukunya dengan mengkaji periode kehidupan Hamzah Fansuri, pengaruh ajarannya di Pulau Jawa, diskursus beberapa naskah, pengaruh tasawuf Persia, penolakan Nuruddin Ar Raniry, dan telaaah filologis atas karya syair Hamzah. Secara umum, buku “The Poems” mengkaji syair Hamzah Fansuri langsung sumber-sumber primer baik di Indonesia maupun Belanda.
4. Tasawuf yang Tertindas (2001)
Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik terhadap karya-karya Hamzah Fansuri (2001) terbitan Paramadina layak diposisikan sebagai salah satu karya yang mengulas syair Syekh Hamzah secara lebih komprehesif. Bahkan ada pendapat yang beredar bahwa “Jika ingin mengenal kitab tasawuf Hamzah Fansuri, maka bacalah “The Mysticism of Hamzah Fansuri” dan jika ingin mengenal syair-syairnya bacalah “Tasawuf yang Tertindas.” Hal ini menjadi wajar karena Abdul Hadi memfokuskan karya disertasi pada Universitas Sains Malaysia tersebut untuk membedah syair-syair Hamzah Fansuri.
Buku Tasawuf yang Tertindas dimulai dari penjelasan-penjelasan teoritik mengenai tasawuf dan sastra sufi; hermeneutika, dunia simbol dan ta’wil; serta perdebatan atas pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri. Pada bagian kedua, Abdul Hadi mendekati naskah Hamzah secara filologi dengan memeriksa mana teks yang diyakini sebagai milik Hamzah Fansuri dan mana teks milik orang lain. Pemeriksaan dilakukan setelah merumuskan beberapa ciri dan karakter syair Hamzah berdasarkan pengalaman bertahun bergumul dengan teks sufi penyair terbesar Aceh tersebut. Dua sumber utama syair yaitu Perpustakaan Nasional Jakarta dan Perpustakaan Museum Leiden.
Penulis: Ramli Cibro (Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh)
Editor: Khoirum Millatin
Kitab
Mengenal Kitab Insan Kamil Fi Ma’arifah Awa’il wa Awakhir dalam Membangun Spiritual Hati
Published
5 months agoon
29/06/2023By
Budi Handoyo
Insan kamil menjadikan manusia (mikro-kosmos) sebagai fokus kajian, utamanya Rasulullah saw. sebagai inti pembahasan dan ikon kesempurnaan. Karya tersebut merupakan buah pemikiran dan hasil kasyf Syekh Abdul Karim Al-Jili, seorang wali Allah, ulama sufi dan juga cerdik cendikiawan muslim kelahiran al-Jailan salah satu distrik di kota Baghdad (Irak), yang hidup antara tahun 1366 M dan 1430 M. Al-Jili merupakan anak keturunan Syekh Sayyidi Abdul Qadir Al-Jilani.
Kitab Insan kamil mengupas tuntas kesejatian maujudaat dari awal hingga akhir, utamanya kesejatian wujud al-Haq yang bertajallikan pada segala wujud. Untuk memakrifahi hakikat segala sesuatu itu menurut al-Jili hanya bisa dilakukan dengan jalan mukasyafah. Dalam karya ini al-Jili mencoba merumuskan degri-degri makrifah, dimulai dengan pemahaman kesejatian wujud tingkat paling dasar hingga wujud teragung.
Al-Jili mengharamkan teori ittihad, Hulul, Tanazukh dan tipe wahdatul al-wujud mulhid. Substansi pokok kitab Insan al-Kamil menjelaskan, “Tidak ada sesuatu yang yang hakiki selain al-Dzat al-Ilahiyyah yang mencakup inti Dzat dan inti makhluk.”
Menurut al-Jili, inti (Dzat) al-Haq dan lnti makhluk adalah dua yang berbeda, namun termanisfestasikan dalam satu wujud. Adapun tahapan utama adalah “kabut” (a’ama) ibarat dzat murni yang terselimuti sebelum tajalli. Kemudian Al-Ahadiyah yang merupakan awal penurunan dari kegelapan kabut menuju cahaya tajalli. Lalu al-Wahidiyah, ia merupakan manifestasi Dzat dengan sifat-sifat pencitraan global.
Al-Jili mengistilahkan pencitraan global itu dengan Alam Kabir (makro cosmos), sedangkan manusia disebut Alam shaghir (mikro cosmos). Dengan demikian sejatinya insan kamil itulah sejatinya citra lahir al-Haq di alam realitas (asy-Syahadah) ini.
