Connect with us

Tokoh

Mengenal Syekh Abul Fadhol al-Senory, Ulama Kampung yang Go International

Published

on

Syekh Abu al Fadhol al Senori atau Kiai Fadhol adalah putra dari pasangan ulama KH. Abdus Syakur bersama istrinya Nyai Sumiah yang lahir pada tahun 1917 M. Dilihat dari nasab ayahnya, Kiai Fadhol bukanlah keturunan orang sembarangan. Kakeknya dari jalur ayah, yang bernama Kiai Muhsin adalah ulama dari Karangmangu, Sarang yang merupakan putra dari Mbah Saman bin Yaman, yaitu seorang pejuang dari pasukan Pangeran Diponegoro yang gigih membela negara. Adapun neneknya dari jalur ayah yang bernama Mbah Denok berasal dari keturunan pengusaha Kesultanan Surakarta, yaitu Raden Diloyo.

Mbah Denok merupakan ulama perempuan yang alim dan zuhud. Ia adalah perempuan yang sangat setia dan berbakti kepada suaminya. Berdasarkan cerita dari beberapa sumber, Mbah Denok sangat menginginkan putra yang shalih.  Ketika ia sedang hamil, ia tidak sengaja menumpahkan sebagian beras yang sedang ia cuci. Seketika itu, beras yang tumpah berubah menjadi emas. Kemudian Mbah Denok berkata,

“Ya Allah, saya tidak meminta harta benda, saya minta putra yang alim.”

Dan benar saja. Allah mengabulkan doanya dan menganugerahinya putra putri yang shalih dan shalihah, yaitu Kiai Abdus Syakur, Kiai Chair dan Nyai Sarah yang diperistri oleh Raden Yusuf Mangkudirjo, Putra Bupati Jepara kala itu.

Pada usia yang masih belia, Kiai Abdus Syakur mengikuti pamannya untuk menuntut ilmu ke Haramain selama dua belas tahun lamanya. Di sana, ia berguru kepada berbagai macam ulama terkemuka, di antaranya kepada Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Zaini Dahlan, Syekh Mukri dan juga pengarang kitab I’anah ath-Thalibin, Sayyid Bakri Syatha’. Ia juga bersahabat baik dengan cucu muallif tersebut yang bernama Sayyid Hamzah Syatha’. Selain di Mekkah, Kiai Abdus Syakur juga pernah mengenyam pendidikan agama kepada KH. Ahmad Sholeh Langitan, Kiai Sholeh Darat Semarang dan Syekh Kafrawi Tuban.

Sekembalinya ke tanah air, ia dinikahkan oleh Nyai Sumiah di Sedan Rembang dan menetap di sana. Keduanya dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama Abul Khair dan Abul Fadhol. Selanjutnya, ia mendirikan lembaga pendidikan pesantren dan mengajar santri-santrinya di sana. Di antara santrinya itu, ada yang bernama Kiai Djuned yang akan menjadi besannya kelak.

Kiai Abdus Syakur adalah ulama yang disiplin dan telaten. Dengan kedalaman pengetahuannya, ia sendiri yang mengajarkan ilmu agama  terhadap anak-anaknya terutama Kiai Fadhol. Karena memiiki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, Kiai Fadhol dengan mudah menyerap semua ilmu dari ayahnya. Dalam mengajar, Kiai Abdus Syakur menggunakan metode menghafal dan memaknai kitab, sehingga tidak heran ketika nantinya Kiai Fadhol menjadi salah satu ulama yang produktif dalam mengarang kitab. Maka tidak heran ketika kakaknya sendiri, Kiai Abdul Khair lantas memuji kecerdasan adiknya itu.

“Saya (Kiai Abul Khair) dan Abul Fadhol hanya belajar kepada ayah kami. Akan tetapi, dalam masalah ini, Abul Fadhol kecerdasannya mengungguli saya. Sebab cepatnya menghafal dan menguasai berbagai disiplin keilmuan seperti sharaf, nahwu, balaghah, manthiq, muqawwalat, ilmu tafsir, ilmu hadis nabawi, arudh dan khafiyah.”

Kecerdasan Kiai Fadhol memang sudah nampak sejak masih kecil. Daya hafalannya sangat kuat. Dengan hanya mendengar penjelasan ayahnya, ia dapat mencerna dan memahami dengan cepat. Maka tidaklah heran, ketika berusia Sembilan tahun, ia sudah sanggup menghafalkan al-Quran 30 juz hanya dalam waktu dua bulan. Kemudian, pada usianya yang kesebelas tahun, ia sudah hafal Alfiyah ibn Malik. Selain itu, ia juga sudah mampu mengarang kitab, khatam kitab Kafrawi dan membaca Fathul Wahab ketika masih muda. Bahkan, saat ia mengkhatamkan kitab Uqudul Juman, tata bahasa Arabnya sudah sangat sempurna. Oleh karena itu, meskipun tidak pernah menuntut ilmu ke Mekkah seperti ayahnya, keunggulan gramatikal bahasa Arab Kiai Fadhol tidak perlu diragukan lagi kefushah-annya. Terbukti ketika banyaknya tamu Kiai Abdus Syakur yang dari negara Arab datang ke rumah, Kiai Fadhol lah yang menjumpai mereka dan berdiskusi dengan mereka.

