Connect with us

Kliwonan

Ngaji Kliwonan: Makna Tauhid dalam Surat Al Fatihah

Published

on

Maulana Habib Luthfi bin Yahya berkata:

Dalam kitab Jami’il Ushul fil Auliya’ pada bab Tauhid, dijelaskan bahwa keutamaan Surat Al Fatihah salah satunya ada pada kalimat Mukhathab Wahdaniyah yang maknanya tidak bisa di ganggu gugat. Kalimat tersebut memiliki penafsiran bahwa sesungguhnya Allah Swt. tidak ada sesuatupun yang menyekutukannya. Adapun yang dimaksud Mukhathab Wahdaniyah terdapat dalam kata “اِيَّاكَ” yang secara tegas menyatakan hanya mutlak milik Allah Swt.

Maka apabila seseorang menghendaki shalatnya khusyu’, ketika azan sudah berkumandang, ucapkanlah ‘Alhamdulillah’ karena usia kita sampai pada waktu shalat tersebut. Suatu kehormatan bagi seorang hamba untuk bisa menghadap Allah Swt. Hudhurnya adalah wudhu dengan bahagia. Selanjutnya ketika shalat sudah dimulai dengan membaca takbiratul ihram, usahakan untuk kembali hudhur, artinya mendatangi Allah Swt. Anggap bahwa shalat adalah kebanggaan seorang hamba kepada Allah Swt.

Kemudian khusyu’ yang kedua diambil dari ucapan,” اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ” yang memiliki arti “hanya kepadamulah” maksudnya bahwa Allah Swt. sama sekali tidak bisa diduakan. Kalimat tersebut memiliki makna, “aku menyembah, aku meminta yang secara langsung ditujukan kepada pencipta, yaitu Allah Swt.” Di dalam kalimat tersebut juga menggunakan lafdzul jama’ dalam kata نَعْبُدُ dan نَسْتَعِيْنُ yang artinya bukan untuk kita sendiri tetapi semua makhluk, yang seolah-olah memiliki arti dari sekian banyak hal, yang wajib disembah hanyalah Allah Swt. Maka itu, dalam permulaan Surat Al fatihah terdapat lafadz “اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ” yang merupakan keterangan dari kata “اِيَّاكَ”

Adapun selain pertolongan dari Allah Swt. yang diminta dalam kata “وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ”, sesungguhnya yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari hanya ikhtiar belaka. Tapi jika ikhtiar tidak bisa diposisikan dengan benar, maka justru akan mendatangkan kesyirikan, sebagai contoh:

“Jika saya sakit, saya harus minum obat agar saya sembuh”

Maka ikhtiarlah semata-mata untuk menambah taat kepada Allah Swt. Selain mendapat  pahala ikhtiar, maka akan pula mendapat pahala ketaatan.

Wallahu a’lam.

Kliwonan

Kliwonan: Raja’ dalam Beberapa Klasifikasi

Published

on

Diterangkan dalam kitab Jami’ul ushul, Raja’ atau harapan dalam pandangan ahli tasawuf terbagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu:

1. Raja’nya orang ‘awam, yaitu bahwa dia mengharapkan ampunan-Nya dan takut siksaan-Nya

Makna Raja’ secara bahasa sendiri adalah mengharap. Yang dimaksud Raja’nya orang awam adalah menghilangkan setiap harapan selain dari Allah Swt. Sebagaimana lafaz zikir Laa Ilaaha Illallah, kalimat tersebut tidak hanya bermakna tiada Dzat yang wajib kami sembah kecuali Allah, tapi juga mengandung makna tiada Dzat yang wajib kami harapkan kecuali Allah, tiada Dzat yang wajib kami mintai ridlanya kecuali Allah, tiada Dzat yang wajib kami mintai keselamatan di akhirat kecuali Allah dan banyak lagi.

      Dalam kalimat-kalimat tersebut, selalu berputar kalimat Raja’ kepada Allah Swt. untuk menepis segala pengaruh dan pengharapan di hati selain-Nya. Ikhtiar dan menjalankan syariat memang harus dilakukan, tetapi dasar pondasi yang pertama adalah Raja’ kepada Allah Swt. Jika hal itu benar-benar diterapkan, maka tidak akan melekat kesyirikan di hati.

      2. Raja’nya orang khas, yaitu dia mengharapkan karunia-Nya dan takut akan keadilan-Nya

      Pada katagori yang kedua ini, yang dimaksud adalah Raja’nya orang makrifat yang tingkat tauhidnya sudah matang. Di mana dalam setiap perjalanannya tidak pernah terlepas dari Allah Swt. Tidak ada dalam hati mereka takut istri, anak, kekayaannya hilang, tapi yang paling ditakutkan adalah ketika ia lupa dan jauh dari Allah Swt. Hatinya takut kehilangan Allah Swt. Orang yang selalu ingat dan terpaut hatinya kepada Allah Swt., maka akan mendapat penjagaan dari-Nya.

