Sidrap, JATMAN.OR.ID: Sejak dahulu banyak para Auliya (Waliyullah) yang hadir dan bermukim di Bumi Sidenreng Rappang. Beberapa yang masyhur di antaranya, Syekh Abdul Rahman atau Syekh Bojo di Allakuang, Syekh Syihabuddin atau Syekh Boddi / Sehetta Woddi di Rappang, Syekh Umar bin Abdullah atau Syekh Keramat di Tellang-Tellang, dan Syekh Mahyuddin atau Puttuang di Dea, Baranti.
Sejak dahulu bumi Sidenreng Rappang merupakan salah satu destinasi atau tujuan para Habaib (dzurriyah atau keturunan Rasulullah SAW) dari Hadramaut. Mereka datang lalu tinggal, berdakwah hingga wafat dan dimakamkan di sini. Di antaranya adalah Habib Abu Bakar bin Muchsin Al-Hamid di Sereang dan Habib Abdullah bin Abu Bakar Al-Hamid di Lakapopang, Massepe.
Bumi Sidenreng Rappang sejak dulu juga dikenal dengan sebagai tempatnya para ulama ‘amilin yang terkenal dengan keshalihannya, seperti Anregurutta KH. Abdul Muin Yusuf (Kali Sidenreng), Anregurutta KH. Muhammad Abduh Pabbaja, Anregurutta KH. Makka Abdullah, Anregurutta KH. Fatahuddin Sukkara, serta masih banyak lagi lainnya yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu.
Sejumlah fakta di atas sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan jika bumi Sidenreng Rappang adalah bumi yang diliputi oleh keberkahan. Namun, menilik kondisi saat ini, seolah-olah keberkahan itu sudah tidak dirasakan lagi saat ini. Musibah kegagalan panen dan bencana, kemungkaran dan kemorosatan moral yang tidak terbendung terjadi justru ketika masjid masih penuh dengan jama’ah dan dakwah ada di mana-mana?
Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena derasnya arus modernisasi sehingga masyarakat mulai meninggalkan tradisi kita karena dianggap sudah ketinggalan zaman? Ataukah karena cara beragama kita yang hanya berfokus pada aspek syari’at lahiriah saja? Ataukah mungkin karena semakin berkembangnya paham-paham baru yang justru semakin menjauhkan kita dari para ulama dan menyebabkan kita melupakan para Auliya Allah dan para Habaib? Wallahu a’lam bis shawwab.
Kita hanya berharap semoga di hari jadi Sidenreng Rappang ke-677 menjadi momentum untuk kita mengingat kembali para Auliya Allah, para Habaib dan para ulama kita yang dengan keberkahannya bisa menjadikan Sidrap bangkit dan tumbuh kembali.
Mari kita selalu mengenang mereka dengan menziarahi makam mereka, atau sekurang-kurangnya mendoakan mereka. Mari kita jaga ilmu dan tradisi yang telah mereka wariskan kepada kita, seperti majelis dzikir (massikiri), majelis doa (mabbaca doang), majelis maulid dan shalawat (mabarazanji), majelis tahlil (makulhuwallah), dan sebagainya.
Semoga dengan ikhtiar kecil yang kita lakukan tersebut mendapatkan rahmat dan ridha Allah, curahan keberkahan dari Rasulullah SAW dan dukungan spiritual (madad) dari para Auliya-i shalihin wal ulama-il amilin sehingga Sidrap bisa bangkit dan tumbuh kembali. [Muhammad Rusmin Al-Fajr (Pembina PC. MATAN SIDRAP)]
Jakarta, JATMAN Online – Khodimut Thariqah Naqsabandiyah KH. Ahmad Nafi menjelaskan setelah tarbiyah syariat, selanjutnya tarbiyah qulub. Ilmu tasawuf, memperbaiki nafsu, membuka hijab. Orang yang sudah bersyariat, berfiqih, bertasawuf maka itulah orang yang sampai pada hakikat.
“Hakikat adalah sempurnanya iman. Yakni, dalam kitab Lathoiful Isyaroh, hidupnya kalbu bersama Allah kapanpun, dimanapun, dengan siapapun. Kita tidak hanya mencegah hawa nafsu saat ibadah, tapi saat dalam pekerjaan,” kata Kiai Nafi saat mengadiri Pengajian Bulanan di Pesantren Mahasiswa Daarusshohabah, Jalan Pemuda Asli II No. 20 RT 03/03, Rawamangun, DKI Jakarta, Kamis (14/09/2023).
Pengasuh PP Raden Rahmat Sunan Ampel Jember ini menyampaikan kalau baik dengan orang yang baik itu wajar. Kalau hati bersih, ketemu orang maksiat atau buruk atau kriminal saja selalu husnuzon.
“Gimana caranya bersih hati? Kita harus tawadlu berhadapan dengan orang maksiat. Itu diterangkan dalam kitab Nasoihul ibad, caranya lihatlah bahwa rahmat Allah mungkin diberikan pada siapapun yang dikehendaki-Nya, sekalipun manusia itu ahli maksiat. Jika dia mendapat hidayah, bisa husnul khatimah. Kita tidak bisa menjamin bisa husnul khotimah,” jelasnya.
“Bencilah pada perilakunya, jangan benci pada orangnya. Ketika kita tidak bisa tawadlu, berarti ada kesombongan dalam hati,” tambahnya.
Menurut Kiai Nafi, cita-cita mulia adalah baik di dunia dan akhirat, tercegah dari neraka, masuk surga tanpa melihat neraka, tanpa hisab. Gimana caranya? Jadilah orang-orang pilihan Allah. Jadilah orang-orang yang shalih (ibadah dan muamalah).
