Connect with us

Tanya Jawab

Habib Luthfi Menjawab – Bolehkah Menyembuhkan Penyakit Melalui Perantara Dukun?

Foto: Ilustrasi

Published

on

Foto: DAD Production

Pertanyaan: Akhir-akhir ini, bahkan sudah agak cukup lama, di siaran-siaran televisi marak dengan penayangan acara-acara yang berkaitan dengan makhluk halus dan katanya terkadang ada yang datang. Adapun pertanyaan saya:

Pertama, apakah yang datang ini benar-benar makhluk halus sebangsa jin? Orang yang didatangi membaca ayat-ayat al-Qur’an, tetapi si makhluk halus tetap menggoda, bahkan masuk ke dalam tubuh orang tersebut, membuatnya kesurupan, kenapa demikian?

Kedua, apa bedanya kita membaca wirid-wirid tertentu dengan atau tanpa ijazah dari seorang guru?

Ketiga, banyak praktek penyembuhan dengan bantuan makhluk halus ataupun jin. Apakah hal tersebut diperbolehkan dalam Islam?

Keempat, di televisi, kami lihat ada seseorang diberi bacaan bacaan tertentu oleh orang ‘pintar’/dukun, lalu bacaan-bacaan itu diusapkan ke wajahnya dan tidak lama kemudian ia bisa melihat penjelmaan makhluk halus, apakah ini bisa dibenarkan?

Kelima, bagaimana pandangan Islam tentang hipnotis? Apakah hipnotis dibenarkan ataukah dianggap semacam ilmu penipuan?

Jawaban Habib Luthfi: Sebetulnya saya mohon maaf, karena saya tidak biasa menonton acara TV seperti yang Anda tanyakan. Patut diketahui, ikhtiar untuk menyembuhkan penyakit merupakan kewajiban. Selain itu perlu diketahui pula, bahwa Baginda Nabi Muhammad saw bersabda: ‘Seseorang yang terkena cobaan, penyakit atau lainnya dan ia ridha atas penyakit yang menimpa dirinya, maka Allah swt akan mengampuninya atas dosa-dosanya. Bagaikan jabang bayi yang baru keluar dari rahim ibundanya.’

Ini menunjukkan kedudukan ridha orang yang menerima cobaan dari Allah swt. Pahala karena keridaan menerima cobaan sangat luar biasa, ditambah lagi dengan pahala karena melaksanakan perintah Allah swt agar kita berikhtiar. Artinya kita mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah swt.

Ikhtiar bisa didapati di mana saja, selagi masih dalam batas-batas tuntunan agama. Yang perlu diketahui di sini, ikhtiar itu antara lain berobat. Perlu ditekankan dalam ikhtiar itu kita tidak boleh menyekutukan Allah swt dan hal itu merupakan prinsip. Contohnya, minum obat atau pergi ke dokter. Kedua cara itu adalah ikhtiar, namun yang menyembuhkan hanyalah Allah swt.

Adapun seseorang yang mengundang jin dan sebagainya itu, terkadang kita juga bertanya, siapakah sebenarnya yang dipanggil itu? Apakah mereka adalah khadam, seperti yang diterangkan dalam kitab kitab tertentu ataukah sebaliknya, yang tidak diterangkan dalam ajaran agama? Apabila kita menggunakan jalur obat-obatan yang berasal dari asma (nama-nama) Allah swt, nama-nama Allah swt, maka Allah swt akan memberikan kesembuhan dengan perantara khadam, hamba yang dikasihi-Nya. Sebab, khadam itu bertugas menjaga bacaan atau ayat ayat Allah swt.

Adapun masalah kesurupan, sebetulnya itu sirr (rahasia Ilahiyyah), misteri, layaknya magnet. Seperti halnya aki, yang disetrum dahulu baru mengandung setrum sehingga bisa digunakan. Setrumnya bisa berasal dari mana saja. Yang masuk bukan PLN nya atau perusahaan listriknya tapi setrumnya. Tinggal pemanfaatannya, apakah orang itu bisa rnendorong si pasien agar makin dekat kepada Allah swt ataukah malah menjauhkannya. Hal ini tergantung si pemakainya.

Yang mengetahui rahasia, misteri, termasuk di dalamnya di balik bacaan-bacaan al-Qur’an, adalah ahlil asrar, yaitu para ulama yang diberi keistimewaan oleh Allah swt untuk mengetahui sebagian rahasia-Nya. Mereka ini tidak pernah lapas dari Baginda Rasulullah saw dan diberi kemampuan oleh Allah swt untuk mengetahui kandungan rahasia ayat per ayat, maka inilah perlunya ijazah. Hal ini sama halnya dengan obat-obatan yang tanpa atau dengan resep dokter.

Melakukan wirid tanpa guru, akan timbul letupan-letupan yang tidak seimbang di jiwa orang itu. Akibatnya akan muncul sikap, kontrol atau efek yang kurang baik. Contohnya, menemukan keghaiban keghaiban sendiri. Karena mentalnya belum muncul kesombongan diri dan tidak mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Inilah yang dikhawatirkan apabila mengamalkan wirid-wirid tanpa guru. Sangat berbeda apabila ada guru pembimbing, karena ia tahu persis harus bagaimana. Disinilah pentingnya seorang guru dalam segala hal, tidak hanya dalam masalah agama.

