Artikel
Tasawuf: Solusi Terhadap Problematika Masyarakat Modern (2-Habis)
Published
3 years agoon

D. Tasawuf sebagai Alternatif Solusi
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui, bahwa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya berbagai macam problematika masyarakat modern adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang terlepas dari nilai-nilai agama dan spiritual. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan oleh agama Islam dalam menyelesaikan berbagai problematika yang dihadapi manusia di zaman modern adalah mendasari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan melalui metode ilmiah rasionalisme dan empirisme dengan nilai-nilai agama dan spiritual, bukan dengan menghalang-halangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkan oleh umat manusia dan sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa faktor utama yang menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat modern adalah diabaikannya nilai-nilai agama dan spiritual. Oleh karena itu, solusinya adalah mengajak umat manusia yang hidup di zaman modern untuk memperhatikan nilai-nilai agama dan spiritual, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kini dan mendatang dijiwai oleh ruh agama. Hal ini sesuai dengan tuntutan masyarakat modern yang harus diperhatikan dan sejalan dengan ramalan almarhum Sudjatmoko yang mengatakan bahwa abad mendatang ini adalah abad spiritualitas melalui agama-agama.[1]
Sungguh pun demikian perlu diperhatikan, bahwa ajaran agama yang sangat diperlukan oleh masyarakat modern adalah ajaran yang mampu memberikan kepuasaan spiritual dan ketenangan batin, bukan ajaran agama yang hanya menekankan formalisme, apalagi yang hanya mementingkan organisasi. Hal ini tercermin dari semboyan sebagian masyarakat Barat seperti diungkapkan oleh dua orang futurolog, John Naisbitt dan Praticia Aburdence, berkenaan dengan masalah kehidupan agama. Mereka berkata, “Spirituality, Yes; Organized Religion, No.[2] Kedua futurolog itu mengemukakan, bahwa berdasarkan hasil-hasil pengumpulan pendapat menunjukkan adanya indikasi menaiknya spiritualisme di kalangan masyarakat Amerika lebih tinggi daripada masa-masa sebelumnya. Sebagian besar mereka percaya, bahwa “Tuhan adalah kekuatan spiritual yang positif dan aktif”. Akan tetapi gejala itu disertai dengan menurunnya peran agama-agama formal. Kalangan muda yang terpelajar di sekolah-sekolah tinggi adalah yang pertama-tama bersikap sangat kritis terhadap agama-agama formal. Mereka menilai bahwa gereja dan sinagog “sibuk dengan masalah-masalah keorganisasian, dengan mengesampingkan isu-isu teologis dan spiritual”. Maka, kata Naisbitt-Aburdendene, mereka, kaum muda itu bukannya manusia “beragama” (religious), melainkan “berkeruhanian” (spiritual).[3]
Berdasarkan pengalaman yang terjadi pada masyarakat modern Barat di atas, maka satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan masyarakat modern dari berbagai permasalahan yang mereka hadapi adalah ajaran tasawuf atau mistisisme dalam Islam. Sebab jika ajaran agama yang ditawarkan kepada masyarakat modern lebih mengedepankan ajaran-ajaran yang bersifat formal sehingga tidak mampu memberikan kepuasaan spiritual dan ketenangan batin, maka mereka akan menolak dan akan mencari spiritualisme yang tidak berlandaskan ajaran agama, bahkan menyimpang dari agama. Di sinilah letak signifikansi ajaran tasawuf bagi masyarakat modern.
E. Pengertian Tasawuf
Ditinjau dari segi etimologis, satu sumber menyatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shafa (صفا) yang berarti bersih dan suci, karena seorang sufi adalah seseorang yang hatinya tulus dan bersih di hadapan Allah SWT.[4] Teori lain menyatakan bahwa kata tersebut berasal dari Shaff (صف) yang berarti barisan, karena para sufi senantiasa memilih barisan terdepan untuk mengejar keutamaan dalam shalat berjamaah. Ada pula yang menyatakan bahwa kata tersebut berakar pada kata Shuffah (صفة) yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati para sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut ahl al-shuffah, karena mereka berhati mulia, meskipun miskin. Ini merupakan salah satu sifat sufi yang tidak mementingkan dunia, tetapi lebih mementingkan hati yang mulia.[5] Teori lain menegaskan, bahwa tasawuf diambil dari kata tashawwafa (تصوف) yang berarti memakai kain shuf (wool kasar). Orang yang memakai kain shuf disebut shufi (jamaknya shufiah).[6]
Menurut Dr. Mir Valiuddin, teori-teori di atas sebagian mengandung kelemahan. Sebab, jika istilah Sufi berasal dari kata Shafa, maka bentuk kata yang benar adalah shafawi, bukan sufi. Jika berakar pada kata shaff, maka bentuk kata yang benar adalah shaffi bukan sufi. Begitu pula jika mengacu pada kata shuffah, maka bentuk kata yang benar adalah shuffi, bukan sufi. Oleh karena itu, ditinjau dari segi etimologis, kata sufi yang paling tepat berasal dari kata shuf, berarti wool kasar.[7] Dengan demikian, kata tasawuf dan sufi dihubungkan dengan kebiasaan mereka mengenakan pakaian wool kasar atau pakaian yang umum bagi fakir miskin di Timur Tengah pada masa itu. Mereka mengenakan wool kasar sebagai simbol atau tanda bahwa mereka adalah golongan yang lebih mengutamakan hidup sederhana dan lebih mementingkan kesucian rohani; berbeda dengan kebanyakan umat Islam waktu itu yang berlomba-lomba mengejar kesenangan hidup duniawi, berlomba dalam memakai pakaian yang indah-indah (sutera) dan mahal. Dengan demikian, pemakaian wool kasar merupakan reaksi terhadap kecenderungan masyarakat yang mengejar kekayaan dan perhiasan duniawi sehingga tidak memperhatikan halal dan haram. Hal ini sejalan dengan penjelasan H.A.R. Gibb sebagai berikut :
There is room here only for a brief summary of the beginings of the mystical movement in Islam which goes by the name of Sufism. The origin of the term Sufi is complex, but in general connected with the wearing of undyed garments of wool (suf). At first it was not a uniform but a mark of personal panitence, and some early ascetics condemned the use of it. Ibn Sirin (d. 729) criticized some ascetics for wearing suf in imitation of Jesus (as he said): “I prefer to follow the example of the prophet who dressed in cotton”. It Apears that a particular group of ascetics of Kufa in the second century were called generally al-Sufiye. But by the fourth century the wearing of woolen garments had become the regular badge of the Sufis of Iraq and the name was commonly applied to all mystics.[8]
Berdasarkan tinjauan etimologis yang memberikan gambaran tentang asal usul kata tasawuf di atas, maka pengertian tasawuf setelah menjadi suatu cabang ilmu agama, diformulasikan sebagai “falsalaf hidup dan cara-cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya untuk merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang realitas dan kebahagiaan rohaniah”[9] Sementara itu al-Junaid –sebagaimana dikutip oleh Prof. DR. HAMKA—memberikan definisi, bahwa tasawuf adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.[10] Definisi ini sejalan dengan definisi tasawuf yang sangat populer, yaitu :
التصوف هو التخلي عن الصفات الرذيلة والتحلي بالصفات المحمودة والتجلي إلى رب البرية
“Inti ajaran tasawuf adalah; mengosongkan diri dari sifat-sifat yang hina (tercela), berhias diri dengan sifat-sifat yang terpuji, dan bertajalli pada Tuhannya umat manusia”.