Selain mahir dalam bahasa Arab, Kiai Fadhol rupanya juga mahir dalam bahasa Belanda. Sejak kecil, ia tak segang untuk bersenda gurau dengan serdadu-serdadu atau siapapun yang berada di markas Belanda tanpa ada rasa khawatir sedikitpun. Tapi dari situlah kemampuan berbahasanya bertambah. Kebiasaan tersebut membuatnya menjadi mahir dalam berbahasa Belanda.

Setelah Kiai Fadhol mendapatkan pemahaman agama yang cukup dari ayahnya, barulah ia diizinkan mengambil sanad keilmuan dari ulama lain seperti kepada Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asyari yang merupakan sahabat ayahnya ketika di Haramain, itupun tidak sampai satu tahun. Melalui sanad keilmuannya dari KH. Hasyim Asyari, Kiai Fadhol mengembangkan Islam yang toleran, bahwa perbedaan hanya terletak dalam soal furu, sedangkan dalam hal pokok, ushul, antar golongan umat Islam memiliki satu pemahaman. Sehingga, banyak santri KH. Hasyim Asyari yang kemudian melakukan propaganda bersama untuk kepentingan Islam dan sebagai cermin dari pendekatan bersatu yang dilakukan dengan mengemukakan perlunya toleransi. Inilah yang sepertinya menjadi buah pikir penulisan kitab Kawakib al Lama’ah, salah satu karyanya yang membahas eksistensi Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Selepas dari menyelesaikan pendidikannya di Tebu Ireng, Kiai Fadhol dinikahkan dengan perempuan asal Senori bernama Nyai Syari’ati binti Kiai Djuned dan tinggal di sana dengan mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberi nama Darul Ulum pada sekitar tahun 1960-an. Senori dulunya adalah daerah abangan. Kemudian datanglah Kiai Khusno dari Kendal bersama putranya Kiai Djuned yang melakukan babat alas di daerah tersebut dan kemudian diteruskan oleh menantunya, Kiai Fadhol. Bersama Nyai Syari’ati, Kiai Fadhol dianugerahi tujuh orang putra dan putri, antara lain:

  • Abdul Jalil
  • Muayyad
  • Shofiyuddin
  • Nashirul Mahasin
  • Khoridatul Anisah
  • Abdul Mafakhir
  • Lum’atud Duror

Kiai Fadhol wafat pada Hari Sabtu, 11 November 1989 yang bertepatan dengan tanggal 12 Robiul Awal 1410 H dan dimakamkan di pemakaman umum di Senori Tuban. Ia wafat karena sakit yang dideritanya. Meskipun sosoknya sudah tidak ada, namun namanya masih tetap harum hingga kini.

Karakteristik dan  Keilmuan

Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, bahwa Kiai Fadhol bukanlah sosok yang banyak mendapatkan pendidikan dari ulama lain. Meskipun demikian, banyak sekali ulama-ulama besar di bawahnya yang mengambil sanad keilmuan darinya. Kiai Fadhol adalah ulama yang sangat tegas dalam memberikan pendidikan kepada santri-santrinya. Ia tak segan menegur ketika ada yang terlambat dalam memulai majelis ilmu meskipun hanya beberapa menit saja.

Selain itu, ulama kharismatik tersebut memiliki gaya hidup yang sangat sederhana namun nyentrik. Menurut KH. Abdullah Faqih Langitan, yang merupakan salah satu santrinya mengatakan bahwa gurunya itu tak pernah memungut bayaran sedikitpun selama proses belajar-mengajar. Bahkan ia menghidupi dirinya sendiri dengan sambil berjualan, sehingga ketika ada yang membeli, proses pembelajaran tersebut dijeda sebentar.

Selain KH. Abdullah Faqih Langitan, masih ada banyak lagi ulama besar yang pernah menimba ilmu darinya, seperti KH. Maimoen Zubair Sarang, KH. Hasyim Muzadi, KH. Kafabihi Mahrus Lirboyo, KH.  Muhammad Zayadi Zain Pendiri Ponpes Zainul Islah Probolinggo, KH. A Mujib Imron, SH. dari Pondok Pesantren Al Yasini, Pasuruan dan banyak lagi. Kebanyakan para santri-santrinya tersebar di wilayah Jawa Barat seperti Cirebon dan Kuningan.

Kiai Fadhol adalah ulama yang zuhud. Hal ini tampak dalam penampilannya sehari-hari. Bahkan, pernah suatu ketika Kiai Fadhol bertakziyah ke Ayahanda KH. Maimoen Zubair yaitu KH. Zubair Dahlan. Pada saat itu, tak ada seorangpun yang mengenalnya, karena pakaian yang dikenakan tidak seperti ulama kebanyakan. Kopiahnya sudah berwarna merah dan bajunya lusuh. Namun ketika KH. Maimoen Zubair menyambut dan mencium tangannya, barulah orang-orang sadar bahwa yang datang itu bukanlah orang sembarangan. Selain itu, menurut Nyai Lum’atud Duror, Kiai Fadhol kerap tirakat dan hanya makan sehari sekali. Ia juga jarang tidur dan lebih sering melakukan wirid.