Hipnotis adalah kekuatan mata yang tujukan pada satu titik. Kekuatan yang terfokus itu bisa digunakan untuk mempengaruhi satu titik saraf manusia dalam membantu pengobatan. Selagi benda atau ilmu tersebut positif, tidak melanggar syari’at Allah swt, masih diperbolehkan. Sebaliknya, apabila merugikan orang lain, maka hal ini jelas-jelas dilarang. Seperti misalnya pisau. Apabila pisau untuk niat ibadah, dipakai untuk ibu rumah tangga, maka hal ini sangat membantu. Sebaliknya, kalau pisau itu untuk merampok, maka jadi tidak benar. Nah hal ini sama saja dengan hipnotis.

Pemberian Allah swt pada hamba-Nya yang mau menjalankan bacaan yang bisa mendekatkannya pada Allah swt bukanlah merupakan sesuatu yang berlebihan. Karena kelebihan bacaan-bacaan tersebut, ia dapat melihat keghaiban yang ada di luar jangkauan. Satu contoh, betapa kecil frekuensi yang telah ‘ditembakkan’ oleh stasiun TV dalam memancarkan gambar agar sampai ke pesawat televisi. Kita tidak bisa melihat apa yang terjadi di studio, yang hanya bisa dilihat melalui televisi. Namun karena kelebihan seseorang justru bisa melihat tanpa memakai pesawat televisi sekalipun.

Sumber: Umat Bertanya Habib Luthfi Menjawab

Continue Reading

Tanya Jawab

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Published

on

Pertanyaan:

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Jawaban:

Utamakan amalkan apa yang diamalkan oleh mursyidmu. Sebab dalam amalan itu ada energinya meskipun hanya bismillah. Jangan lewatYouTube, atau di Google. Memang baik, tapi di dalamnya tidak ada energi yang dialirkan oleh mursyidmu. Itulah fungsinya baiat, kalimat ‘ajaztukum’. Karena di sana ada energi.

Jangankan pada wilayah tersebut, kita menikah saja perlu ada energi ilahiyah berupa akad, apalagi wilayah tauhid semacam amalan. Sehingga jangan jadi gampangan menerima wirid dari siapapun.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al Insyiqaq ayat 6,

يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ اِنَّكَ كَادِحٌ اِلٰى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلٰقِيْهِۚ

“Wahai manusia! Sesungguhnya kamu telah bekerja keras, sekuat-kuat kerja, menuju Rab(Tuhan)mu, maka kamu akan menemui-Nya (menemui Allah).”

Namun, banyak tanjakkan-tanjakkan berbahaya menuju Tuhanmu, sehingga kamu perlu dibimbing oleh seorang mursyid yang kamil.

Selanjutnya banyak salik yang kerap membanding-bandingkan amalan. Jangan lakukan itu antara mursyidmu dengan orang lain. Jangan jadi orang yang latah karena seorang mursyid memberi amalan dari hatinya yang terdapat energi di dalamnya. Adapun energi tidak tergantung pada bentuk fisik dan tampilan mursyidmu.

Maka berlakulah adab yang baik dengan mursyid kita masing-masing. Jangan asal minta amalan dari orang lain. Hal ini yang perlu kita pegang betul sebagai murid, salik. Ada adab pada thariqah, yaitu murid dilarang membanding-bandingkan posisi mursyidnya dengan orang lain.

Adapun jika kamu mendapatkan amalan dari seorang alim, kiai dan lain-lain, alangkah indahnya jika kamu menyampaikan hal itu dengan mursyidmu. Jika mursyidmu katakan ‘amalkan’, maka amalkanlah. Tapi jika ada koreksi, maka ikutilah pendapat mursyidmu supaya sambung energinya. Sebab beliau sudah men-charge energi kemursyidan yang ia dapatkan dari gurunya hingga sampai pada Rasulullah saw.

Oleh Sayyid Abdurrahim Assegaf (Puang Makka) – Rais Awwal Idarah Aliyah JATMAN dan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf Makassari

Continue Reading

Tanya Jawab

Apakah Ismu Ruh yang Pernah Disampaikan oleh Salah Satu Ulama Thariqah Benar Adanya?

Published

on

Pertanyaan:

Apakah Ismu Ruh yang pernah disampaikan oleh salah satu ulama thariqah benar adanya?

Jawaban:

Puang Makka menjawab bahwasanya 50 tahun yang lalu, beliau pernah bertanya kepada mursyidnya. Syekh Sayyid Jamaluddin (Puang Rama) dengan pertanyaan yang sama.

Kemudian sang mursyid menjawab bahwa soal Ismu Ruh itu ada, tapi tidak ada yang paten mengetahuinya, sebab itu hal ghaib. Sehingga, jangan dipatenkan. Kita tidak memiliki kekuatan untuk mematenkan bahwa ini salah atau benar. Berbeda halnya jika menyebut nama yang bisa disaksikan, seperti kulit, tulang, daging dan lain-lain.