Ditinjau dari aspek sejarah, istilah tasawuf atau sufi baru muncul di dunia Islam pada akhir abad kedua Hijriyah, ketika umat Islam dilanda oleh banjir kekayaan duniawi akibat menang perang (pembukaan daerah-daerah baru di luar Jazirah Arabia). Kekayaan yang melimpah ruah ini menimbulkan wabah penyakit Byzantiniah (mementingkan kemewahan dunia), dan menghambarkan pengamalan agama mereka. Sebagai reaksi terhadap kehidupan yang lebih mementingkan kemewahan dunia tersebut, maka timbullah suatu gerakan yang lebih mengutamakan kehidupan rohani dan memalingkan diri dari kesenangan dunia. Sungguh pun demikian, sebagai fenomena keberagamaan yang memiliki perhatian penuh terhadap esoterisme, sebenarnya prilaku tasawuf dalam arti praktis telah mulai nampak sejak zaman Rasulullah SAW menyebarkan agama Islam. Sebagai respon terhadap dakwah yang beliau sampaikan, sebagian besar umat Islam pada masa itu menampakkan kesadaran yang tinggi untuk berprilaku asketis atau zuhud. Kehadiran mereka memenuhi panggilan Allah SWT, dilakukan semata-mata melaksanakan perintah-Nya sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, tanpa motivasi yang bermacam-macam. Dengan demikian, mereka sangat mementingkan kebersihan qalbu dan kebeningan jiwa sehingga jauh dari berbagai motivasi yang tidak benar dalam beribadah.
F. Hubungan Tasawuf dengan Fiqh (Hakikat dengan Syari’at)
Tasawuf adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari totalitas ajaran Islam yang meliputi Iman, Islam dan Ihsan. Ia merupakan ruh bagi agama Islam karena ia mengajarkan kepada manusia agar berusaha memperoleh pengalaman-pengalaman batin, rasa agama dan jiwa agama dengan membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela dan dengan mujahadah, bersungguh-sungguh dalam beribadah, bukan hanya berusaha memenuhi segi-segi formalitas dalam syari’at. Sebagaimana dikatakan oleh Syeh Zarruq yang dikutip oleh Drs. Sahilun A. Nasir sebagai berikut :
نسبة التصوف من الدين نسبة الروح من الجسد لأنه مقام الإحسان الذي فسره صلى الله عليه وسلم لجبريل : أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك.
“Hubungan tasawuf dengan ilmu-ilmu agama lainnya, adalah laksana hubungan ruh dengan jasad. Karena tasawuf merupakan tempat keutamaan (ihsan), yang oleh Nabi Muhammad SAW dijelaskan kepada malaikat Jibril ‘Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Bila tidak demikian, maka ketauhilah bahwa Allah itu melihat kamu”.[11]
Dengan demikian, maka setiap orang Islam yang melaksanakan ibadah kepada Allah SWT harus memperhatikan ajaran tasawuf (haqiqat), di samping ajaran fiqh (syari’at). Jika dalam beribadah umat Islam hanya berusaha memenuhi segi-segi formalitas dalam ajaran fiqh (syari’at) tanpa memperhatikan tasawuf, maka ia tidak akan diterima oleh Allah SWT. Sebaliknya jika hanya berpegang pada tasawuftanpa syari’at, maka ia tidak akan berhasil meraih tujuan ibadah. Sebagaimana dikatakan oleh Syeh Abu Qasim Abdul karim al-Qusyairi :
كل شريعة غير مؤيدة بالحقيقة فغير مقبولة. وكل حقيقة غير مقيدة بالشريعة فغير محصولة
“Setiap syari’at yang tidak diperkuat dengan hakekat tidak akan diterima. Sebaliknya, setiap hakekat yang tidak terikat pada syari’at tidak akan ada hasilnya”.[12]
G. Tasawuf Akhlaqi dan Tasawuf Falsafi
Pada abad pertama dan kedua Hijriyah, istilah tasawuf dan pemakaiannya belum dikenal. Sungguh pun demikian, pada masa itu telah muncul gejala kehidupan asketis, dimana setiap individu memusatkan dirinya pada kegiatan ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupannya dengan meninggalkan sifat ketamakan, keserakahan terhadap dunia dan mengalihkan perhatiannya dengan serius pada kehidupan yang berdimensi aschatologis.
Munculnya kehidupan asketis pada masa itu, semata-mata didasarkan pada anjuran Allah SWT dan Rasulullah SAW. Di antaranya firman Allah dalam surat al-An’an ayat 104 :
قل متاع الدنيا قليل والآخرة خير لمن اتقى
“Katakankah (Muhammad), bahwa kesenangan dunia itu hanya sementara dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa”.
Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Hasyr ayat 9 :
ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة
“Dan mereka itu lebih mengutamakan (orang-orang muhajirin) daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan”.
Demikian juga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Baihaqi dari sahabat Sahal ibn Sa’ad :
إزهد في الدنيا يحبك الله وازهد فيما عند الناس يحبك الناس
“Bersikap zuhud lah terhadap dunia niscaya Allah akan mencintaimu. Dan bersikap zuhud lah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka akan mencintaimu”.
Dalam perkembangannya, pada abad ketiga dan keempat Hijriyah gejala kehidupan asketis di atas berkembang menjadi ilmu tentang moral (tasawuf) secara definitif. Para tokoh sufi pada periode ini mulai memperbincangkan pengetahuan intuitif berikut hal-hal yang menyangkut sarana dan metodenya. Oleh karena itu, mulai periode ini tasawuf mempunyai batasan-batasan terminologis yang khas.