Sebagaimana manusia pada umumnya, Kiai Fadhol juga perlu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia pernah menjalani profesi seperti menjadi penjahit, penjual benang dan kain serta membuka bengkel. Bahkan, pada tahun 70-an, Kiai Fadhol sudah sudah mampu membuat bronfit, memodifikasi motor dan sepeda. Padahal, ia sebelumnya sama sekali tidak pernah belajar otomotif. Apalagi ia hidup di daerah pedesaan yang jauh dari arus teknologi. Selain itu, ia juga pandai mereparasi barang-barang elektronik seperti radio, televisi, kipas angin dan lain-lain. Padahal, ia juga tidak pernah belajar elektronik. Namun yang unik dari ulama tersebut adalah setiap kali pekerjaan yang ditekuni itu mulai maju, ia segera beralih ke profesi lain. Hal ini menunjukkan bahwa Kiai Fadhol bekerja bukan karena tujuan harta, melainkan sebagai bentuk ikhhtiar kepada Allah. Karena itu, bekerja adalah ibadah lain di samping rutinitasnya mengajar santri-santrinya di Pondok Pesantren Darul Ulum.

Selain menjadi pengasuh pondok pesantren, Kiai Fadhol juga merupakan pengurus Nahdlatul Ulama Provinsi Jawa Timur yang sangat aktif dan bahkan merupakan sebagai seorang pendiri Nahdlatul Ulama di Senori Tuban. Pada tahun 1960-an, KH. Abul Fadhol pernah menjabat sebagai Rais Syuriah NU cabang Tuban Selatan (Kecamatan Senori-Bangilan) yang pada saat itu menggantikan KH. Masyhuri. Meskipun pada saat itu usianya sudah tak lagi muda, tetapi KH. Abul Fadhol tetap aktif di NU dan menjabat sebagai Dewan Mustasyar Jawa Timur hingga akhir hayatnya.

Karya-karya

Kiai Fadhol adalah ulama yang sangat produktif hingga akhir hayatnya. Karya-karyanya bahkan tidak hanya dikaji di Pesantren-pesantren di Nusantara, namun juga di luar negeri seperti Malaysia, Mesir dan Turki. Berdasarkan keterangan Kiai Juwaini, karya Kiai Fadhol terbagi menjadi dua katagori: Pertama, kitab-kitab yang ia terjemahkan ke dalam Bahasa Jawa pegon yaitu kitab-kitab yang bukan tulisannya sendiri melainkan karya ulama-ulama terdahulu seperti ilmu nahwu, sharaf dan lain-lain. Kedua, kitab-kitab yang merupakan karyanya sendiri dan ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab. Pada katagori kedua ini, Kiai Fadhol menolak untuk menterjemahkan karyanya ke dalam Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia, karena khawatir menghilangkan I’jaz. Menurutnya, jika kitabnya diterjemahkan, maka keistimewaannya akan hilang. Kitab-kitab tersebut banyak dikaji di pesantren-pesantren milik santrinya terdahulu sebagai ngaji pasaran selama Bulan Ramadhan.

Adapun karya-karya Kiai Fadhol meliputi ilmu tafsir, ilmu tauhid, ilmu fikih, ilmu bahasa dan ilmu sejarah. Adapun beberapa karyanya yang masih dikaji di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Kitab Tafsir Al-Ayat al-Ahkam

Kitab ini merupakan karya Kiai Fadhol dalam bidang tafsir dengan menggunakan metode tematik yang menyangkut hukum-hukum syariat, ubudiyah dan muamalah. Hal ini dibuktikan dengan adanya klasifikasi ayat-ayat yang memiliki kesamaan tema, kemudian ditafsirkan dengan pendekatan fikih serta analisis bahasa. Kitab ini tidak diketahui secara pasti kapan pertama kali dibuat, namun pengajaran kitab tersebut pertama kali dilakukan pada tahun 1971. Namun dalam pembuatan kitab tersebut, ada indikasi belum selesai ditulis sebab tidak adanya bagian akhir bab yang biasanya berisi penutup. Padahal, kitab tersebut memiliki muqaddimah (pendahuluan).

  • Kitab Kawakibu al-Lama’ah

Kitab ini merupakan karya Kiai Fadhol dalam bidang tauhid. Kitab ini selesai pada tahun 1381 H dan didedikasikan kepada NU sebagai argumen-argumen Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kitab ini juga pernah dikaji dalam muktamar NU di Solo, kemudian isinya disepakati di Jombang pada tahun 1383 H atau 1964 M. Namun karena ada sebagian masyarakat yang tidak memahami kandungan kitab tersebut, maka Kiai Fadhol membuat syarh nya yang berjudul Syarah Kawakibu al-Lama’ah. Kitab tersebut bukan hanya diajarkan kepada santri, tapi juga masyarakat secara umum. Bahkan Syarah Kawakibu al-Lama’ah disimpan dengan baik di salah satu perpustakaan di Istanbul, Turki.

  • Kitab Kasyf Tabarihfi Bayan Salat al-Tarawih

Salah satu karya Kiai Fadhol yang menerangkan tentang fiqih adalah kitab Kasyf Tabarihfi Bayan Salat Al-Tarawih. Kitab tersebut ditulis karena problematika umat yang mempermasalahkan pelaksanaan shalat tarawih apakah 20 rakaat atau 8 rakaat. Oleh sebab itu, kitab ini ditulis sebagai jawaban atas keresahan masyarakat.