Maka wilayah ruh tergantung bagaimana yang ia dapatkan dari Allah Swt. Jika memang ia mendapat satu nama, maka ‘bismillah’ saja bahwa hal tersebut benar adanya, namun tidak perlu complain orang lain. Sayyidina Khidir saja memiliki banyak nama dari Allah.

Jadi katakanlah, “mungkin saya belum baca kitabnya”. Jangan menyalahkan orang lain. Karena ini wilayah yang sangat halus. Supaya tidak mendatangkan kesombongan pada dirimu, maka hati-hati untuk menjaga hatimu.

Oleh Sayyid Abdurrahim Assegaf (Puang Makka) – Rais Awwal Idarah Aliyah JATMAN dan Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syekh Yusuf Makassari

Continue Reading

Tanya Jawab

Perbedaan Hizib dan Ratib Menurut Habib Luthfi bin Yahya

Published

on

By

Jakarta, JATMAN Online – Maulana Habib Luthfi bin Yahya mendapatkan pertanyaan dari salah seorang muhibbinnya tentang Ratib dan Hizib. Pertanyaaanya sebagai berikut: “Habib Luthfi yang saya hormati. Saya ingin bertanya seputar hizib. Apa sebenarnya hizib itu? Mengapa ada yang disebut hizib keras dan ada yang lembut? Apa bedanya dengan Ratib? Apa fadhilah mengamalkan hizib? Mengapa untuk mengamalkannya diperlukan ijazah?”

Jawaban Habib Luthfi, dikutip dari akun facebook Ala NU, Minggu (04/06), Pil obat atau kapsul tentu tidak mempunyai dosis yang sama. Demikian juga dosis obat antibiotik dan vitamin. Jika yang satu bisa diminum sehari tiga kali, yang lain mungkin hanya boleh diminum satu kali dalam sehari. Bahkan vitamin, yang jelas-jelas berguna, pun jika diminum melebihi dosis yang ditentukan dokter; efeknya akan berakibat buruk bagi tubuh. Badan bisa meriang atau bahkan keracunan. Begitu pula halnya dengan hizib dan ratib.

Hizib dan ratib, dilihat dari susunannya, sebenarnya sama. Yakni, sama-sama kumpulan ayat, dzikir dan do’a yang dipilih dan disusun oleh ulama salafush shalih yang termasyhur sebagai waliyullah (Kekasih Allah).

Yang membedakan suatu ratib dengan ratib lain, atau hizib dan hizib lain, adalah asrar yang terkandung dalam setiap rangkaian ayat, doa atau kutipan hadits, yang disesuaikan dengan waqi’iyyah (latar belakang penyusunan)-nya.

Namun, meski muncul pada waqi’ yang sama dan oleh penyusun yang sama, ratib sejak awal dirancang oleh para auliya untuk konsumsi umum, meski tetap mustajab. Semua orang bisa mengamalkan untuk memperkuat benteng dirinya, bahkan tanpa perlu ijazah. Meski tentu jika dengan ijazah lebih afdhal.

Sementara hizib, sejak awal dirancang untuk kalangan tertentu yang oleh sang wali (penyusunnya tersebut) dianggap memiliki kemampuan lebih, karena itu mengandung dosis yang sangat tinggi. Hizib juga biasanya mengandung banyak sirr (rahasia) yang tidak mudah dipahami oleh orang awam, seperti kutipan ayat yang isinya terkadang seperti tidak terkait dengan rangkaian do’a sebelumnya, padahal yang terkait adalah asbabun nuzul-nya (sebab turunnya).

Hizib juga biasanya mengandung lebih banyak Ismul A’dzham (nama Allah yang agung), yang tidak ada dalam ratib. Dan yang pasti, hizib tidak disusun berdasarkan keinginan sang ulama, karena hizib rata – rata merupakan ilham dari Allah SWT ; Ada juga yang mendapatkannya langsung dari Rasulullah SAW seperti Hizbul Bahr, yang disusun oleh Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili Rokhimahulloh. Karena itulah, hizib mempunyai fadhilah dan khasiat yang luar biasa.

Selain itu, ada juga syarat usia yang cukup bagi pengamal hizib. Sebab orang yang sudah mengamalkan hizib biasanya tidak lepas dari ujian. Ada yang hatinya mudah panas, sehingga cepat marah. Ada yang, karena Allah SWT, menampakkan salah satu hizibnya dalam bentuk kehebatan, lalu si pengamalnya kehilangan kontrol terhadap hatinya dan menjadi sombong. Ada juga yang berpengaruh ke rezeki, yang selalu terasa panas sehingga sering menguap tanpa bekas, dan sebagainya.

Karena itu pula, diperlukan ijazah dari seorang ulama yang benar-benar mumpuni, dalam arti mempunyai sanad ijazah hizib tersebut yang bersambung dan mengerti dosis hizib. Selain itu juga diperlukan guru yang shalih yang mengerti ilmu hati untuk mendampingi dan ikut membantu si pengamal dalam menata hati dan menghindari efek negatif hizib.

Continue Reading

Facebook

Arsip

Trending