Sejalan dengan berkembangnya tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, maka pada abad kelima dan keenam Hijriyah muncul aliran-aliran dalam tasawuf sebagai berikut :
- Tasawuf Akhlaki, yang juga disebut tasawuf sunni, aliran transendentalisme, atau mysticism of personality. Yaitu suatu aliran yang masih (tetap) mempertahankan sendi-sendi dasar ajaran tauhid yang membedakan adanya dua pola wujud, yakni wajib al-wujud (Tuhan) dan mumkin al-wujud (makhluk). Dua wujud yang secara fundamental berbeda. Aliran ini mempertahankan prinsip ketidakserupaan hamba dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dan Tuhan difahami sebagai hubungan antara makhluk dengan Khalik (pencipta), antara budak di hadapan Tuannya, atau antara si mabuk cinta yang mendambakan kekasihnya. [13]
Bagi aliran ini, tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh hamba adalah ma’rifat pada Allah, penghayatan terhadap alam gaib (kasyaf) dan mendapat ilmu laduni (langsung dari sisi Allah tanpa belajar, tetapi dengan kasyaf). Tokoh aliran ini adalah al-Sarraj, al-Qusyairi, al-Kalabadzi, al-Qusyairi, al-Ghazali dll. Berhubung aliran ini didasari faham teologi al-Asy’ari yang sesuai dengan semangat al-Qur’an dan al-Sunnah, maka aliran ini disebut tasawuf sunni. - Tasawuf Falsafi, yang juga dikenal aliran teosofi, tasawuf non sunni, aliran union mystical, atau mysticism of infinity (mistik ketakterhinggaan). Aliran ini menganut faham, bahwa manusia adalah pancaran dari Tuhan dan memiliki sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai para sufi dalam pendekatannya kepada Allah SWT melalui ajaran tasawuf adalah mencapai penyatuan dengan Allah baik dalam bentuk ittihad, hulul, maupun wahdatu al-wujud. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat dan Misticisme dalam Islam” :
“Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan misticisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari misticisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (bersatu dengan Tuhan)”.[14]
Munculnya aliran tasawuf falsafi, dimulai dengan berkembangnya faham Pantheisme dan Kesatuan Wujud (Wahdatu al-Wujud) secara mutlak. Syuhrawardi al-Maqtul (lahir 505 H) karena sangat faham tentang filsafat Platonisme, Neo Platonisme dan Hikmah Persi cenderung untuk memadukan tasawuf dengan berbagai faham filsafat yang ia kuasai. Dari sinilah kemudian berkembang tasawuf yang filosofis sebagai hasil perpaduan antara asketisisme Islam dengan filsafat.
Syuhrawardi cenderung untuk mengembangkan tasawuf falsafi, karena ia telah mengenal dan dipengaruhi faham fana’[15], ittihad[16] dan hulul[17] yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, di samping mengambil teori emanasi dalam mengembangkan fahamnya tentang wujud Tuhan.
Perkembangan aliran tasawuf falsafi semakin pesat dengan munculnya Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dari Andalusia (wafat 628). Tokoh yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Arabi ini mengembangkan faham Pantheisme dan Kesatuan Wujud (Wahdatu al-wujud), yang pada intinya mencerminkan pengingkaran terhadap keyakinan tentang penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) yang banyak dipercayai para mutakallimin pada waktu itu.
Menurut faham ini, hakekat manusia adalah berasal dari limpahan cahaya Tuhan (emanasi) dan sehakekat dengan Dzat Tuhan. Dengan demikian faham ini menolak kepribadian manusia dan menghasilkan pantheisme atau monisme. Tokoh aliran ini adalah al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, Muhyiddin ibnu ‘Arabi, Abdul Karim al-Jili, al-Burhanpuri, Ranggawarsito dan lain-lain. Berhubung aliran ini banyak mentransfer ajaran filsafat Gnonisme, Platonisme dan bahkan dari ajaran Masehi, maka disebut aliran filosofis. Di samping itu, meskipun faham ini didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi karena menggunakan takwil yang sangat jauh dan tidak berlandaskan teologi al-Asy’ari, maka aliran ini disebut tasawuf non sunni.
H. Aliran Tasawuf Yang Sesuai dengan Kebutuhan Masyarakat Modern
Di antara kedua aliran tasawuf di atas, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern adalah aliran yang pertama, yakni tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni, karena aliran ini mempunyai spesifikasi sebagai berikut :
- Didasarkan pada nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW serta para sahabatnya, tanpa menggunakan ta’wil yang rumit seperti yang ada pada aliran non sunni.
- Lebih menekankan pada pembinaan akhlak, mudah difahami dan diamalkan karena tidak terlalu filosofis yang sulit difahami oleh orang awam.
- Lebih menekankan pada prilaku zuhud sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW serta menghindari sistem kependetaan yang memutuskan hubungan dengan hal-hal yang bersifat duniawi.
- Tidak mensyaratkan kemelaratan atau kemiskinan materi. Sebagai contoh, sahabat Utsman ibn Affan dan Abdurrahman ibn Auf dikenal sebagai sahabat yang sangat kaya. Sungguh pun demikian, kekayaan tidak menghalangi mereka untuk bersikap zuhud. Sebaliknya kehidupan asketisnya juga sama sekali tidak menghalangi mereka untuk melakukan kegiatan duniawi. Dengan kehidupan asketis yang mereka tempuh, mereka sangat menyadari akan fungsi sosial kemasyarakatannya sebagai orang yang kaya sehingga mereka rela mengorbankan sebagian besar hartanya untuk kepentingan dakwah Islamiyah.
- Tetap berpegang teguh pada syari’at dengan melaksanakan berbagai macam ritual atau upacara-upacara keagamaan yang diwajibkan dengan penuh keyakinan yang disertai dengan pemahaman dan penghayatan terhadap makna dan rahasia-rahasia setiap ibadah (asrar al-ibadah). Dengan demikian, tasawuf sunni berusaha menggabungkan antara tasawuf dengan fiqh (hakikat dengan syari’at) karena agama memerlukan keduanya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik :
من تفقه ولم يتصوف تفسق ومن تصوف ولم يتفقه تزندق ومن جمع بينهما فقد تحققق
“Barsangsiapa mengamalkan fiqh dengan mengabaikan tasawuf, maka akan menjadi fasiq. Sebaliknya barangsiapa mengamalkan tasawuf dengan mengabaikan fiqh, maka akan menjadi zindiq. Dan barangsiapa yang memadukan keduanya, maka akan mencapai hakekat”.[18]
I. Tasawuf dan Tarekat
Untuk mencapai tujuan tasawuf di atas, yakni ma’rifatullah seseorang harus membersihkan qalbu-nya. Karena menurut al-Ghazali, qalbu merupakan unsur rohani manusia yang dapat mengenal Allah (ma’rifatullah). Sebagaimana beliau katakan dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din :
وهو الذي إذا عرفه الإنسان فقد عرف نفسه وإذا عرف نفسه فقد عرف ربه
“Dia itulah qalbu, yang apabila manusia mengenalnya pasti akan mengenal dirinya. Dan jika ia mampu mengenal dirinya, pasti ia akan mengenal Tuhan-nya”. [19]
Agar manusia dapat membersihkan qalbu-nya sebagai syarat mutlak untuk mencapai ma’rifatullah, maka para ulama sufi telah berusaha merumuskan cara-cara tertentu yang dikenal dengan istilah tarekat (thariqah). Secara etimologis, tarekat berarti jalan. Sedangkan secara terminologis, tarekat berarti jalan untuk mengenal atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Maksudnya, jalan menuju kepada Allah SWT untuk mendapatkan ridla-Nya dengan menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Secara lebih khusus, tarekat merupakan metode psikologis-moral untuk membimbing seseorang mengerti dan mengenal Allah SWT. (ma’rifatullah). Melalui metode itu, seseorang yang menempuh berbagai tingkatan psikologis dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi, sehingga mencapai realitas tertinggi (ultimate reality).