Syekh Abdul Karim al-Jili dalam kitab Insan kamil menjelaskan,
أن الإنسان الكامل هو القطب الذي تدور عليه أفلاك الوجود من أوله إلى آخره وهو واحد منذ كان الوجود إلى أبد الابدين ثم له تنوع في ملابس ويظهر في كنائس فيسمى به باعتبار لباس ولا يسمى به باعتبار لباس آخر، فاسمه الأصلي الذي هو له محمد، وكنيته أبو القاسم ووصفه عبدالله ولقبه شمس الدين ثم له باعتبار ملابس أخرى أسام وله في كل زمان اسم ما يليق بلباسه في ذلك الزمان.
“Sesungguhnya Insan Kamil itu sejatinya kutub yang berotasi, di sekelilingnya segenap Aflak yaitu cakrawala galaksi setiap wujud dari permulaan wujud alam hingga akhir wujud alam. Ia adalah Tunggal sejak wujud ada hingga kekekalan abadi, Ia memiliki aneka ragam baju, kemudian menampakkan diri dengan baju-baju itu, lalu dinamakan sesuai dengan baju yang melabeli wujud penampakkannya, dan Insan Kamil tidak dinamai dengan baju lain selain baju kesempurnaan dan keutamaan. Namanya yang hakiki adalah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, gelarnya Abul Al-Qosim, pensifatannya Abdullah, julukannya Syamsuddin, setiap zaman Insan Kamil tetap ada setiap zaman ia memiliki nama sesuai dengan baju yang dikenakan yang sesuai zamannya.
(Kitab Al-Insan Al-Kamil fi Ma’arifat Awa’il wa Awakhir Juz II Dar Al-Kotob Al-ilmiyah Beirut hal 277).
Menurut al-Jili satu-satunya Thariqah untuk memahami hakikat segala wujud yang tertera dalam kitab Insan kamil adalah dengan dzuq bukan dengan logika.
Dalam kitab Insan kamil al-Jili membagi wujud dengan wujud Murni, yaitu inti (dzat) Allah Ta’ala dan wujud Mulhaq bil Adam yaitu inti segenap makhluk-Nya. Dzat Allah tidak bisa dilihat. Inti (dzat) Nya Ghaib al-Ghaib. Tidak bisa dilihat dengan kasat mata, nalar logika, dijangkau daya persepsi, namun bisa dilihat melalui tajalli-Nya pada segenap maujudaat, sedangkan untuk mengetahui hakikat makrifatnya adalah dengan pengetahuan intuitif.
Al-Jili juga menuturkan Insan kamil merupakan cerminan inti (dzat) ketuhanan, sejalan dengan sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk citra Diri-Nya.” Al-Haq menciptakan Muhammad dari dzat Diri-Nya. Dia menjadikan Muhammad wujud tajalli Kesempurnaan, Keperkasaan dan Keindahan Diri-Nya. Kemudian Dia menciptakan rahasia semesta alam dari cahaya Muhammad tersebut. Demikian pula dengan segenap partikel wujud sejatinya adalah Jauhar al-Fard (etentitas tunggal), selaras dengan sabda Rasul Saw, “Kali pertama yang diciptakan Allah adalah al-Qalam, juga hadits Nabi saw. lain, “Kali pertama yang diciptakan Allah adalah akal.”
Membaca kitab Insan kamil ini kita dihadapkan pada kalimat-kalimat yang pekat dengan simbol-simbol, isyarat-isyarat dan metafora serta paradoks tasawuf. Kalimat-kalimat ini mewajahkan semangat spiritual penulisnya yang tinggi, dalam mengekspresikan pengalaman bathin (insight)nya dengan Allah. Bahasa dan kata-kata yang jamak digunakan sang penulis memang tidak sepenuhnya bisa dipahami dari makna lahirnya.
Tanpa menelisik makna-makna bathinnya, kita akan mudah terpeleset dalam kekeliruhan serius. Maka tajamkanlah nalar logika anda, optimalkan ketajaman mata hati anda, singkirkan segenap pikiran dari makna-makna lahiriyah, agar anda benar-benar tahu. Carilah makna-makna bathin melalui seorang mursyid yang arif billah yang pakar dibidang ilmu hakikat.