“Ibadah jangan jasmani saja, isi juga dengan ruhaniyah, sambung dengan Nur Nabi, yakni sambunglah dengan orang-orang yang menjadi jalan menuju Allah. Jadilah orang yang bisa menjadi sahabat terbaik bagi semua orang,” ungkapnya.
Semarang, JATMAN Online – Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al Mu’tabaroh an Nahdliyyah (JATMAN) Idaroh Wustho Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewah Yogyakarta (DIY) menggelar Manaqib Kubro di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Nyatnyono, Ungaran, Semarang, Sabtu (9/9/2023).
Manaqib Kubro, Istighosah, Bahtsul Masail, Temu Mursyid, dan Pengajian Akbar murupakan kegiatan rutin keliling 6 bulan sekali di 41 Syu’biyyah yang ada di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Manaqib Kubro ini turut dihadiri oleh perwakilan pengurus Idarah Aliyyah, pengurus Idarah Wustho Jateng dan DIY, Pengurus Syu’biyyah, para masyaikh dan habaib, serta TNI – Porli setempat dan tamu undangan lainnya.
Menurut Mudir JATMAN Jateng KH Ahmad Sa’id Lafif, Musyawarah Idaroh Wustho merupakan program JATMAN yang rutin dilakukan satu tahun dua kali.
“Program ini akan berkelanjutan terus menerus merupakan bagian Khidmah kita terhadap Thoriqoh.Musyawarah Idharoh Wustho ini bentuk komunikasi yang baik, sehingga menjalankan JATMAN Jateng berkembang pesat memberikan manfaat bagi masyarakat luas,’’ katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal JATMAN Idaroh Aliyyah KH. Mashudi dalam sambutannya menyampaikan atas nama JATMAN Idaroh Aliyyah mengapresiasi kegiatan pengajian akbar dan manaqib kubro ini
“Sejak pagi sampai sekarang dengan pengajian akbar dan tadi kita mengikuti bersama-sama maulidurrasul, kami yakin bahwa ini adalah arena untuk menjadikan majelis ini majelis yang mubarak. Sepulang dari mejelis ini semuanya diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala,” katanya.
Kiai Mashudi menjelaskan mejelis seperti inilah yang dikemas dan dikawal oleh JATMAN menjadi salah satu ngerem datangnya kiamat.
“Tidak akan terjadi kiamat selagi masih ada orang yang wirid dzikir Allah, Allah, Allah. Itulah garapan dari JATMAN, mengistiqomahkan wirid. Jadi, barangsiapa yang diberikan kekuaran berdzikir maka yang bersangkutan akan diberi tanda-tanda kewalian,” jelasnya.
“Jadi, JATMAN itu bukan hanya diikuti oleh bapak-bapaknya saja tapi ibu-ibunya juga berthoriqoh. Polisi berthoriqoh, tantara berthoriqoh. Mari kita do’akan dengan didampingi TNI-POLRI JATMAN semakin besar. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin,” tambahnya.
Mudah-mudahan majelis ini, lanjutnya, menjadikan kita semakin cinta kepada Rasululah shalallahu ‘alaihi wassalam. Ketika kita berkhidmah kepada Allah maka segala sesuatu akan tunduk kepada kita.
“Itulah sebabnya JATMAN sedang mengembangkan salah satu lajnah, yaitu lajnah Wathonah (Wanita Thoriqoh an Nahdliyyah). Kemudian lajnah MATAN (Mahasiswa Ahlith Thoriqoh al Mu’tabah an Nahdliyyah),” paparnya.
“Mudah-mudahan semua program yang sudah direncanakan oleh Idarah Aliyyah berserta Idaroh Wustho, Syu’biyyah, Ghusniyyah, dan Sa’afiyyah Se-Indonesia dimudahakan Allah dan akhirnya JATMAN menjadi jam’iyyah salah satu yang bisa mengamankan Indonesia yang kita cintai ini, menjadi Indonesia semakin hebat dan maju,” ungkapnya.
Jakarta, JATMAN Online – Seiring dengan kemarau panjang yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, yang membuat sejumlah wilayah mengalami kekeringan, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) mengajak umat Islam untuk menggelar Shalat Istisqa atau shalat meminta hujan.
“Kementerian Agama mengajak umat Islam untuk melaksanakan Shalat Istisqa atau shalat meminta hujan,” kata Gus Yaqut di Jakarta, Jumat (15/09).
Ia mengatakan sesuai dengan namanya, al-istisqa’, adalah meminta curahan air penghidupan (thalab al-saqaya). Para ulama fikih mendefinisikan Shalat Istisqa sebagai shalat sunah muakkadah yang dikerjakan untuk memohon kepada Allah SWT agar menurunkan air hujan.
Shalat Istisqa pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW, seperti yang dikisahkan lewat hadis riwayat Abu Hurairah RA.
Menurut Gus Yaqut, Shalat Istisqa menjadi bagian dari ikhtiar batin sekaligus bentuk penghambaan kepada Allah SWT.
“Memohon agar Allah menurunkan hujan yang lebat merata, mengairi, menyuburkan, bermanfaat tanpa mencelakakan, segera tanpa ditunda. Amin,” ujarnya.
Adapun pelaksanaan Shalat Istisqa sama dengan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Sesudah Takbiratul Ihram, melakukan takbir tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua.
Setelah membaca Surat Al-Fatihah dan lainnya, lalu rukuk, sujud hingga duduk tahiyyat kemudian salam.
Khatib lalu menyampaikan khutbah sama seperti khutbah Idul Fitri dan Idul Adha. Khutbah dianjurkan mengajak umat Islam untuk bertobat, meminta ampun atas segala dosa, serta memperbanyak istighfar dengan harapan Allah SWT mengabulkan apa yang menjadi kebutuhan umat Islam dan makhluk hidup lainnya pada saat kemarau panjang.