  • Kitab Tashil al-Masalik

Dalam bidang bahasa, Kiai Fadhol banyak sekali mensyarahkan kitab-kitab ulama terdahulu seperti kitab Tashil Al-Masalik sebagai syarh Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini terdiri dari tiga jilid yang ditulis oleh Kiai Fadhol untuk mempermudah santri-santrinya dalam memahami gramatikal bahasa Arab, khususnya di bidang Nahwu. Sebab, tidak semua orang dapat memahami intisari dari Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri dari 1002 bait-bait nadzom. Sehingga perlu penjelasan dari guru, salah satunya melalui hadirnya kitab ini.

  • Kitab Ahla al-Musamarah fi Hikayat al-Auliya’ al-Asyrah

Kitab Ahla al-Musamarah fi Hikayat al-Auliya’ al-Asyrah adalah satu-satunya karya Kiai Fadhol di bidang sejarah. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1381 H dalam Bahasa Arab yang menjelaskan tentang perjalanan wali sepuluh. Bahkan, menurut Kiai Juwaini, karya Kiai Fadhol yang satu ini merupakan satu-satunya kitab sejarah yang ditulis menggunakan bahasa Arab.

Penulis: Khoirum Millatin

Continue Reading

Berita

Dimakamkan 4 Tahun Lalu Jasad Mbah Moen Masih Utuh, Berikut Biografi KH Maimoen Zubair

Published

on

By

Jakarta, JATMAN Online – Kabar mengejutkan sekaligus luar biasa datang dari Makkah. Jasad salah satu ulama besar Indonesia yakni KH Maimoen Zubair dikabarkan masih dalam kondisi utuh ketika makamnya di Mekkah dibongkar.

Kabar masih utuhnya jasad KH Maimoen Zubair itu sempat dibagikan oleh pengguna akun Youtube Alman Mulyana.

Alman menjelaskan bahwa makam di Kota Mekkah itu selalu dibongkar selama 4 tahun sekali. Salah satunya yang tengah melakukan kegiatan pembongkaran yakni di komplek pemakaman bersejarah Jannatul Ma’la.

Di komplek tersebut terdapat makam keluarga Rasullah. Selain itu ada pula ulama besar Indonesia yakni KH Maimoen Zubair.

“Jannatul Ma’la ini terdapat makam keluarga Rasulullah termasuk juga makam ulama besar Indonesia yaitu KH Maimoen Zubair. Hari ini dibongkar dan luar biasanya makam KH Maimoen Zubair itu yang dibongkar ditutup kembali karena jasadnya masih utuh,” ungkapnya.

Untuk membuktikannya, ia bahkan sempat menyambagi tempat jasad KH Maimoen Zubair dimakamkan.

Dari video yang diperlihatkan terlihat bekas pembongkaran makam KH Maimoen Zubair yang kemudian ditutup kembali. Ia memperlihatkan pula batu nisan yang bertulis nama KH Maimoen Zubair di atas liang yang baru saja dibongkar itu.

Biografi KH Maimoen Zubair: Keturunan Sunan Giri

KH Maimoen Zubair (Mbah Moen) dikenal sebagai kiai atau ulama kharismatik dari indonesia. Selain menjadi seorang ulama, beliau juga dikenal sebagai seorang politikus. Berikut profil dan biografi KH Maimun Zubair (Mbah Moen).

Mbah Moen adalah putra pertama dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah. Beliau dilahirkan di Karang Mangu Sarang hari Kamis Legi bulan Sya’ban tahun 1347 H atau 1348H atau 28 Oktober 1928.

Dari jalur silsilah kakek, nasab Mbah Moen sampai kepada Sunan Giri. Berikut adalah jalur silsilah nasab Mbah Moen: KH. Zubair bin Mbah Dahlan bin Mbah Carik Waridjo bin Mbah Munandar bin Puteh Podang (desa Lajo Singgahan Tuban) bin Imam Qomaruddin (dari Blongsong Baureno Bojonegoro) bin Muhammad (Macan Putih Gresik) bin Ali bin Husen (desa Mentaras Dukun Gresik) bin Abdulloh (desa Karang Jarak Gresik) bin pangeran Pakabunan bin panembahan Kulon bin sunan Giri.

Sedangkan dari jalur silsilah Nenek yaitu, Nyai Hasanah binti Kiai Syu’aib bin Mbah Ghozali bin Mbah Maulana (Mbah Lanah seorang bangsawan Madura yang bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro).

Ayahnda Mbah Moen, Kiai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Kedua guru tersebut adalah sosok ulama yang tersohor di Yaman.

Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan.

Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara seimbang. Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras.

Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri.

Keluarga Mbah Moen

KH Maimun Zubair (Mbah Moen) diketahui bahwa beliau menikah dengan nyai Hj Fatimah yang merupakan anak dari KH Baidhowi Lasem. Istrinya Hj Fatimah meninggal dunia pada tanggal 18 Oktober 2011. KH Maimun Zubair (Mbah Moen) juga diketahui menikah dengan wanita bernama Nyai Masthi’ah, anak dari KH Idris asal Cepu.