Sementara itu Syeh Najmuddin al-Kubra dalam kitabnya Jami’ al-Aulia menjelaskan, bahwa tarekat adalah cara pelaksanaan dari suatu aturan syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sedangkan keadaan yang dihasilkan seseorang yang bertarekat dinamakan hakekat.[20]
Dengan demikian, dalam pengertiannya yang paling luas sebenarnya setiap orang yang mengerjakan ibadah tertentu dan dengan cara tertentu ia telah terlibat dalam aktivitas tarekat. Akan tetapi, dalam terminologi tasawuf, tarekat mempunyai pengertian tertentu, yaitu “suatu sistem untuk melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan Nabi dan dikerjakan para sahabat dan tabi’in secara turun temurun dan sambung menyambung hingga pada guru-guru mursyid. Guru-guru tersebut baru dapat membimbing murid-muridnya setelah memperoleh ijazah dari gurunya sesuai dengan silsilah”.[21]
Sebenarnya, gejala lahirnya tarekat-tarekat sudah ada sejak abad III H. Akan tetapi secara resmi dan representatif sebagai aliran tarekat –misalnya adanya sistem syeh atau guru, adanya ketentuan untuk mematuhi tata tertib yang telah ditetapkan dan sebagainya– baru terlibat pada abad VI dan VII H.
Di antara tokoh sufi yang namanya termasyhur dan dinisbatkan menjadi nama aliran tarekat adalah; Syeh Abdul Qadir al-Jailani dengan tarekat Qadiriyah, Syeh Syadzili dengan tarekat Syadziliyah, Syeh Sanusi dengan tarekat Sanusiyah dan lain-lain. Pada masa kini, jumlah tarekat yang dianggap mu’tabarah mencapai 41 aliran. Di Indonesia, beberapa aliran tarekat begitu populer dan telah mentradisi di kalangan masyarakat. Di antaranya adalah tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah dan Syadziliyah.[22]
[1] Dr. Nurcolish Madjid, Op.Cit. h. 127.
[2] John Naisbitt dan Praticia Aburdene, “Megatrends 2000, Ten New Directions For the 1990’s”, Avon Books, New York, 1991, h. 295.
[3] Ibid.
[4] al-Kalabadzi, “al-Ta’arruf li Madzhab ahl al-Tashawwuf”, al-Maktabah al-kulliyat al-Azhariyyah, Kairo, 1969, h. 28; H.A.R. Gibb & Kreamer, “Shorter Encyclopedia of Islam”, Kuzac & Co. London, 1961, h. 579.
[5] Ali Sami’ al-Nasyr, “Nasy’at al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam”, Daar al-Ma’arif, Mesir, 1979, h. 37.
[6] Ibid.
[7] Mir Valiuddin, “The Qur’anic Sufism:, Matilal Banarsidass, Delhi, 1981, h. 1-2.
[8] H.A.R. Gibb, “Mohammedanism”, Oxford, 1911, h. 89.
[9] Abul wafa al-Ghanimi al-Taftazani, “Sufi Dari Zaman Ke Zaman” (terjemahan A. Rafi’ Utsman), Pustaka, Bandung, tt. h. 53.
[10] Hamka, “Tasawuf Modern”, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1970, h. 18.
[11] Drs. Sahilun A. Nasir, “Prinsip-Prinsip Tasawuf Islam”, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1980, h. 38.
[12] Abu Qasim Abdul karim al-Qusyairi, “al-Risalah al-Qusayairiyah”, h. 46
[13] Annemarie Schimmel, “Dimensi Mistik dalam Islam”, (terjemahan Sapardi Djoko Darmono dkk), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, h. 3.
[14]Prof. Dr. Harun Nasution, “Filsafat dan Misticisme dalam Islam”, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 56
[15] Fana’ sebagaimana dikatakan oleh para sufi, mempunyai banyak pengertian. Menurut sebagian ulama sufi, fana’ adalah keadaan moral yang luhur yang dicapai berkat terbebasnya jiwa dari hal-hal yang bersifat duniawi atau sesuatu yang tercela. Dengan demikian, fana’ berarti kosongnya jiwa seseorang kecuali dari pancaran nur (cahaya) Ilahi. (al-Kalabadzi, Op.Cit. h. 60).
[16]Ittihad adalah suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “Hai aku”. (Prof. Dr. Harusn Nasution Ibid. h. 82)
[17] Hulul adalah faham tasawuf yang dikembangkan oleh al-Hallaj, bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. (Op.Cit. h. 88)
[18] Syeh ‘Ujaibah, Iqadlu al-Himam ‘ala Syarh al-Hikam, Daar al-Fikr, Beirut.
[19] Imam al-Ghazali, “Ihya’ Ulum al-Din”, Daar al-Fikr, Beirut, 1980, Juz III, h. 2.
[20] Prof. Dr. H. Aboe Bakar Atjeh, “Pengantar Ilmu Tarekat”, Ramadlani, Solo, 1985, h. 46
[21] Ibid. h. 67
[22] Ibib. H. 303.
You may like
-
Hirarki Kemursyidan dalam Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah
-
Hadiri Ngaji Bulanan Pesma Daarusshohabah, Kiai Nafi Jelaskan Pentingnya Tasawuf
-
Mengenal Rasulullah Lebih Dekat, Zawiyah Arraudhah Gelar Daurah Bersama Syekh Yusri Rusydi
-
Kebahagiaan Manusia, Kiai Zakky: Akhirat dan Duniawi Harus Seimbang
-
Kontribusi Tasawuf Syekh Amir Abdul Qadir al-Jaza’iri Terhadap Intelektual dan Spiritual Islam
-
Sufisme sebagai Jangkar Perdamaian Internasional
Artikel
Konsep pemahaman Isyraqiyah Tasawuf Irfani Syekh Syuhrawardi al-Maqtul
Published
3 months agoon
12/09/2023By
Budi Handoyo
Suhrawardi Al-Maqtul lahir pada tahun 548 H/1153 M di Suhraward (Iran Barat Laut). Suhrawardi dikenal dengan Syekh al-Isyraq atau Master of Illuminasionist (Bapak Pencerahan), Al-Hakim (Sang Bijak) dan Al-Maqtul (Yang Terbunuh).
Suhrawardi mendapat pendidikan awal dari Majd al-Din al-Jilli di Maraghah, di sini ia mempelajari ilmu kalam dan filsafat. Setelah itu, ia memperdalam kajian filsafat kepada Fakhruddin al-Mardini di Isfahan di mana Suhrawardi menjadi teman sekelas Fakhriddun al-Razi.