Oleh karena itu, Syekh Abdul Karim Al-Jili dalam frase kitab Insan kamil mengingatkan,
“Ketahuilah, bahwasanya setiap ilmu yang tidak didasari al-Quran dan sunnah Rasul-Nya yang shahih adalah dlalal (sesat), al-Quran dan sunnah Nabi bukan untuk membenarkan ilmu dan tindakan anda, akan tetapi hendaknya ilmu dan tindakan anda sesuai dengan pesan al-Quran dan sunnah Rasul-Nya. Jadikan keduanya dasar pijakan ilmu dan ibadah anda, jika nalar anda dan dasar logika anda tidak mampu menjangkau kedalam ilmu ini (dalam kitab Insan kamil), sebaiknya anda taslim dengan keimanan yang jernih dan jangan sekali-kali mengingkari sesuatu yang anda belum mampu menyibaknya, serahkan segala sesuatunya kepada Sang Maha Mengetahui, Dialah Allah Ta’ala.”
(Kitab Al-Insan Al-Kamil fi Ma’arifat Awa’il wa Awakhir Juz I, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Beirut hal 32)
Kitab
Kitab Al-Haqibah; Kompilasi Doa, Shalawat dan Wirid yang Disusun oleh Ayah Gus Mus
Published
11 months agoon
29/12/2022
KH. Bisri Mustofa yang merupakan ayah dari KH. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, di masa hidupnya adalah ulama yang produktif menulis kitab dengan berbahasa Arab – Pegon atau Arab – Jawa. Banyak karyanya yang menjadi rujukan keilmuan hingga saat ini mulai dari bidang tafsir, fiqih, sejarah hingga bahasa Arab.
Selain dari sekian banyak karyanya tersebut, Kiai Bisri juga mengumpulkan doa-doa dan ijazah wirid dari guru-gurunya yang dikumpulkan dan disusun dalam sebuah kitab yang bernama Al-Haqibah yang terdiri dari dua jilid untuk diamalkan oleh segenap santri dan masyarakat umum. Wirid-wirid tersebut antara lain berasal dari Mbah Kiai Wahab Chasbullah, Mbah Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Mahrus Aly, Kiai Abdullah Zaini, Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Murtadlo Tuban, Kiai Nawawi Kajen, Sayyid Abdul Qodir Bafaqih Tuban, Kiai Thoha Rembang, Syaikh Cholil Bangkalan, Kiai Ma’ruf Kedunglo, Kiai Iskandar Berasan, Kiai Abdul Jabbar Kajen dan lain-lain.
Di lansir dari laman kuliahislam.com, Kiai Bisri memang memiliki hobi yang unik, yaitu memburu guru-gurunya untuk mengijazahkan doa-doa dan wirid secara langsung serta enggan menukil dari kitab-kitab karangan gurunya sendiri. Hal tersebut dikarenakan sanad ijazah doa yang diterima dan berharap berkah dari akumulasi “energi” doa yang telah ditirakati para Kiai sepuh.
Seperti ketika mengaji tafsir kepada Mbah Kiai Ma’ruf, Kedunglo Kediri, karena Kiai Bisri sudah paham Tafsir Jalalain, maka saat beliau menghadiri pengajian tersebut justru yang dibawa bukan tafsir Jalalain, tapi buku kosong guna mencatat doa yang akan disampaikan Mbah Kiai Ma’ruf.
Sayangnya, sebagaimana kitabnya yang lain, kitab Al-Haqibah juga ditulis dengan bahasa Arab – Pegon berikut juga khasiatnya. Sehingga bacaan tersebut perlu ditransliterasi dan diterjemahkan agar bisa dinikmati oleh orang yang non-Jawa.

Hirarki Kemursyidan dalam Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Hadiri Ngaji Bulanan Pesma Daarusshohabah, Kiai Nafi Jelaskan Pentingnya Tasawuf
Habib Luthfi bin Ali bin Yahya
Anugerah Gelar DHC Abah
Arsip
- September 2023 (35)
- August 2023 (68)
- July 2023 (63)
- June 2023 (62)
- May 2023 (71)
- April 2023 (54)
- March 2023 (66)
- February 2023 (61)
- January 2023 (72)
- December 2022 (60)
- November 2022 (68)
- October 2022 (66)
- September 2022 (68)
- August 2022 (61)
- July 2022 (73)
- June 2022 (74)
- May 2022 (72)
- April 2022 (67)
- March 2022 (89)
- February 2022 (85)
- January 2022 (89)
- December 2021 (72)
- November 2021 (36)
- October 2021 (6)
- September 2021 (15)
- August 2021 (14)
- July 2021 (15)
- June 2021 (20)
- May 2021 (15)
- April 2021 (20)
- March 2021 (15)
- February 2021 (30)
- January 2021 (62)
- December 2020 (95)
- November 2020 (101)
- October 2020 (72)
- September 2020 (41)