Nama-nama putra-putri beliau diantaranya:

KH. Abdullah Ubab
KH. Gus Najih
KH. Majid Kamil
Gus Abd. Ghofur
Gus Abd. Rouf
Gus M. Wafi
Gus Yasin
Gus Idror
Sobihah (Mustofa Aqil)
Rodhiyah (Gus Anam)

Pendidikan

Dalam riwayat pendidikannya, sejak kecil Mbah Moen sudah dibimbing langsung oleh orangtuanya dengan ilmu agama yang kuat, mulai dari menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain.

Pada usia yang masih muda, beliau sudah hafal beberapa kitab di luar kepala di antaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Selain itu, beliau juga mampu menghafal kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.

Pada tahun 1945 beliau memulai pendidikannya ke Pondok Lirboyo Kediri, di bawah bimbingan KH. Abdul Karim atau yang biasa dipanggil dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.

Setelah itu selesai, kemudian beliau kembali ke kampungnya, mengamalkan ilmu yang sudah beliau dapat. Kemudian pada tahun 1950, beliau berangkat ke Mekkah bersama kakeknya sendiri, yaitu KH. Ahmad bin Syu’aib untuk belajar dengan ulama di Mekkah.

Di antaranya adalah Sayyid Alawi al-Maliki, Syekh al-lmam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly. Disana ia belajar selama 2 tahun.

Pada tahun 1952, Mbah Moen kembali ke Tanah Air. Setiba di Indonesia Mbah Moen kemudian melanjutkan belajar ke beberapa ulama di tanah Jawa. Guru-guru beliau adalah Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abui Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.

Mendirikan Pondok Pesantren Al-Anwar

Setelah dirasa cukup untuk menimba ilmu, akhirnya Mbah Moen kembali ke Sarang dan mengabdi kepada masyarakat di sana.

Pada tahun 1965, Mbah Moen mendirikan Pesantren al-Anwar. Pesantren inilah kemudian menjadi rujukan para orang tua, untuk memondokan anaknya untuk belajar kitab kuning dan turats.

Sehingga akhirnya, masyarakat Sarang mengenal KH Maimoen Zubair sebagai sosok ulama yang kharismatik.

Karier Politik dan Kiprahnya di NU

Selain menjadi seorang pengasuh Al-Anwar Sarang, Pada tahun 1971, Mbah Moen terjun ke dunia politik menjadi anggota DPR wilayah Rembang hingga tahun 1978. Kemudian pada tahun 1987, beliau menjadi Anggota MPR RI utusan Jawa tengah hingga tahun 1999.

Kemudian semasa jabatan politiknya di MPR RI, Mbah Moen juga pada tahun 1985 hingga 1990 dikenal aktif dalam NU, Mbah Moen pernah menjabat sebagai Ketua Syuriah NU Provinsi Jawa Tengah. Beliau juga pernah menjadi Ketua Jam’iyah Thariqah NU.

Pada tahun 1995 hingga 1999, Mbah Moen juga aktif dalam organisasi partai seperti menjadi Ketua MPP Partai Persatuan Pembangunan, dan kemudian menjadi Ketua Majelis Syari’ah PPP sejak 2004.

Karya-Karya Mbah Moen

  • Nushushul Akhyar adalah kitab karangan Mbah Moen yang menjelaskan tentang penetapan awal puasa, Idul Fitri dan pembahasan terkait tempat Sa’i.
  • Tarajim Masyayikh Al-Ma’ahid Ad-Diniah bi Sarang Al-Qudama’ merupakan kitab yang ditulis oleh Mbah Moen yang berisi biografi lengkap ulama-ulama Sarang.
  • Al-Ulama’ Al-Mujaddidun kitab inilah yang sering di kaji oleh Gus Baha.
  • Maslakuk Tanasuk kitab ini menjelaskan tentang sanad thoriqot Mbah Moen kepada Sayyid Muhammad Al Maliki dan berisi pembahasan lainnya.
  • Kifayatul Ashhab.
  • Taqirat Badi Amali.
  • Taqrirat Mandzumah Jauharut Tauhid.

Wafat di Makkah

Tahun 2019 saat menunaikan ibadah haji, pada hari Selasa, 6 Agustus 2019 pagi KH. Maimoen Zubair wafat. Atas keinginan sendiri (wasiat) kepada anak-anaknya, beliau ingin dimakamkan di pemakaman Ma’la di Makkah, Arab Saudi.

Beliau tutup usia pada dalam umur 90 tahun. Wallahua’lam.

Continue Reading

Tokoh

Mengenal KH. Abdurrohman Mranggen, Khalifah TQN yang Haulnya Diperingati Setiap Dzulhijjah

Published

on

KH. Abdurrahman Mranggen merupakan salah satu tokoh penyebar Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) yang sangat berpengaruh di Jawa Tengah. Berkat kegigihan KH. Abdurrahman dan dzuriyahnya, Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berhasil membumi di masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Tengah. 

Tanggal 11 Dzulhijjah 1444 H, merupakan peringatan haul KH Abdurrahman bin Qasidil Haq ke-83. Berikut manaqib beliau.

Kelahiran dan Pendidikan KH Abdurrahman Mranggen  

KH. Abdurrahman lahir di kampung Suburan Mranggen Demak tahun 1872 M. Ayahnya Kiai Kasidin yang dikenal juga dengan KH. Qosidil Haq merupakan seorang guru ngaji. Selain itu setiap harinya Kiai Qosidil Haq juga berkebun dan berdagang, serta menyewakan rumahnya untuk penginapan para pedagang yang datang dari luar kota.