Selanjutnya Suhrawardi belajar pada Zhahir al-Din al-Qari al-Farsi, seorang ahli logika yang meperkenalkan kepadanya kitab al-Bashair al- Nashiriyah karangan umar Ibn Sahlan al-Sawi, yang juga dikenal sebagai komentator Risalah al-Thair karangan Ibn Sina.
Dalam diri Suhrawardi terhimpun dua keahlian yaitu dalam bidang filsafat dan tasawuf. Oleh karena itu, kecerdasan dan ketinggian pengetahuan Suhrawardi mampu menarik perhatian banyak orang. Sehingga sanggup mengalahkan pakar dan ulama pada masa itu, di lain pihak terdapatnya kecemburuan dan merasa terancamnnya para ulama dan fuqaha dengan kehadiran Suhrawardi.
Suhrawardi pernah diundang oleh Malik Az-Zahir seorang penguasa Ayyubid (Aleppo), penguasa tersebut sangat suka kepada para sufi dan cendekiawan. Tetapi hakim-hakim agama yang takut kepada filsuf-mistik yang muda dan pandai itu akhirnya membujuk raja, dengan bantuan ayahnya Saladin-pahlawan perang salib untuk memenjarakan Suhrawardi.
Seorang hakim terkenal bernama Qadhi Al-Fadhil mengirimkan surat kepada Saladin dan menuntut agar Suhrawardi dieksekusi dan dijebloskan ke dalam penjara. Suhrawardi meninggal dalam penjara berusia 38 tahun.
Adapun penyebab langsung kematiannya di penjara masih merupakan misteri yang belum terjawab hingga kini.Suhrawardi adalah seorang pemikir yang produktif. Dalam kehidupannya yang terbilang cukup singkat, Suhrawardi menulis hampir 50 karya baik dalam bahasa Arab mau pun Persia. Karya-karyanya ditulis dalam gaya yang indah dan bernilai sastra tinggi. Karya-karya Suhrawardi yang membentuk filsafat isyraqi terutama tersusun dalam Hikmah al-Isyraq.
Filsafat Isyraqi
Pemikiran filsafat Suhrawardi yang paling terkenal adalah Hikmatul Isyraq atau filsafat iluminasi. Syekh Prof. Muhammad Rajab Ali Al-Hasani dalam Muqaddimah kitab Syawakil Hurr fi Syarh Haykal Nur menjelaskan,
والإشراق في اللغة: الإضاءة والإنارة، يقال: “أشرقت الشمس” طلعت واضاءت، و”اشرق وجهه” : أي أضاء
“Isyraq secara bahasa berarti penerangan dan pencahayaan. Dikatakan, ‘Matahari bersinar,’ terbit dan bersinar, dan ‘wajahnya bersinar’ artinya bersinar.
وفي اصطلاح الحكماء هو ظهور الأنوار العقلية ولمعانها وفيضانها على الانفس الكاملة عند التجرد عن المواد الجسمنة
“Secara istilah, hikmah adalah penampakan cahaya akal, kecemerlangannya dan luapannya ke dalam jiwa yang sempurna ketika substansi jasmani dilucuti.”
Istilah Isyraq yang berarti penyinaran di sini berhubungan dengan simbol dari matahari yang selalu terbit di timur dan memberikan sinarnya berwujud cahaya ke seluruh alam. Cahaya merupakan simbol pengetahuan atau simbul spiritual dan simbol sesuatu yang immateri.
Filsafat Suhrawardi berbeda dari filsafat yang telah ada sebelumnya. Filsafat sebelumnya lebih banyak bertumpu pada peran rasio. Sedangkan filsafat Suhrawardi menggabungkan antara peran rasio dengan intuisi (Dzauqi). Dengan kata lain, filsafatnya Suhrawardi adalah filsafat yang dipadukan dengan tasawuf. Hal ini tidak mengherankan, karena Suhrawardi adalah seorang filsuf dan sekaligus seorang sufi. Dalam mazhab Isyraqi Suhrawardi mencoba menggabungkan cara nalar dan cara intuisi, menganggap keduanya saling melengkapi.
Menurut Suhrawardi seseorang yang telah menggabungkan daya intelektual (rasional) dan daya intuisi, sehingga orang tersebut memperoleh pengetahuan maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai insan kamil, dan memiliki kedudukan sebagai khalifah Allah Swt.
Suhrawardi mulai memaparkan konsepsinya tentang keesaan Tuhan. Dia menjelaskan bahwa tuhan adalah cahaya atas cahaya, kemudian dari itu terjadilah penyinaran yang mengakibatkan sumber-sumber cahaya yang lain. Adanya penyinaran itu selanjutnya mewujudkan sendi-sendi alam materi dan ruhani. Alam secara keseluruhan muncul karena sinar Allah dan limpah-Nya.
Proses Isyraqi menurut Suhrawardi dimulai dari Nur al-Anwar, (cahaya segala cahaya). Nur al-Anwar menurutnya merupakan sumber bagi segala cahaya yang ada. Ia Maha Sempurna, Mandiri, Esa dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya.
Nur al-Anwar ini hanya memancarkan sebuah cahaya yang disebut dengan Nur al-Aqrab (cahaya terdekat) dan ia merupakan cahaya pertama. Nur al-Aqrab sebagai cahaya pertama memancarkan cahaya kedua, cahaya kedua memancarkan cahaya ketiga, cahaya ketiga memancarkan cahaya keempat, begitu seterusnya hingga mencapai cahaya yang jumlahnya sangat banyak.
Pada setiap tingkatan penyinaran setiap cahaya menerima pancaran langsung dari Nur al-Anwar dan tiap-tiap cahaya meneruskan cahayanya ke masing- masing cahaya. Yang berada di bawah selalu menerima pancaran dari Nur al-Anwar secara langsung dan pancaran dari semua cahaya yang berada di atasnya.
Dengan demikian, semakin ke bawah tingkat suatu cahaya semakin banyak pula ia menerima cahaya. Demikian secara ringkasnya proses Iluminasi dalam filsafat Suhrawardi.
Kesimpulan dari proses filsafat Isyraq Suhrawardi adalah setiap Nur (cahaya) yang berada di bawah merupakan penerima pancaran Nur sebanya dua kali dari jumlah pancaran yang diberikan oleh cahaya yang berada setingkat di atasnya.
Kesimpulan tersebut berdasarkan argumentasi berikut yaitu cahaya kesatu (Nur al- Aqrab) memperoleh satu kali pancaran, cahaya kedua memperoleh dua kali pancaran, cahaya ketiga memperoleh empat kali pancaran, cahaya keempat memperoleh delapan kali pancaran, cahaya kelima memperoleh cahaya enam belas kali pancaran, dan seterusnya.
Filsafat Isyraqi Suhrawardi juga menggunakan susunan alam (kosmos) pada tiap tingkatan cahaya yang terpancar dari Nur al-Anwar, seperti yang digunakan dalam filsafat Al-Arabi dan Ibnu Sina pada teori emanasi.
