Connect with us

Hikmah

Keutamaan Zikir Berjamaah

Published

on

Zikir merupakan perintah Allah Swt. yang sudah termaktub dalam al-Quran. Zikir dikerjakan bukan semata-mata karena sedang menghadapi masalah tertentu atau mengharapkan sesuatu. Karena memang sewajarnya seorang hamba selalu berzikir kepada Tuhannya.

Sebagaimana shalat yang lebih utama dengan berjamaah, zikir pun demikian. Maka salah besar jika ada anggapan bahwa zikir berjamaah adalah sesuatu yang bid’ah.

Menurut Sayid Seif Alwi dalam sebuah pengajian di Markaz Rumi, dalil mengenai zikir berjamaah telah Allah Swt. turunkan melalui surat Al Kahfi ayat 8 yang berbunyi: 

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.”

Menurutnya, dalam beberapa kitab tafsir, asbabun nuzul ayat di atas dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abdurrahman Ra.  Bahwa setelah turun ayat tersebut, Nabi Muhammad saw. keluar dari rumahnya kemudian masuk ke dalam masjidnya yang hanya terhalang dinding dan tirai. Kemudian Nabi Muhammad saw. menemui sekelompok sahabat yang senantiasa berzikir di dalam masjid. Sedangkan pada saat itu sedang ada majelis zikir yang dipimpin oleh Salman al Farisi. Kemudian Nabi Muhammad saw. duduk di antara mereka dan para sahabat terdiam. Nabi bertanya, “Apa yang sedang kalian lakukan?” Sahabat menjawab, “Kami berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dan berzikir kepadanya.” Kemudian Nabi menjawab, “Sesungguhnya aku tidak mencurigai kalian melakukan sesuatu hal. Tetapi para malaikat Allah Swt. saat ini sedang berkumpul bersama kalian dan mereka membentangkan sayap-sayap mereka sehingga memenuhi langit pertama.”

Bahkan hadis tersebut diriwayatkan pula dalam Kitab Mu’jamul Kabir Imam At-Thabrani dan beberapa kitab lain dengan derajat hasan dan shahih.

Selain itu, zikir berjamaah dijelaskan juga dalam Kitab Al Mustadrak Imam al Hakim, Al Sunan al Kubra Imam Baihaqi serta Sunan an Nasai, diriwayatkan bahwa

أن رجلاً جاء يريد ابن ثابت رضي الله عنه فسأله عن مسألة فقال له: عليك بأبي هريرة، قال له الرجل: ولم؟ قال: إني كنت أنا وأبو هريرة وصاحب لنا جلوساً في المسجد نذكر الله و ندعوا، إذ طلع علينا رسول الله ﷺ، فقال: ماذا كنتم تفعلون؟ قلنا: يا رسول الله كنا نذكر الله وندعوا، فقال: ادعوا وأنا أؤمن معكم، قال زيد: فدعوت فأمن الرسول ﷺ وأمن صاحباي، ثم دعا صاحبي، ثم لما أراد أبو هريرة أن يدعوا، قال: اللهم إني أسألك ما سألك صاحباي فالنبي ﷺ يؤمن على الدعوة ولا نعرف ما مقدار مدة هذا الدعاء، ممكن كان يدعي خمسة أو عشر دقائق، فالنبي يؤمن وتأمينه مستجاب، وصاحبه دعا نفس الوقت، فأبو هريرة إختصر وقال: “اللهم إني أسألك ما سألك صاحبي وأسألك علماً لا ينسى فقال النبي ﷺ: آمين، فقال زيد يا رسول الله ونحن نسأل الله علما ًلا ينسى – فهم لم يقولوها ويريدون أن يضموها إلى الدعاء – فقال النبي ﷺ سبقكم بها هذا الغلام الدوسي

