Connect with us

Tanya Jawab

Mengaku Sudah Wushul Kepada Allah

Published

on

Pertanyaan: Bagaimana pendapat muktamirin tentang orang yang mengaku sudah wushul kepada Allah, dan manunggal kepada Allah, serta melihat kepada Allah dengan kedua mata kepalanya, sedangkan dia tidak mengamalkan perintah-perintah Allah dan tidak menjauhi larangan-Nya. Apakah dapat diterima pengakuannya, dan diambil ijazahnya?

Jawab: Tidak boleh diterima pengakuannya dan tidak boleh diambil ijazahnya, karena orang tersebut adalah orang yang sesat menyesatkan. Atau dengan kata lain dia adalah orang yang fasiq, bahkan dapat dikatakan bahwa dia adalah orang murtad.
Ini merupakan hasil keputusan Muktamar II Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah ke 2 di Pekalongan Tanggal 8 Jumadil Ula 1379 H/9 November 1959 M.

Sumber Referensi:

  1. Ihyaa’ Uluum al-Diin, juz I hal. 36: Satha yang kami maksudkan adalah dua macam ucapan yang diada-adakan oleh sebagian ahli sufi. Salah satunya adalah pengakuan yang panjang yang ditujukan kepada orang lain mengenai keasyikannya dengan Allah Swt. dan bahwa dirinya telah sampai kepada derajat wusul kepada Allah yang menyebabkannya bebas dari amalan-amalan zhahir. Sehingga ada orang-orang yang mengaku menyatu (ittihad) dengan Allah, hilangnya hijab (satir) antara dirinya dan Allah, musyahadah dengan Allah dengan mata kepala (bukan dengan hati), dan bercakap-cakap secara lisan dengan Allah, lalu mereka mengatakan kepada kami begini dan begini”..sampai dengan kalimat selanjutnya di dalam kitab al-ihya’. Maka orang tersebut dan orang lain yang seperti itu kejelekkannya menyebar di mana-mana dan sangat membahayakan orang-orang pada umumnya, sehingga barangsiapa mengucapkan sebagian dari hal-hal di atas, maka demi membela agama Allah membunuh orang tersebut lebih utama daripada menghidupkan sepuluh orang.
  2. I’aanah al-Thaalibiin, juz IV hal. 139: Al-Ghazali mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa dirinya telah sampai kepada haal (keadaan rohani) bersama Allah yang membuatnya bebas dari kewajiban shalat atau bebas dari larangan minum khamr, maka membunuhnya adalah wajib, meskipun perlu peninjauan mengenai hukum kekalnya orang tersebut di neraka. Membunuh orang seperti itu lebih utama daripada membunuh seribu orang kafir, karena bahayanya lebih besar.
  3. Al-Fariidah al-Bahiyyah, hal. 57: Barangsiapa mengaku melihat Allah dalam keadaan jaga dengan kedua mata kepalanya, maka ia sesat dan menyesatkan. Menurut sebagian pendapat fasik, dan menurut sebagian lain murtad.

Tanya Jawab

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Published

on

Pertanyaan:

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Jawaban:

Utamakan amalkan apa yang diamalkan oleh mursyidmu. Sebab dalam amalan itu ada energinya meskipun hanya bismillah. Jangan lewatYouTube, atau di Google. Memang baik, tapi di dalamnya tidak ada energi yang dialirkan oleh mursyidmu. Itulah fungsinya baiat, kalimat ‘ajaztukum’. Karena di sana ada energi.

Jangankan pada wilayah tersebut, kita menikah saja perlu ada energi ilahiyah berupa akad, apalagi wilayah tauhid semacam amalan. Sehingga jangan jadi gampangan menerima wirid dari siapapun.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al Insyiqaq ayat 6,

يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ اِنَّكَ كَادِحٌ اِلٰى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلٰقِيْهِۚ

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras, sekuat-kuat kerja, menuju Rab(Tuhan)mu, maka kamu akan menemui-Nya (menemui Allah).”

Namun, banyak tanjakkan-tanjakkan berbahaya menuju Tuhanmu, sehingga kamu perlu dibimbing oleh seorang mursyid yang kamil.

Selanjutnya banyak salik yang kerap membanding-bandingkan amalan. Jangan lakukan itu antara mursyidmu dengan orang lain. Jangan jadi orang yang latah karena seorang mursyid memberi amalan dari hatinya yang terdapat energi di dalamnya. Adapun energi tidak tergantung pada bentuk fisik dan tampilan mursyidmu.

Maka berlakulah adab yang baik dengan mursyid kita masing-masing. Jangan asal minta amalan dari orang lain. Hal ini yang perlu kita pegang betul sebagai murid, salik. Ada adab pada thariqah, yaitu murid dilarang membanding-bandingkan posisi mursyidnya dengan orang lain.

Adapun jika kamu mendapatkan amalan dari seorang alim, kiai dan lain-lain, alangkah indahnya jika kamu menyampaikan hal itu dengan mursyidmu. Jika mursyidmu katakan ‘amalkan’, maka amalkanlah. Tapi jika ada koreksi, maka ikutilah pendapat mursyidmu supaya sambung energinya. Sebab beliau sudah men-charge energi kemursyidan yang ia dapatkan dari gurunya hingga sampai pada Rasulullah saw.

Oleh Sayyid Abdurrahim Assegaf (Puang Makka) – Rais Awwal Idarah Aliyah JATMAN dan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf Makassari

Continue Reading

Tanya Jawab

Apakah Ismu Ruh yang Pernah Disampaikan oleh Salah Satu Ulama Thariqah Benar Adanya?

Published

on

Pertanyaan:

Apakah Ismu Ruh yang pernah disampaikan oleh salah satu ulama thariqah benar adanya?