Suhrawardi menyebut manusia sebagai alam kecil yang terdiri dari ruh dan jasad, sehingga ruh termasuk dalam kategori alam cahaya dan jasad termasuk dalam kategori alam kegelapan.
Agar manusia selalu berada di dalam cahaya dan dapat memantulkan cahaya tersebut ke seluruh penjuru alam, manusia harus menguasai kehidupan ruhaninya sehingga jasmani tunduk dengan kata lain kehidupan cahaya harus selalu menguasai dan mengalahkan kegelapan.
Artikel
Syekh Jahid Sidek: Kaidah Kesufian dalam Menanamkan Kedamaian Hidup (3)
Published
3 months agoon
12/09/2023
Terbentuk Hati yang Mutmainnah.
Allah berfirman dalam Surat Ar-Ra’d ayat 27-28,
قُلۡ إِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِيٓ إِلَيۡهِ مَنۡ أَنَابَ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
“Katakanlah (Muhammad), sesugguhnya Allah akan menyesatkan siapa yang dikehendaki dan memberi petunjuk kepada orang yang kembali (taubat zahir batin) kepada-Nya. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka tenang sebab zikir kepada Allah. Ingatlah, (hanya) dengan mengingat Allah hati menjadi tenang”.
Dari ayat di atas terdapat empat syarat untuk mendapat hidayat yang khusus, yaitu sentiasa bertaubat dari semua dosa hingga taubatnya meningkat ke tingkat inabah, kuatkan iman, beramal salih dan terus berzikrullah. Dengan kaidah ini, hati akan mutmainnah.
Akhirnya Sampai Kepada Allah
Bila hati sudah mencapai tingkat mutmainnah, maka Allah akan karuniakan hidayah yang khusus seperti yang Allah sebutkan dalam Surat Al-Fajr ayat 27-30,
يَٰٓأَيَّتُهَا ٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ
ٱرۡجِعِيٓ إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةٗ مَّرۡضِيَّةٗ
فَٱدۡخُلِي فِي عِبَٰدِي
وَٱدۡخُلِي جَنَّتِي
“Wahai hati yang tenang (mutmainnah), kembalilah kamu kepada Tuhanmu dalam keadaan ridla dan diridlai. Masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kamu ke dalam surge-Ku”.
Allah akan memberikan karunia pada hati yang mutmainnah berupa,
Pertama, hati, ruh atau nafs mereka akan diberikan karurnia berupa mengenal Allah sebagaimana sebelum ia masuk ke jasad, di mana ketika itu ruh manusia telah bermusyahadah kepada Allah, seperti yang disebutkan dalam Surat Al-A’raf ayat 172,
أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ
“Tidakkah Aku ini Tuhan kamu? Mereka (ruh-ruh manusia) menjawab, ‘benar, kami bersaksi’.”
Dengan itu, apabila hati telah benar-benar mutmainnah, maka Allah akan singkap berbagai hijab, sehingga hati manusia dapat musyahadah terhadap wujud Allah. Inilah antara hakikat dan makrifah Allah yang Allah sampaikan secara ladduni atau secara mukasyafah.
Kedua, Allah karuniakan kepada orang tersebut maqam ridla dan diridlai Allah.
Ketiga, orang tersebut akan menjadi hamba Allah yang sesungguhnya. Ini berarti orang tersebut telah menjadi seorang muhsin, ulul-albab yang apabila beramal dapat berbuat dengan sebaik-baiknya, seperti yang Allah sebut dalam Surat Az-Zumar ayat 17-18,
وَالَّذِيۡنَ اجۡتَنَـبُـوا الطَّاغُوۡتَ اَنۡ يَّعۡبُدُوۡهَا وَاَنَابُوۡۤا اِلَى اللّٰهِ لَهُمُ الۡبُشۡرٰى ۚ فَبَشِّرۡ عِبَادِ ۙ
ٱلَّذِينَ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقَوۡلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحۡسَنَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَىٰهُمُ ٱللَّهُۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Dan orang-orang yang menjauhi Tagut (yaitu) tidak menyembahnya1 dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku. (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.1 Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat.”
Keempat, mereka akan mendapat nikmat terbaik di dunia, yaitu hati atau ruh mereka dapat bermusyahadah kepada Allah. Menurut sebagian ahli sufi, yang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, “Masuklah ke surga-Ku”, itu ialah jannatul `ajilah atau surga di dunia, berupa kebahagiaan yang didapatkan ketika hati berada dalam keadaan musyahadah. Adapun surga yang kedua ialah aajilah, yaitu surga yang akan datang di akhirat berupa melihat Zat Allah Swt.
Salik sampai kepada Allah
Sampai kepada Allah adalah berhasil mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Yaitu ketika Allah limpahkan makrifah ke dalam hati hamba-Nya yang dikasihi. Makrifah merupakan tingkatan tertinggi yang di bawahnya adalah kepahaman (al-Fahm) dan pengetahuan (al-‘Ilm).
Al-Ilm berada di posisi paling bawah. Orang yang berilmu disebut sebagai alim. Sedankan Al-Fahm kedudukannya lebih tinggi dari ilmu. Orang yang memiliki kepahaman disebut al-fahim. Setiap orang yang fahim dia alim. Sebaliknya tidak semua orang yang alim, dia fahim.
Kedudukan tertinggi ialah makrifah. Orang yang dikaruniai Allah makrifah disebut ‘arif, atau lebih lengkap ‘arifbillah.
Ilmu dan faham termasuk dalam perkara yang diusahakan oleh hamba. Sebab itu ilmu dan kepahaman disebut sebagai ilmu kasbi jamaknya al-ulum al-kasbiyyah. Sebaliknya makrifah adalah perkara wahbi. Oleh sebab itu makrifah masuk dalam al-ulum al-wahbiyyah ataukadang disebut al-ulum al-mukasyafah atau al-ulum al-zawqiyyah.
Dengan makrifah seorang mukmin meningkat ke tingkat ihsan dan menjadi seorang muhsin.
Sabda Rasulullah saw.
الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
“Ihsan ialah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya sesungguhnya Allah melihatmu.”
Menurut pandangan Syekh Ibnu Rajab Al-Hambali (w.795H) dalam kitabnya Jami’ al-Ulum wal Hikam, bahwa ketika seseorang mukmin sampai ke tingkat ihsan tersebut, Allah akan limpahkan ke dalam ruang hatinya makrifah. Selanjutnya beliau menegaskan tingkatan ihsan berdasarkan kepada hadis tersebut yang terbagi menjadi dua tahap.
Tahap pertama ialah ketika seseorang berada dalam keadaan أن تعبد الله كأنك تراه, Allah limpahkan dalam ruang hatinya makrifah. Bagaimanapun, disebabkan karena orang tersebut berada dalam keadaan fana’fillah maka sifat kehambaannya tidak sempurna. Sehingga orang itu disebut sebagai al‘Arif an-Naqis.