“Bahwa ada seorang laki-laki yang mendatangi Zaid bin Tsabit Ra. dan menanyakan masalahnya.Kemudian Zaid berkata kepadanya, ‘Engkau harus menemumi Abu Hurairah’. Laki-laki itu menjawab, ‘Mengapa?’ Kemudian Zaid berkata, ‘Aku bersama Abu Hurairah dan seorang sahabat kami sedang duduk di masjid dengan berzikir dan berdoa. Tiba-tiba Rasulullah saw. hadir di tengah-tengah kami. Kemudian ia besabda: Apa yang kalian lakukan? Kami menjawab: Wahai Rasulullah, kami sedang berzikir dan berdoa kepada Allah. Kemudian Rasulullah bersabda: Berdoalah kalian dan aku akan mengaminkan bersama kalian. Kemudian Zaid berkata, ‘Maka aku berdoa dan Rasulullah saw. mengaminkan, begitu pula sahabatku dan ia juga berdoa. Kemudian ketika Abu Hurairah berdoa, ia berkata: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu apa yang dimohonkan sahabatku. Maka Nabi saw. juga mengamini doa tersebut sampai kami tidak mengetahui berapa lama doa tersebut dipanjatkan. Mungkin sekitar lima hingga sepuluh menit. Kemudian Nabi mengamininya lagi agar doa tersebut dikabulkan. Lalu sahabatnya juga berdoa di waktu yang sama. Kemudian Abu Hurairah meringkas dengan berkata: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu apa yang dimohonkan sahabatku dan aku memohon kepada-Mu ilmu yang tidak bisa lupa. Kemudian Nabi saw. bersabda: Amin.’ Lalu Zaid berkata, ‘Ya Rasulallah, kami memohon kepada Allah ilmu yang tidak bisa lupa’. Kemudian mereka tidak mengatakan itu dan ingin mengumpulkannya dalam doa tersebut. Kemudian Nabi saw. bersabda: Permintaan itu sudah didahului sahabat dari Suku Dausi (yaitu Abu Hurairah Ra.)

Sesungguhnya hadis di atas sudah cukup menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. dan sahabatnya terbiasa melakukan zikir berjamaah, bahkan sama sekali tidak ada larangan yang ditunjukkan. Zikir berjamaah tersebut juga dianjurkan untuk mengeraskan suara sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,

أتاني جبريلُ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ فأمرني أن آمرَ أصحابي ومن معي أن يرفعوا أصواتَهم بالإِهلالِ أو قالَ بالتَّلبيةِ يريدُ أحدَهم

“Jibril telah mendatangiku, ia memerintahkan kepadaku agar aku memerintahkan sahabat-sahabatku beserta orang-orang yang sedang bersamaku untuk mengeraskan suara mereka dalam melafadzkan ‘Laa ilaaha ilallah’ atau ketika bertalbiyah sesuai dengan keinginan mereka.”

Namun, ketika berzikir, Sayid Seif Alwi menganjurkan agar jangan berlebih-lebihan dalam mengeraskan suara. Yang paling penting ritme suara teratur dan konstan, sehingga lebih indah jika didengar. Karena diceritakan olehnya, pernah suatu ketika dalam perkumpulan zikir khatam khwajagan bersama Maulana Syekh Hisyam al Kabbani, ada beberapa orang yang berzikir dengan berteriak tidak karuan seolah-olah bacaannya seperti orang sedang balapan. Kemudian Maulana Syekh menghentikan zikir tersebut dan melarang berzikir dengan cara seperti itu. Hal ini menunjukkan bahwa jangan hanya menjadi ahlu zikri, tetapi juga ahlu ilmi. Sehingga apa yang kita lakukan tidak keluar jalur.

Sejatinya zikir berjamaah itu bukan hanya membawa keberkahan bagi pelaku zikir, melainkan juga kepada orang-orang yang berada di sekelilingnya, seperti yang dijelaskan dalam Kitab Al Anwar al qudsiyah, bahwa dengan adanya majelis zikir, tak kurang dari 20.000 perkumpuan di sekitarnya terlindungi berkat majelis zikir. Apalagi majelis tersebut memiliki sanad ilmu yang bersambung pada Rasulullah saw.