Jawaban:

Puang Makka menjawab bahwasanya 50 tahun yang lalu, beliau pernah bertanya kepada mursyidnya. Syekh Sayyid Jamaluddin (Puang Rama) dengan pertanyaan yang sama.

Kemudian sang mursyid menjawab bahwa soal Ismu Ruh itu ada, tapi tidak ada yang paten mengetahuinya, sebab itu hal ghaib. Sehingga, jangan dipatenkan. Kita tidak memiliki kekuatan untuk mematenkan bahwa ini salah atau benar. Berbeda halnya jika menyebut nama yang bisa disaksikan, seperti kulit, tulang, daging dan lain-lain.

Maka wilayah ruh tergantung bagaimana yang ia dapatkan dari Allah Swt. Jika memang ia mendapat satu nama, maka ‘bismillah’ saja bahwa hal tersebut benar adanya, namun tidak perlu complain orang lain. Sayyidina Khidir saja memiliki banyak nama dari Allah.

Jadi katakanlah, “mungkin saya belum baca kitabnya”. Jangan menyalahkan orang lain. Karena ini wilayah yang sangat halus. Supaya tidak mendatangkan kesombongan pada dirimu, maka hati-hati untuk menjaga hatimu.

Oleh Sayyid Abdurrahim Assegaf (Puang Makka) – Rais Awwal Idarah Aliyah JATMAN dan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf Makassari

Continue Reading

Tanya Jawab

Perbedaan Hizib dan Ratib Menurut Habib Luthfi bin Yahya

Published

on

By

Jakarta, JATMAN Online – Maulana Habib Luthfi bin Yahya mendapatkan pertanyaan dari salah seorang muhibbinnya tentang Ratib dan Hizib. Pertanyaaanya sebagai berikut: “Habib Luthfi yang saya hormati. Saya ingin bertanya seputar hizib. Apa sebenarnya hizib itu? Mengapa ada yang disebut hizib keras dan ada yang lembut? Apa bedanya dengan Ratib? Apa fadhilah mengamalkan hizib? Mengapa untuk mengamalkannya diperlukan ijazah?”

Jawaban Habib Luthfi, dikutip dari akun facebook Ala NU, Minggu (04/06), Pil obat atau kapsul tentu tidak mempunyai dosis yang sama. Demikian juga dosis obat antibiotik dan vitamin. Jika yang satu bisa diminum sehari tiga kali, yang lain mungkin hanya boleh diminum satu kali dalam sehari. Bahkan vitamin, yang jelas-jelas berguna, pun jika diminum melebihi dosis yang ditentukan dokter; efeknya akan berakibat buruk bagi tubuh. Badan bisa meriang atau bahkan keracunan. Begitu pula halnya dengan hizib dan ratib.

Hizib dan ratib, dilihat dari susunannya, sebenarnya sama. Yakni, sama-sama kumpulan ayat, dzikir dan do’a yang dipilih dan disusun oleh ulama salafush shalih yang termasyhur sebagai waliyullah (Kekasih Allah).

Yang membedakan suatu ratib dengan ratib lain, atau hizib dan hizib lain, adalah asrar yang terkandung dalam setiap rangkaian ayat, doa atau kutipan hadits, yang disesuaikan dengan waqi’iyyah (latar belakang penyusunan)-nya.

Namun, meski muncul pada waqi’ yang sama dan oleh penyusun yang sama, ratib sejak awal dirancang oleh para auliya untuk konsumsi umum, meski tetap mustajab. Semua orang bisa mengamalkan untuk memperkuat benteng dirinya, bahkan tanpa perlu ijazah. Meski tentu jika dengan ijazah lebih afdhal.

Sementara hizib, sejak awal dirancang untuk kalangan tertentu yang oleh sang wali (penyusunnya tersebut) dianggap memiliki kemampuan lebih, karena itu mengandung dosis yang sangat tinggi. Hizib juga biasanya mengandung banyak sirr (rahasia) yang tidak mudah dipahami oleh orang awam, seperti kutipan ayat yang isinya terkadang seperti tidak terkait dengan rangkaian do’a sebelumnya, padahal yang terkait adalah asbabun nuzul-nya (sebab turunnya).

Hizib juga biasanya mengandung lebih banyak Ismul A’dzham (nama Allah yang agung), yang tidak ada dalam ratib. Dan yang pasti, hizib tidak disusun berdasarkan keinginan sang ulama, karena hizib rata – rata merupakan ilham dari Allah SWT ; Ada juga yang mendapatkannya langsung dari Rasulullah SAW seperti Hizbul Bahr, yang disusun oleh Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili Rokhimahulloh. Karena itulah, hizib mempunyai fadhilah dan khasiat yang luar biasa.

Selain itu, ada juga syarat usia yang cukup bagi pengamal hizib. Sebab orang yang sudah mengamalkan hizib biasanya tidak lepas dari ujian. Ada yang hatinya mudah panas, sehingga cepat marah. Ada yang, karena Allah SWT, menampakkan salah satu hizibnya dalam bentuk kehebatan, lalu si pengamalnya kehilangan kontrol terhadap hatinya dan menjadi sombong. Ada juga yang berpengaruh ke rezeki, yang selalu terasa panas sehingga sering menguap tanpa bekas, dan sebagainya.

Karena itu pula, diperlukan ijazah dari seorang ulama yang benar-benar mumpuni, dalam arti mempunyai sanad ijazah hizib tersebut yang bersambung dan mengerti dosis hizib. Selain itu juga diperlukan guru yang shalih yang mengerti ilmu hati untuk mendampingi dan ikut membantu si pengamal dalam menata hati dan menghindari efek negatif hizib.

Continue Reading

Facebook

Arsip

Trending