Sedangkan apabila orang tersebut sampai ke tahap ke dua فإن لم تكن تراه فإنه يراك , maka Allah telah mengeluarkannya dari fana’ kepada baqa’billah. Sehingga, sifat kehambaan orang tersebut menjadi sempurna. Oleh sebab itu menurut Syekh Ibnu Rajab al-Hambali, orang itu disebut sebagai al-‘Arif al-Kamil.
Iman salik sampai ke tingkat hakikat
Orang mukmin yang telah diberikan oleh Allah makrifah sampai ke tingkat ihsan sebagaimana yang telah diterangkan di atas, merupakan golongan mukmin yang disebut oleh Allah dalam Surat Al-Anfal ayat 2-4,
اِنَّمَا الۡمُؤۡمِنُوۡنَ الَّذِيۡنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتۡ قُلُوۡبُهُمۡ وَاِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ اٰيٰتُهٗ زَادَتۡهُمۡ اِيۡمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُوۡنَ
الَّذِيۡنَ يُقِيۡمُوۡنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقۡنٰهُمۡ يُنۡفِقُوۡنَؕ
اُولٰۤٮِٕكَ هُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ حَقًّا لَهُمۡ دَرَجٰتٌ عِنۡدَ رَبِّهِمۡ وَمَغۡفِرَةٌ وَّرِزۡقٌ كَرِيۡمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
Makrifah Meningkatkan Iman ke Tingkat Yakin
Ketika Nabi Ibrahim dianugerahi Makrifah oleh Allah, kedudukan imannya meningkat pada yakin. Kemudian berubah kembali dari mukmin menjadi muqin, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Anam ayat 75,
وَكَذَٰلِكَ نُرِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ مَلَكُوتَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلِيَكُونَ مِنَ ٱلۡمُوقِنِينَ
“Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin.”
Dengan makrifah seorang mukmin akan mencapai sifat siddiq, yaitu benar keimanannya terhadap Allah. Dan dengan sifat siddiq, tercapailah hakikat tauhid yaitu mengesakan Allah dari segi Uluhiyyah dan Rububiyyah-Nya. Dengan tercapainya hakikat tauhid tersebut, maka tercapailah sifat hati yang ikhlas. Dengan hati yang ikhlas, maka sempurnalah sifat kehambaannya terhadap Allah yang mendorong untuk sentiasa bertaqwa dan bertawakal kepada Allah, seperti yang Allah sebut dalam Surat At-Talaq 2-3,
وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُ ۥ مَخۡرَجً۬ا
وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ ۥۤۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَـٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدۡرً۬ا
“Dan siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah jadikan untuknya jalan keluar. Dan Allah senantiasa memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan siapa yang bertawakal kepada Allah maka cukuplah Allah menjadi jaminannya. Sesungguhnya Allah sangat tegas dalam perintah-Nya dan Dialah yang mentakdirkan segala sesuatu.”
Allah berfirman dalam Surat Al-A’raf ayat 56,
إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada golongan muhsinin”.
Dengan ini maka terbentuklah seorang manusia yang sempurna sifat kehambaannya, ilmunya, amalannya dan berhasil membina hidup yang damai harmoni dan jauh dari berbagai sifat buruk zahir dan batin.
Penulis: Syekh Dr. H. Jahid Bin H. Sidek (Mantan Professor Madya University of Malaya dan Mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah)
Editor: Khoirum Millatin
Artikel
Syekh Jahid Sidek: Kaidah Kesufian dalam Menanamkan Kedamaian Hidup (2)
Published
3 months agoon
09/09/2023
Menyadarkan Akal dan Menghidupkan Hati
Setiap manusia dibekali akal dan hati. Akal fungsinya menerima kebenaran yang rasional atau yang munasabah (sesuai dengan akal). Karena biasanya, ada kebenaran agama yang akan sulit diterima oleh akal. Sedangkan hati fungsinya lebih besar dan canggih. Hati bisa menerima banyak perkara yang akal tidak mampu menerimanya. Sesuai dengan kedua posisinya masing-masing, maka Allah menyediakan dua ilmu, pertama ilmu yang sesuai pada akal dan yang kedua ilmu yang sesuai pada hati.
Rasulullah s.a.w bersabda:
العلم علمان علم ثابت في القلب فذاك علم نافع وعلم في السان فذاك حجة الله على عباده
“Ilmu itu (ilmu Islam) ada dua; Pertama ilmu yang tetap dalam hati, itulah ilmu nafi’. Sedangkan ilmu lainnya ada pada lisan (pada akal). Ilmu inilah yang digunakan oleh Allah di akhirat nanti untuk menentukan nasib hambanya (jika baik dimasukkan ke dalam surga, jika buruk dimasukkan ke dalam neraka).”
Akal dan hati jika telah dikuasai oleh nafsu dan syaitan, tidak dapat berfungsi, sehingga mereka digambarkan oleh Allah sebagai orang yang buta, tuli dan bisu. Lebih jauh lagi keadaan mereka sudah menjadi lebih buruk daripada binatang ternak. Tegasnya, akal mereka lalai dan hati mereka telah mati. Kedua-duanya perlu disadarkan dan dihidupkan.
Akal yang lalai perlu disadarkan dengan memberikan pelajaran dan pendidikan ilmu, serta memberikan pemahaman yang sesuai dengan tahap pemikiran. Bukan hanya ilmu agama, tapi ilmu apapun yang dapat mengisi ruang akal mereka dan menyadarkan mereka.
Adapun hati yang mati, keras, berpenyakit, buta dan lain sebagainya, menurut pandangan ulama tasawuf hendaklah dibersihkan dan dihidupkan kembali. Dalam konteks ini, seseorang membutuhkan mentor yang mempunyai sifat-sifat taqwa dan tawakal yang sempurna. Agar berhasil mempercepatkan kesadaran akal dan hidupnya hati. Pada posisi ini, mentor akan berusaha bersungguh-sungguh membantu mantee untuk menghidupkan hati. Sedangkan keberhasilan dari usaha tersebut, dikembalikan kepada Allah Swt.
Allah berfirman dalam Surat Al-Anam ayat 122,
أَوَ مَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٖ مِّنۡهَاۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.”
Walaupun Allah yang menghidupkan hati, namun ikhtiar yang tepat dan sesuai juga harus dilakukan. Antara usaha yang perlu kita lakukan dalam strategi menghidupkan hati ialah penekanan amalan zikir dan tafakkur yang bersungguh-sungguh. Menurut Ibnu Athaillah, apabila seseorang terus berzikir dan bertafakkur, maka keadaan hatinya akan diubah oleh Allah, dari ghaflah (lalai) kepada yaqazah (sadar), dan akan naik ke derajat hudlur, di mana hati telah tenggelam dalam mengingat Allah. Dan Akhirnya, hati hanya fokus pada Allah saja. Inilah makna hati menjadi hidup dan bercahaya seperti yang disebut dalam Surat Al-Anam ayat 122 di atas.