Dalam hal pendidikannya, Kiai Abdurrohman kecil dididik dan dibimbing langsung oleh ayahnya sendiri, lalu setelah memasuki usia dewasa beliau belajar di Pesantren Tayem, Purwodadi, Grobogan. 

Kiai Abdurrorman juga pernah nyantri di sebuah pesantren yang berada di seberang sungai Brantas Kediri Jawa Timur. Setelah pulang dari Jawa Timur, Dirinya berguru pada KH. Abu Mi’raj di Kampung Sapen, Penggaron, Genuk, Kota Semarang, hingga akhirnya dijodohkan dengan putrinya yaitu Nyai Hajjah Shofiyah Abu Mi’raj.  

Kiai Abdurrohman sempat berguru pula pada  KH. Sholeh Darat, seorang ulama besar kenamaan dari Semarang. Juga berguru pada KH. Ibrohim Brumbung Mranggen. Di sinilah Kiai Abdurrohman, di mata  KH. Ibrohim mulai terlihat keistimewaannya. 

Pada suatu ketika KH. Ibrohim akan melaksanakan shalat berjamaah dengan para santrinya, termasuk Kiai Abdurrohman. Sebelum berjamaah  KH. Ibrohim berkata pada santri-santrinya, bahwa ketika nanti apabila ada sesuatu hal terjadi dan ia mampu menghadapinya dengan sabar dan tenang, maka suatu saat nanti akan mempunyai putra yang berhasil menjadi orang yang sholeh dan alim.  

Tidak lama setelah itu ketika KH. Ibrohim melaksanakan jamaah shalat maghrib bersama santri-santrinya. Ketika selesai shalat tiba-tiba ada seekor ular datang menuju ke arah Kiai Abdurrohman, ular itu terlihat merambati tubuhnya, dan hal itu berlangsung sampai shalat jamaah selesai. 

Bahkan menjelang shalat jamaah Isya KH. Ibrohim menuju ke Mushala untuk shalat Isya ternyata masih dijumpai Kiai Abdurroman masih tetap berada ditempatnya dan melihat ular tadi yang masih berada di sekitar Kiai Abdurrohman.

Setelah ular itu pergi dengan sendirinya KH. Ibrohim mengatakan kepada Kiai Abdurrohman bahwa “Kamu termasuk orang yang tahan ujian, sabar dan tabah.” Dalam redaksi yang lain dikatakan bahwa “besok kamu akan memiliki putra yang shaleh, alim, dan menjadi orang besar.”

Perkataan sang guru adalah doa bagi seorang murid, demikian pula perkataan KH. Ibrohim yang mengandung doa itu dikabulkan oleh Allah Swt., dan di kemudian hari Kiai Abdurrohman menjadi seorang ulama dan putra-putrinya menjadi orang-orang yang alim. Di antaranya adalah dua putra beliau yang ketokohan dan keulamaannya begitu masyhur di nusantara, yaitu KH. Muslih Abdurrohman dan KH. Ahmad Muthohar. Dan setelah kejadian tersebut KH. Ibrohim berkenan membaiat Kiai Abdurrohman untuk menjadi Khalifah Thariqah Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah. 

Dalam mencari maisyah sehari-sehari, Kiai Abdurrohman berdagang kain di pasar. Meskipun demikian dirinya sangat disiplin dalam beribadah. Di antara kebiasaannya adalah beliau tidak berangkat ke tempat dagang sebelum menunaikan shalat dhuha, meskipun sudah banyak calon pembeli berdatangan, tidak menyurutkan niat mereka untuk membeli kain dari kiai Abdurrahman sehingga mereka nampak setia menunggu sampai beliau datang.

Kiai Abdurrohman juga dicintai para pelanggannya karena suka memberi kelonggaran pada mereka yang mengambil barang dagangannya dulu dan membayar belakangan atau diangsur.  

Selain itu, berkat kejujuran dan kemahirannya dalam berbahasa Arab, para pedagang keturunan Arab yang tinggal di Semarang juga menaruh kepercayaan kepada beliau dan membolehkan dirinya membawa barang dagangannya.

Sosok Kiai Abdurrohman juga dikenal sebagai pribadi yang luwes dalam setiap pergaulan. Bergaul dengan kiai tampak kekiyaiannya, bergaul dengan bangsawan tampak kebangsawanannya, bergaul dengan pedagang kelihatan sifat kesaudagarannya.

Di samping sebagai pedagang, ketokohan Kiai Abdurrohman juga sudah terkenal pada saat itu, dirinya juga sangat perhatian terhadap dunia pendidikan. Terbukti beliau merintis pendirian Pesantren Suburan (kelak berubah nama menjadi Pondok Pesantren Furuhiyyah Mranggen) yang kemudian menjadi pusat pendidikan Islam di Demak dan banyak tokoh-tokoh besar terlahir dari pesantren yang beliau dirikan itu.

Sebagai sorang alim yang berdedikasi tinggi terhadap tugas dan tanggung jawabnya, Kiai Abdurrohman senantiasa mengamalkan ilmu-ilmu yang dikuasai demi pengabdian kepada Allah dan Rasul-Nya, Agama juga kepada Nusa dan Bangsa.