      3. Raja’nya orang akhash, yaitu dia mengaharapkan karunia-Nya dan takut meninggalkan-Nya

      Orang yang masuk dalam katagori akhash itu sama sekali tidak menggantungkan pahala ibadahnya atau amaliyahnya. Karena menurutnya jika karena pahala yang mengantarkannya masuk ke dalam surga, ini akan bahaya dan apa yang ia usahakan justru akan rusak. Karena sesungguhnya yang menyebabkannya masuk ke surga adalah Rahmat Allah melalui amal shalih.

      Jika hanya berharap pada pahala, rasa tidak mungkin orang di seluruh dunia ini akan masuk surga. Seperti contoh, kita diberi umur 60 tahun. Kemudian dipotong masa aqil baligh pada usia 15 tahun. Berarti kita hidup 45 tahun. Lalu sekarang dikalkulasikan dengan berapa banyak pahala yang dihasilkan dari shalat kita yang rata-rata hanya sampai lima menit. Mungkin umur kita sampai pada usia 60 tahun, tapi dari sepanjang usia itu, jika digabungkan shalat kita mungkin hanya sampai beberapa hari saja. Lalu apakah waktu sesingkat itu layak menjadikan kita masuk ke dalam surga? Tapi siapa pula yang akan kuat masuk neraka?

      Sebab itu, untuk mencapai rahmat Allah Swt adalah dengan mengamalkan perintah-Nya. Sedangkan apabila kita masuk ke dalam surga, itu karena birahmatihi jallaahu wa alaahu (melalui rahmat-Nya Yang Maha Agung dan Yang Maha Tinggi) dan syafaat Nabi Muhammad Saw.

      Dari semua penjelasan di atas, apabila seseorang sudah mengenal Raja’, maka ia selalu mengharapkan Allah Swt. Sedangkan hal yang paling ditakuti adalah jika keluar dari dunia ini membawa su’ul khatimah (akhir yang buruk). Para wali Allah selalu mengharap kepada-Nya supaya menjadi akhir yang baik dari pungkasannya, ialah bisa mendapatkan keutamaan dari Allah Swt. yaitu husnul khatimah (akhir yang baik).

      Continue Reading

      Kliwonan

      Hakikat Keselarasan Ikhtiar dan Tawakkal

      Published

      on

      Tawakkal atau pasrah, dalam kitab Jami’ul Ushul al-Auliya’ terbagi menjadi tiga, yaitu tawakkalnya orang awam, tawakkalnya orang khawash dan tawakkalnya orang yang khawashil khawash. Tentu ketiganya memiliki perbedaan.

      Pertama, tingkatan tawakkalnya orang awam itu mengharapkan pertolongan Allah Swt. Berbeda dengan tawakkalnya orang khawash yang senantiasa pasrah kepada Allah Swt. bukan hanya ketika ada keperluan saja. Karena pada hakikatnya penggunaan kalimat tawakkal jika kita tidak paham tauhid serta keyakinan kita sendiri tidak tertata, maka khawatir mendekati kesyirikan.

      Contohnya jika kita mengatakan kalimat, “kalau tidak ikhtiar ya mati” atau “kalau tidak ikhtiar ya tidak makan.”

      Lalu apakah yang memberi makan dan memberi kesembuhan itu karena ikhtiar kita?

      Sejatinya, ikhtiar adalah mentaati perintahnya Allah. Demikian pula, ikhtiar bukanlah Tuhan. Ikhtiar hanyalah untuk menunjukkan kelemahan kita. Bahwa apa yang kita miliki dan yang tidak kita miliki adalah milik Allah Swt.

      Justru dengan adanya ikhtiar, seseorang akan mengatakan bahwa dirinya lemah. Ia juga tidak akan merasa man ana (siapa saya) atau memiliki sikap ananiyah (egois). Dengan adanya ikhtiar juga kita merasa tidak punya apa-apa dan hanya bisa kembali kepada Allah. Bukan sebaliknya, untuk mengi’tiqadkan jika tidak ikhtiar maka akan mati. Ini sesuatu yang tidak pas.

      Selain itu, ikhtiar juga diharapkan dapat menambah ketaatan kita kepada Allah Swt. untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan apa yang ada pada diri. Kita pasrahkan semua yang kita usahakan hanya kepada Allah Swt. Kalau kita sudah pasrah, apa kita bisa sombong?

      Contohnya jika ada orang sakit, kemudian ia berobat ke berbagai tempat namun tak kunjung sembuh, ia akan mengatakan, “kapan saya akan sehat?” Kemudian ia minum berbagai macam obat yang kenyataannya belum tentu bisa menyembuhkan.