Empat Tahap Zikrullah
Zikrullah dan tafakkur yang konsisten akan mengubah keadaan hati orang yang berzikir dari satu tahap ke satu tahap yang lebih baik. Menurut Ibnu Athaillah, zikrullah ada empat tahap yang dijelaskan dalam Kitab Hikam,
تترك الذكر لعدم حضورك مع الله فيه لان غفلتك مع غير ذكره أشد عليك من غفلتك في ذكره فعسى أن يرفعك من ذكر مع غفلة إلى ذكر مع يقظة ومن ذكر مع يقظة إلى ذكر مع حضور ومن ذكر حضور إلى ذكر مع الغيبة عما سوى المذكور
“Janganlah kamu tinggalkan zikir disebabkan kamu tidak dapat benar-benar ingat Allah dalam zikir tersebut. Karena kelalaianmu ketika tidak berzikir itu lebih buruk daripada lalaimu ketika berzikir. Mudah-mudahan Allah meningkatkan zikirmu dari zikir ghaflah kepada zikir yaqazah, dari zikir yaqazah kepada zikir khudur, dari zikir khudur kepada zikir ghaibah.” (Ahmad bin Muhammad Ibn ‘Ajibah, Iqaz al-Himam, (Beirut, Dar al-Fikr: t.t) Jld. I, H. 79)
Zikrullah dan tafakkur yang terus-menerus, merupakan perbuatan yang dilakukan oleh golongan orang-orang yang ulil-albab,
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (Yaitu) rang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka’.” (QS. Ali Imran: 190-191).

Dalam hikmah di atas, Ibnu Athaillah mengkategorikan zikrullah kepada empat tahap, yaitu zikir ghaflah, zikir yaqazah, zikir khudur dan zikir ghaibah. Tingkatan tersebut dapat dipahami melalui skema berikut,
Realita yang berlaku dalam setiap tahap zikir tersebut secara umum dipimpin oleh seorang syekh atau mursyid yang dikaruniakan oleh Allah untuk membantu menghidupkan hati murid yang berzikir sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam Surat Al-Anam ayat 122 di atas.
Ibnu Athaillah juga telah membongkarkan rahasia yang terkandung pada setiap tahap zikrullah tersebut. Antara lain beliau menegaskan bahwa Allah akan melimpahkan nur yang berbeda dalam setiap tahapnya,
1. Warid al-Intibah/Nur al-Intibah (وارد الانتباه \ نور الانتباه)
اورد عليك الوارد لتكون به عليه واردا
“Allah limpahkan ke dalam hatimu ‘Nur Intibah’, supaya dengan nur tersebut hatimu sentiasa menerima limpahan nur-Nya”.
2. Warid al-Iqbal/Nur al-Iqbal (وارد الاقبال \ نور الاقبال)
اورد عليك الوارد ليتسلمك من يد الأغيار ويحررك من رق الأثار
“Allah limpahkan ke dalam hatimu ‘Nur Iqbal’, supaya dengan nur tersebut dapat menyelamatkan hatimu dari pengaruh makhluk dan memerdekakan hatimu dari diperhamba oleh makhluk”.
3. Warid al-Wishal/Nur al-Wishal (وارد الوصال \ نور الوصال)
اورد عليك الوارد ليخرجك من سجن وجودك الي فضاء شهودك
“Allah limpahkan ke dalam hatimu ‘Nur al-Wishal’, supaya dengan nur tersebut dapat mengeluarkan hatimu dari penjara wujud dirimu sendiri menuju tersingkapnya syuhudmu terhadap rahasia-rahasia Allah”.
Warid (وارد) sendiri bermakna Nur Hidayah (cahaya hidayah) yang Allah sampaikan ke dalam hati hamba-Nya yang dikasihi (نور يقذف الله فى قلب من احبه من عباده).
Apabila seseorang dapat karunia berupa Warid al-Intibah, maka keluarlah hatinya dari berbagai kegelapan lalai (ghaflah) menuju cahaya sadar (yaqazah). Ketika terlimpah nur al-intibah inilah awal mula terjadinya Jadzab.
Ketika ruhani seseorang benar-benar telah sadar dan merasakan adanya hubungan yang erat antara dirinya dan Allah disebabkan mata hatinya dapat mengetahui rahasia-rahasia Allah di alam malakut, ia akan menjauhkan dirinya dari segala maksiat. Inilah permulaan jalan ruhani seseorang dari aspek batinnya yang dikenal sebagai salik (سالك).
Apabila seseorang mendapat karunia Warid al-Iqbal, hatinya akan sentiasa berada dalam keadaan khudur ma’allah (hati fokus dalam mengingat Allah) dan ia akan menjadi hamba Allah semata. Perjalanan zahir dan batinnya tidak ada tujuan lain kecuali hanya kepada Allah (لا مقصود الا الله). Orang yang demikian disebut sebagai al-khawas (الخواص).
Sedangkan jika seseorang mendapat karunia Warid al-Wishal, maka hatinya atau mata hatinya (Basirah) hanya akan memandang Nur Wujudullah sehingga tidak terpandang selain diri-Nya karena ia telah fana’ dalam rahasia Nur Wujudullah semata. Contohnya ialah pengalaman yang dilalui oleh Nabi Musa as. Ketika Allah tajalli (tampak)kan sebagian rahsia Nur Wujud-Nya seperti yang telah diterangkan di atas, orang tersebut sampai ke tingkat zikir ghaibah. Inilah yang dinamakan khawasul-khawas (خواص الخواص).
Penulis: Syekh Dr. H. Jahid Bin H. Sidek (Mantan Professor Madya University of Malaya dan Mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyyah)
Editor: Khoirum Millatin

Hirarki Kemursyidan dalam Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Hadiri Ngaji Bulanan Pesma Daarusshohabah, Kiai Nafi Jelaskan Pentingnya Tasawuf
Habib Luthfi bin Ali bin Yahya
Anugerah Gelar DHC Abah
Arsip
- September 2023 (35)
- August 2023 (68)
- July 2023 (63)
- June 2023 (62)
- May 2023 (71)
- April 2023 (54)
- March 2023 (66)
- February 2023 (61)
- January 2023 (72)
- December 2022 (60)
- November 2022 (68)
- October 2022 (66)
- September 2022 (68)
- August 2022 (61)
- July 2022 (73)
- June 2022 (74)
- May 2022 (72)
- April 2022 (67)
- March 2022 (89)
- February 2022 (85)
- January 2022 (89)
- December 2021 (72)
- November 2021 (36)
- October 2021 (6)
- September 2021 (15)
- August 2021 (14)
- July 2021 (15)
- June 2021 (20)
- May 2021 (15)
- April 2021 (20)
- March 2021 (15)
- February 2021 (30)
- January 2021 (62)
- December 2020 (95)
- November 2020 (101)
- October 2020 (72)
- September 2020 (41)