Keluarga KH Abdurrahman Mranggen

Kiai Abdurrohman beristri dua, tapi tidak poligami. Istri pertama Ibu Nyai Suripah ipar KH Ibrohim Brumbung Mranggen dan dikaruniai empat orang putra namun semuanya dipanggil oleh Allah Swt, sewaktu masih kecil yakni setelah ibunya Suripah menghadap kehadirat Allah Swt.

Kemudian dirinya berkenan menikah lagi dengan Hj. Shofiyyah (nama kecil Fatimah) binti KH. Abu Mi’roj bin Kiai Syamsudin Penggaron Genuk Semarang dan dikaruniai 11 Putra-putri antara lain:

1. Hafsoh (lahir di kapal dalam perjalan menuju tanah suci, meninggal di Jakarta dalam perjalanan ke tanah air)
2. KH Usman (wafat 1967)
3. Bashiroh (meninggal sewaktu kecil)
4. KH Muslih (Wafat tahun 1981)
5. KH Murodi (Wafat tahun 1980)
6. Rohmah (meninggal sewaktu kecil)
7. KH Fathan (Wafat tahun 1945)
8. KH Ahmad Muthohar (meninggal tahun 2005)
9. Hj Rohmah Muniri (meninggal tahun 1988)
10. Faqih (meninggal sewaktu kecil)
11. Tasbihah Mukri (meninggal sewaktu kecil)

Akhir Hayat KH Abdurrahman Mranggen

Puluhan tahun KH Abdurrahman mewakafkan dirinya untuk berjuang dalam dakwah menyebarkan ajaran agama serta pengabdiannya kepada masyarakat, sehingga sangat patut jika beliau mendapatkan tempat yang terbaik dan penghargaan dari para kolega dan masyarakat umum lainnya. 

Setelah pengabdiannya kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. KH. Abdurrohman menghadap Ilahi pada tanggal 12 Dzulhijjah 1360 H bertepatan pada tahun 1941 M dalam usia 70 tahun.

Semoga beliau menjadi teladan bagi kita semua.

Continue Reading

Tokoh

Mengenal Syekh Abdul Wahab Rokan, Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah dari Langkat

Published

on

Biografi Syekh Abdul Wahab Rokan

Syekh Abdul Wahab Rokan merupakan seorang mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah. Ayahnya bernama Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Maulana Tuanku Haji Abdullah Tambusai. Sedangkan ibunya bernama Arbaiyah binti Datuk Dagi bin Tengku Perdana Menteri bin Sultan Ibrahim yang memiliki pertalian darah dengan Sultan Langkat.

Ayah Syekh Abdul Wahab, Syekh Abdul Manaf merupakan seorang ulama besar yang ‘abid dan cukup terkemuka di zamannya. Adapun Moyangnya, Maulana Tuanku Haji Abdullah Tembusai adalah seorang ulama besar dan golongan raja-raja yang sangat berpengaruh. Sehingga jika dilihat dari jalur nasab, Syekh Abdul Wahab bukanlah orang sembarangan.

Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi, dilahirkan di Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Riau (sekarang Desa Rantau Binuang Sakti Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu), pada tanggal 19 Rabiul Awal 1230 H/ 28 September 1830 M, dengan nama Abu Qosim dan wafat di Babussalam, Langkat, pada hari Jumaat, 21 Jumadil awal 1345 H/ 26 Desember 1926 M, dalam usia 115 tahun.

Abu Qosim sejak kecil telah menunjukkan minatnya belajar dibidang keagamaan, mulai  dari kampung kelahirannya dengan berguru kepada  Tuan Baqi, kemudian menamatkan Al-Quran dengan H. M. Sholeh, seorang ulama besar yang berasal dari Minangkabau. Selanjutnya Abu Qosim belajar dengan Maulana Syekh Abdullah Halim serta Syekh Muhammad Shaleh Tembusai selama lebih kurang 3 tahun.

Abu Qosim di beri gelar oleh guru nya  “Faqih Muhammad” (orang yang ahli dalam bidang ilmu fiqh). Kemudian Abu Qosim Faqih Muhammad (begitu beliau dipanggil), atas bantuan ayah angkatnya, Haji Bahauddin melanjutkan belajar ke Semenanjung Melayu dan berguru kepada Syekh Muhammad Yusuf yang lebih dikenal dengan Tuk Ongku selama lebih kurang dua tahun. Dari semenanjuang Melayu, Abu Qosim Faqih Muhammad menempuh perjalanan panjang ke Mekah dan menimba ilmu pengetahuan selama enam tahun (1863-1869).

Di antara guru-gurunya di Mekkah yaitu Syekh Saidi Syarif Dahlan (Mufti Mazhab Syafi’i). Syekh Hasbullah (ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Haram) dan Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Abu Qubais, Mekkah. Syekh Sulaiman Zuhdi inilah yang kemudian memberi ijazah (pegesahan) dan membaiat nama dari Abu Qosim Faqih Muhammad menjadi Abdul Wahab dan memperoleh ijazah sebagai “Khalifah Besar Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah” (Syekh yang dapat mengembangkan Tarekat di daerahnya), sehingga Abdul Wahab (hamba Allah Yang Maha Pemberi) menjadi bernama Syekh Abdul Wahab Al Khalidi Naqsabandi, kemudian Syekh Abdul Wahab Al Khalidi Naqsabandi menambahkan nama daerah sebagai asal usulnya, yaitu Rokan sehingga lengkapnya menjadi Syekh Abdul Wahab Rokan Al Khalidi Naqsabandi.