Hikmah

Bulan Maulid 1445 H, Habib Umar bin Hafidz Ijazahkan Shalawat Khusus Ibrahimiyah

Published

on

Habib Umar bin Hafidz dikenal sebagai seorang ulama keturunan Ba Alawi yang nasabnya sampai kepada Rasulullah Saw.

Habib Umar bin Hafidz mengajar tentang tasawuf dan kehidupan spiritual. Ia menghabiskan masa mudanya untuk memperdalam ilmu agama di bawah bimbingan ayahnya dan para ulama terkemuka di Kota Tarim.

Pada bulan Rabiul Awal 1445 H Habib Umar mengijazahkan Shalawat khusus Ibrahimiyah dibaca minimal 3000 kali. Bagi mereka yang banyak membaca akan mendapatkan banyak keutamaan dari Allah Ta’ala.

Adapun teks bacaan Shalawat Khusus Ibrahimiyah 1445 H sebagai berikut :

اللهُمَّ يا خَيرَ الناصرين، نسألكَ بِكَ أن تُصلِّيَ وتُسَلِّمَ على عَبدِكَ وحَبِيبِكَ سيِّدِنا محمدٍ وعلى آلهِ وصحبهِ، صلاةً تنصُرُنا بها بِما نَصرْتَ بهِ المُرسلِين، وتحفظُنا بها بِما حَفِظْتَ بهِ الذِّكرَ، يا قويُّ يا مَتِين.

“Ya Allah, Dzat sebaik-baiknya penolong, kami meminta kepada-Mu semoga shalawat dan dalam tercurahkan kepada hamba-Mu, kekasih-Mu junjungan Nabi Muhammad serta keluarga dan sahabatnya. Shalawat untuk memenangkan kami sebagaimana Engkau telah memenangkan semua urusan-Mu dan dengan itu Engkau akan melindungi kami dengan apa yang telah Engkau pelihara Ingatannya, Wahai Yang Maha Perkasa, Wahai Yang Maha Kokoh.”

Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dilahirkan di Tarim pada Senin, 4 Muharram 1383 H atau 27 Mei 1963 M. Habib Umar resmi mendirikan Darul Musthafa pada Selasa 29 Dzulhijjah 1417 H/6 Mei 1997 M.

Sejak belia, beliau telah mempelajari sejumlah ilmu agama seperti Al-Hadist, Fiqih, Tauhid dan Ushul Fiqih dari lingkungan keluarganya sendiri, terutama dari ayahnya, Muhammad bin Salim yang merupakan seorang Mufti di Tarim.

Keluarganya bermazhab fikih Imam Syafi’i. Mereka termasuk kalangan Ahlussunnah waljama’ah dengan kecenderungan pada Thariqah Bani Alawi (Alawiyah).

Selain dari Ayahnya, pada masa itu ia juga belajar dari tokoh-tokoh lainnya seperti Al-Habib Muhammad bin Alawi bin Shihab al-Din, Al-Habib Ahmad bin Ali Ibn al-Shaykh Abu Bakr, Al-Habib Abdullah bin Shaykh Al-Aidarus, Al-Habib Abdullah bin Hasan Bil-Faqih, Al-Habib Umar bin Alawi al-Kaf, al-Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad, dan ulama lain di Tarim.

Penulis: Abdul Mun’im Hasan
Editor: Khoirum Millatin

Continue Reading

Hikmah

Habib Puang Makka: Pahami Islam Secara Kaffah

Published

on

Dalam al-Quran dijelaskan, masuk Islamlah kamu secara kaffah. Lalu, apa itu kaffah? Ada tiga unsur fundamen dinul haqq, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Kita perlu mengetahui Islam dengan baik dan benar melalui pendekatan Ilmu Fiqh. Kita perlu mengetahui iman dengan baik dan benar melalui pendekatan Ilmu Kalam dan kita perlu mengetahui ihsan dengan baik dan benar melalui pendekatan Ilmu Tasawuf. Inilah tiga kekuatan yang harus didoktrinkan kepada kita yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang kita nikmati manisnya sekarang.