      Pentingnya memahami tawakkal adalah ketika ikhtiar seperti itu telah dijalankan. Maka jika sudah demikian, kita hanya bisa kembali kepada Allah. Jika sudah pasrah secara penuh seperti itu, kita akan merasa tawadhu’, merasa lemah.

      Demikianlah, fungsi ikhtiar adalah menambah ketaatan kita kepada Allah. Segala sesuatu yang dilakukan dengan ikhtiar akan muncul keinginan untuk dibimbing oleh Allah Swt. dalam setiap gerak-geriknya dan selebihnya dikembalikan lagi kepada Allah Swt serta tidak akan terlepas untuk meminta taufiq kepada-Nya.

      Continue Reading

      Kliwonan

      Menjalani Proses Menjadi Orang Yang Bertaqwa

      Published

      on

      Habib Luthfi bin Yahya menyampaikan bahwa ayat ke 2 Surat al Baqarah yang berbunyi,

      ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

      Menjelaskan kedudukan ‘Hudan lil muttaqin’ yang artinya ‘petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa’ ini terbagi menjadi 3 bagian. Tingkatan orang awam berbeda dengan tingkatan orang-orang yang khawash dan tingkatan orang-orang yang khawash tidak sama dengan tingkatan khawas al khawash. Ketiganya itu bukan hal yang terpisah, melainkan tetap bersambung dan saling berkaitan.

      Taqwanya orang awam lebih berorientasi pada pahala yang bisa didapatkan sebanyak mungkin dengan mengerjakan amaliyah-amaliyah yang baik. Adapun taqwanya Orang-orang yang khawash, ia akan meninggalkan ganjaran tetapi selalu menjalankan ibadah agar bertambah makrifat dan dekatnya kepada Allah Swt. Sedangkan bagi orang-orang yang khawash al khawash, seluruh hidupnya hanya ntuk berkhidmah kepada Allah Swt. dan tingkat mahabbah-nya kepada Allah melebihi makhluknya. Mahabbah yang dimiliki oleh orang tersebut kemudian menghasilkan tingginya Ridla.

      Ridla adalah kesadaran bahwa apa yang diberikan Allah kepada kita adalah yang terbaik. Ketika Allah menciptakan bumi dan kita ridla dengan hal tersebut, maka kita tidak akan bermaksiat karena sadar bahwa yang diinjak adalah milik Allah Swt. dan kita hanya meminjam.

      Ksadaran untuk mencapai ridla ini selanjutnya kembali pada individu masing-masing. Ridla berarti juga harus siap dengan segala keputusan Allah. Seberat apapun ujiannya, jika tertutup dengan ridla dan mahabbah, maka hasilnya adalah taqwa dan perasangka yang baik pada Allah Swt.

      Tingkatan taqwa ini kemudian berpengaruh pada doa-doa yang kita baca. Contohnya, ketika kita membaca Surat Yasin selama 40 hari berturut-turut untuk mendapatkan faedah tertentu. Ternyata, setelah 40 hari kita belum mendapatkan apa-apa. Maka yang kurang tajam itu pembacanya, bukan doanya apalagi Allah. Namun jika kita memulai doa dengan andap ashor, rendah diri di hadapan Allah Swt. dengan penuh husnuzon, maka apapun yang dikehendaki Allah justru akan membuat kita semakin dekat dan semakin rindu.

      Imam Syadzili setiap malam ketika tahajud selalu berdoa, “Ya Rabb, kapan aku bisa bertemu.” Bukan untuk mati, tapi kapan bisa melihat Allah, Nadzhar ila Wajhil Karim, karena sudah rindu. Itulah orang-orang yang sudah maqamatil khawash al khawash.

      Untuk mencapai derajat tersebut dan mendapat pembekalan yang baik, yang perlu dilakukan adalah membersihkan hati terlebih dahulu supaya tidak mempunyai ghaflah, yaitu lalai kepada Allah Swt. Kalau kita sudah tidak mempunyai ghaflah, merasa didengar, dilihat oleh Allah Swt. Maka secara otomatis akan dapat mengurangi maksiat. Meskipun tidak secara total tapi setapak demi setapak kita akan sadar, bahwa perbuatan tersebut dapat menyebabkan jauh dari Allah Swt.

      Semakin kita merasa didengar, semakin dilihat oleh Allah ta’ala, maka shifatul haya’ akan muncul, malu rasanya kepada Allah Swt. Kalau sudah tambah malu kepada Allah, khauf (takut) nya muncul lebih tebal, taqwanya semakin kental, ingin selalu mendekat dan rindu kepada Allah Swt. Dan di sinilah kepentingan thariqah-thariqah manapun terutama bagaimana membersihkan hati agar dapat bercahaya karena bersih dari sifat-sifat tercela.

      Continue Reading

      Facebook

      Arsip

      Trending