Berdasarkan silsilah Tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Abdul Wahab Rokan menduduki urutan ke-17 dari pendiri tarekat tersebut, yakni Baha’al-Dîn al-Naqsyabandiyah, dan urutan yang ke-23 dari Nabi Muhammad saw.

Awal Pengembangan Tarekat

Sepulangnya dari Makkah, beliau kembali ke kampung halamannya Rokan Riau, dengan membangun sebuah perkampungan di Kubu (sekarang masuk daerah Kabupaten Rokan Hilir), yang bernama Kampung Masjid. Kampung ini menjadi basis penyebaran agama Islam. Dari hasil dakwahnya ini, beberapa raja Melayu di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara seperti Panai, Kualuh, Bilah, Asahan, Kota Pinang, Deli dan Langkat selalu mengundang Syekh Abdul Wahab Rokan untuk berceramah di lingkungan dan kalangan istana. Salah seorang sultan bernama Sultan Musa Mu’azzamsyah dari Kesultanan Langkat menjadi pengikut Tarekat Naqsyabandiyah yang setia sehingga ia diangkat menjadi khalifah.

Kehadiran Syekh Abdul Wahab Rokan sebagai ulama yang disegani dan yang selalu mendapat dukungan dari raja-raja Melayu, membuat Belanda mencurigai gerak-gerik Syekh Abdul Wahab Rokan yang mengakibatkan ia tidak merasa nyaman lagi tinggal di daerah Kubu. Akhirnya, ia pindah ke Kualuh (Labuhan Batu) atas permintaan Sultan Ishak penguasa Kerajaan Kualuh, Di sana ia membuka perkampungan sebagai pusat dakwahnya yang namanya sama dengan perkampungan di Kubu yaitu Kampung Mesjid.

Setelah Sultan Ishak wafat, posisinya digantikan adiknya yang bernama Tuanku Uda. Tetapi sangat disayangkan, Tuanku Uda kurang simpati kepada Syekh Abdul Wahab Rokan. Dalam kondisi tersebut, Sultan Musa penguasa Kerajaan Langkat justru simpati dan mengharapkan agar Syekh Abdul Wahab Rokan pindah ke Langkat. Akhirnya setelah bermusyawarah dengan para muridnya, ia memutuskan untuk pindah ke Langkat, meninggalkan Kualuh.

Di Langkat, tepatnya tahun 1300/1882, ia mulai membangun perkampungan dan pusat persulukan Tarekat Naqsyabandiyah yang bernama Babussalam. Babussalam mulai di bangun pada 12 Syawal 1300 H (1883 M) yang merupakan wakaf muridnya sendiri Sultan Musa al-Muazzamsyah, Raja Langkat. Tempat ini masih ada sampai sekarang. 

Pokok Ajaran Syekh Abdul Wahab Rokan

Pokok ajaran Syekh Abdul Wahab Rokan dalam tarekat berpegang kepada pemikirannya yang tertuang dalam wasiatnya 44. Konsep hidup hemat dan sederhana adalah salah satu ajaran tarekat yang menjadi pegangan para pengikutnya (zuhud). Hidup zuhud adalah suatu perjalanan spiritual menuju Allah. Hidup zuhud bukan berarti menafikan harta dan kehidupan dunia. Ia berpendapat harta kekayaan adalah nikmat dan anugerah Allah yang pantas diterima dan disyukuri. Namun walau memiliki harta, tidak harus digunakan secara berlebihan, dengan kata lain adanya keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

Sebelumnya, peringatan setiap tahun hanya di peringati haulnya saja (hari wafatnya) di Babussalam Langkat Sumatera Utara, tempat Syekh Abdul Wahab Rokan mengembangkan ajaran tarekat terakhir sampai beliau wafat, Namun mulai tahun 2019, dilaksanakan pula Milad (hari kelahiran) beliau, pertama kali bertepatan dengan yang ke 208 tahun kelahirannya.

Peringatan Milad ini di laksanakan di Desa Rantau Binuang Sakti, Kecamatan Kepenuhan Kabupaten Rokan Hulu, tanggal 5 Desember 2020, sebagai tumpah darah kelahiran Syekh Abdul Wahab Rokan, seorang sufi yang handal, tidak saja di tingkat regional namun sampai ke tingkat nasional dan bahkan negara tetangga. Peringatannya ditandai dengan melaksanakan suluk 10 hari dan  tahun 2019 yang lalu, telah di laksanakan pula pembuatan duplikat makam beliau di samping Surau Suluk yang cukup refresentatif di Rantau Binuang Sakti.

Adapun untuk saat ini, tonggak kemursyidan sudah masuk pada mursyid ke-12 yaitu diserahkan kepada Tuan Guru Syekh Dr. Zikmal Fuad MA. yang sebelumnya dipegang oleh Syekh H. Irfansyah Al Rokany.

Continue Reading

Facebook

Arsip

Trending