Halawatul (manisnya) Islam, Halawatul (manisnya) Iman, Halawatul (manisnya) Ihsan itu dapat dirasakannya Islam dengan baik, dapat dinikmatinya Iman dan Ihsan itu dengan baik oleh jiwa kita, dan itulah wilayah thariqah.

Jadi wilayah thariqah itu adalah wilayah rasa. Berbicara rasa kedudukannya qalbu (hati). Kalau wilayah fiqih kedudukannya di akal. Thariqah kedudukannya di hati, dirasakan, bukan dipikirkan. Tetapi dua kekuatan ini, yaitu kekuatan pikiran di satu sisi dan kekuatan qalbu di sisi yang lain, itulah yang dinamakan dengan ibadah.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad saw. bersabda,

ان تعبد الله كانك تراه فان لم تراه فانه يراك

“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah Engkau melihatNya (Allah). Jika pun belum bisa melihatNya, maka yakinlah bahwa Ia (Allah) melihatmu”

Hadis di atas adalah dalil ihsan. Adapun lafaz An Ta’budallah itu bermakna umum. Semua penyembahan kepada Allah, termasuk shalat, puasa, haji, zakat, syahadatain sewaktu tahiyat, dan apapun yang merupakan ibadah mahdhah, kita pasti berhadap-hadapan pada suasana tersebut.

Kekhusyukan hati itu bukan hanya waktu shalat. Sewaktu mengeluarkan zakat, maka khusyukkan hatimu. Sewaktu menunaikan puasa, maka khusyukkan hatimu. Sebab itu adalah satu rangkaian penyembahan. Karena selama ini kita sering salah paham jika yang perlu khusuk itu hanya shalat.

Begitu juga sewaktu melakukan haji, maka khusyukkan hajimu. Bahkan dalam Kitab Haqiqatul Hajj, Syekh Yusuf Maqassari menjelaskan ‘Al-Hajju Arafah’, bukan Al-Hajju fil Arafah. Yang dimaksud Arafah bukan hanya sekedar tempat. Pada hakikatnya haji adalah pertemuan seorang hamba dengan Tuhannya. Untuk bisa bertemu, ia harus wukuf, berhenti dari urusan duniawi. Maka ia baru bisa mengenal Tuhannya dengan baik dan benar. Jadi kekhusyukan sangat dibutuhkan.

Adapun thariqah dan kekhusyukan adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena kedudukannya di hati dan perlu diolah dengan baik. Jika ada ahli thariqah yang masih memiliki sifat dengki, hasad, ujub, sombong, sudah pasti itu hanya casingnya saja yang thariqah. Maka dari itu Rasulullah saw. amat menitikberatkan pada innamal a’malu binniat, karena urusan niat adalah urusan hati. Inilah yang perlu diasah oleh para salik, murid, badal, khalifah dan mursyid.

Selain kuat di dalam urusan ikhtiar (urusan otak), orang thariqah juga harus mengasah hati. Sebab itu kita perlu memaksimalkan pikiran kita dengan ikhtiar dan mengoptimalkan hati kita dengan zikir, bermunajah, berdoa kepada Allah Swt. Sehingga ketika kita terbentur pada urusan logika, maka secara otomatis kekuatan logikanya akan pindah ke dalam kekuatan hati. Itulah orang thariqah.

Untuk itu, jangan sampai ilmu hanya keluar dari lisan dan otak saja. Karena yang paling penting adalah bagaimana ilmu keluar dari hati. Jika hanya lisan yang menyampaikan, maka orang lain hanya menerima dengan otaknya saja. Tetapi jika ilmu keluar dari hati dan pikiran, maka orang lain juga akan menerima dengan hatinya, itulah keberkahan.

Banyak ilmu kalau tidak ada berkah kita akan menjadi sombong, banyak harta kalau tidak ada berkah kita akan menjadi angkuh, memiliki tinggi jabatan kalau tidak ada berkah kita akan menjadi zalim pada jabatan kita. Yang kita buru adalah keberkahan dari Allah Swt. yang dudukannya di otak dan hati kita.

Disarikan dari penjelasan Sayyid Abdurrahim Assegaf (Habib Puang Makka)

Continue Reading

Hikmah

Syekh Usama Kisahkan Imam Layts bin Sa’ad: Ulama Sufi Kaya yang Tak Wajib Zakat

Published

on

Syekh Usama Sayyid al-Azhari mengisahakan bagaimana dermawannya Imam Layts bin Sa’ad yang hidup sezaman dengan Imam Malik.

Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i bahwasanya Imam Layts bin Sa’ad adalah ulama yang amat faqih dan kepakarannya melebihi Imam Malik. Ia adalah pimpinan ahli fikih, hadis dan banyak disiplin ilmu pada masanya yang banyak menjadi rujukan bagi umat Islam pada saat itu.

Di samping karunia ilmu yang begitu luar biasa, ia juga ulama yang sangat kaya raya. Imam Layts bin Sa’ad memiliki tanah dan sawah yang berlimpah. Sampai-sampai para ulama memperkirakan keuntungan pertahun dari hasil pertaniannya itu sekitar 80.000 dinar emas. Di mana setiap satu dinar setara dengan 4,5 gr emas. Jika dikonversikan ke masa sekarang, bisa jadi hartanya lebih dari 100 juta dollar AS.

Yang menarik, dari harta yang demikian banyak, Imam Layts tidak pernah memiliki kewajiban zakat. Sebab sebelum datang haul, hartanya sudah dikeluarkan semuanya. Karena begitu luar biasa dermawan, sehingga untuk bersedekah ia tidak pernah menunggu haul. Dan itulah yang ia lakukan sampai bertemu dengan Sang Pemilik Kehidupan.

Di samping itu, Imam Layts bin Sa’ad memiliki tiga majelis. Majelis pertama dikhususkan untuk para ulama, ahli fikih, hadis dan tafsir. Majelis kedua dikhususkan untuk para umara. Di mana para umara tersebut tidak akan pernah mengeluarkan satu keputusanpun kecuali setelah mendapat arahan darinya. Sedangkan majelis ketiga dikhususkan untuk orang yang memiliki kebutuhan dan hajat. Sehingga, tidak ada seorangpun yang meminta hajat kepadanya kecuali ia penuhi, termasuk biaya untuk pernikahan, haji, pengobatan dan lain-lain. Imam Layts bin Sa’ad melakukan kedermawanan yang begitu besar.

Pernah pada suatu hari datang seorang perempuan yang mengatakan jika suaminya sakit. Menurut dokter, cara menyembuhkan penyakit suaminya itu dengan memberikannya madu. Kemudian perempuan tersebut menemui Imam Layts bin Sa’ad dengan membawa sebuah lepek. Lalu Imam Layts bin Sa’ad menolak permintaan perempuan itu dengan berkata, “Tidak. Saya tidak akan memberikanmu selepek untuk madu. Tapi ambillah satu drigen madu itu, bukan satu lepek.”

Pada kisah yang lain, setiap kali Imam Layts bin Sa’ad melakukan perjalanan, ia selalu membawa tiga perahu. Perahu pertama khusus untuknya dan keluarganya. Kemudian perahu kedua untuk tamu-tamunya. Sedangkan perahu ketika khusus para koki dan bahan-bahan makanan. Sehingga ketika ia sampai di satu lokasi, para koki itu memasak dan membagikan semua hasil masakannya kepada pendudukan lokasi itu.

Suatu hari Imam Layts bin Sa’ad melakukan ibadah haji dengan ditemani oleh Imam Malik bin Anas. Imam Malik kemudian memberikannya satu piring kurma. Kemudian kurma itu ia tuang dan diganti dengan dinar emas setara piring itu untuk diberikan kepada Imam Malik.

Dari kisah ini, Syekh Usama kemudian menyampaikan,

“Saya ingin menyimpulkan apa yang saya katakan. Inilah keadaan orang Islam. Inilah keadaan sebenarnya ahli tasawuf yang memenuhi dunia dengan pembangunan, memerangi kemiskinan, memerangi kelaparan, memenuhi dunia dengan kekayaan. Dan kita harus seperti itu.”

Continue Reading

Facebook

Arsip

Trending