Pustaka
Fase Kehidupan di Alam Rahim (Arham) 2
Kupas Tuntas Perjalanan Hidup Manusia dalam Lima Alam
Oleh: DR. KH. M. Hamdan Rasyid, MA
Published
3 years agoon

Berhubung manusia tercipta dari unsur tanah yang rendah serta unsur roh Allah yang tinggi, maka di dalam diri manusia selalu terjadi pergulatan dan tarik menarik antara bisikan-bisikan yang mengajak untuk melakukan perbuatan-perbuatan negatif yang dapat merendahkan derajat manusia–seperti memuja-muja atau menuhankan benda-benda mati (kayu, batu, patung dan karya seni serta hasil teknologi manusia), harta, tahta dan wanita, berzina, berjudi, dan korupsi, dengan bisikan-bisikan yang mendorongnya untuk berbuat baik yang dapat mengangkat harkat dan martabatnya di atas makhluk-makhluk Allah yang lain seperti beribadah dan mengabdi kepada Allah SWT; memenuhi nafkah dan berbagai kebutuhan hidup dengan cara-cara yang halal sesuai dengan petunjuk Allah SWT; serta berbuat baik dan saling tolong menolong dengan sesama manusia. Oleh karena itu, tugas kita sebagai umat Islam adalah berusaha semaksimal mungkin agar dorongan-dorongan ke arah hal-hal yang positif mampu mengalahkan dorongan-dorongan yang mengajak kepada hal-hal negatif.
Hadits di atas juga menjelaskan, bahwa sesudah roh ditiupkan dalam tubuh janin ketika masih berada di alam rahim, maka Allah SWT memerintahkan malaikat untuk mencatat empat kalimat yang merupakan ketentuan-Nya terhadap janin tersebut. Yaitu rizki, ajal, amal, dan nasib baik atau buruk (bahagia atau sengsara).
Pertama; Rizki. Allah SWT Dzat Yang Maha Pemurah telahmenetapkan rizki bagi seluruh makhluk-Nya, dan setiap makhluk tersebut tidak akan mati sebelum rizkinya terpenuhi dengan sempurna. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Hud/11 ayat 6:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”
Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Ankabut/29 ayat 60:
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rizki kepadanya juga kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa pada hakikatnya, rizki para makhluk–termasuk manusia telah ditetapkan oleh Allah SWT sejak zaman azali dan telah tercatat di Lauh Mahfudz kemudian ditulis kembali oleh malaikat ketika manusia berusia 4 (bulan) dalam kandungan. Sungguh pun demikian, manusia tidak boleh bersikap apatis dan fatalistik. Untuk mendapatkan rizki, manusia harus bekerja keras dengan cara yang halal disertai dengan doa serta sikap tawakkal kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah SWT telah memerintahkan hamba-hamba-Nya berjalan mencari maisyah (pekerjaan/usaha) untuk mendapatkan rizki-Nya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Mulk 15:
Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”.
Demikian juga sabda Rasulullah SAW:
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mati hingga sempurna rizkinya, meskipun (rizki itu) bergerak lamban. Maka, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram”5
Rasulullah SAW telah memberikan petunjuk kepada kita semua tentang cara yang tepat untuk mendapatkan rizki dari Allah SWT, yaitu dengan melakukan usaha maksimal disertai doa dan sikap tawakkal sebagaimana yang dilakukan oleh burung.
Hendaknya kita dapat mengambil pelajaran darinya dalam mencari rizki. Beliau bersabda:
“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberi kalian rizki sebagaimana Dia memberikan rizki kepada burung, yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang”6
Rizki akan mengejar manusia, seperti halnya ajal (masa kematian). Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya rizki akan mengejar seorang hamba seperti halnya ajal juga mengejarnya”7
Kedua; Ajal. Setiap makhluk yang bernyawa–termasukmanusia—pasti akan mengalami kematian. Kapan manusia akan wafat serta mengakhiri kehidupannya di alam dunia? Semua tergantung ajal (masa kematian) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT Dzat Yang Maha Kuasa pada zaman azali dan dicatat kembali ketika janin berusia 4 (empat) bulan dalam kandungan. Dia-lah Dzat yang menghidupkan manusia, mematikan, serta membangkitkannya kembali. Tidak ada satu pun manusia yang mengetahui berapa umurnya dan jatah hidupnya di alam dunia. Demikian juga tidak ada satu pun manusia yang mengetahui kapan serta dimana akan diwafatkan oleh Allah SWT. Semua terjadi atas ilmu dan izin-Nya.
Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Ali ‘Imran/3 ayat 145:
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu. Dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
Ajal manusia sudah dtetapkan dan tercatat di Lauh Mahfudz, tidak dapat dimajukan atau dimundurkan. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-A’raf ayat 34
“Tiap-tiap umat mempunyai ajal (batas waktu); maka apabila telah datang waktu (ajal)-nya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun, dan tidak dapat (pula) memajukannya”
Ketiga; Amal Perbuatan. Pada hekekatnya, seluruh amalperbuatan manusia, baik amal saleh (al-hasanat) maupun amal yang buruk (al-sayyi’ah) yang akan dilakukan oleh setiap manusia selama hidupnya di alam dunia, telah diketahui dan dicatat oleh Allah SWT di Lauh Mahfudz serta dicatat kembali oleh malaikat ketika janin beumur 4 (empat) bulan dalam kandungan. Sungguh pun demikian, tidak ada satu pun manusia yang mengetahui apa yang tertulis di Lauh Mahfudz tersebut. Oleh karena itu, setiap manusia harus berusaha melakukan amal baik serta menghindari amal buruk. Juga harus selalu berdoa, memohon petunjuk dan bantuan kepada Allah SWT agar selalu melakukan amal yang baik serta menghindari perbuatan yang buruk, maksiat dan dosa.
Setiap amal baik yang dilakukan oleh seseorang dengan ikhlas semata-mata mengharapkan rida dan pahala dari Allah SWT pasti akan dibalas berlipat ganda serta manfaatnya pasti akan kembali kepadanya. Sebaliknya, setiap perbuatan buruk, maksiat atau dosa yang dilakukan oleh seseorang, pasti akan dibalas oleh Allah SWT serta mafsadah atau dampak negatifnya akan kembali kepadanya, kecuali jika dia bertaubat dan mendapat ampunan dari Allah SWT. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Fusshilat ayat 46:
“Barangsiapa mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya”.
Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Taubat ayat 105 – 106:
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata. Lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; Adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Amal saleh yang dilandasi oleh iman, akan mengantarkan orang-orang yang beriman meraih surga, tempat kenikmatan yang abadi. Sebaliknya perbuatan buruk, maksiat dan dosa yang dilandasi oleh kekufuran akan menghantarkan orang-orang kafir ke neraka jahannam selama-lamanya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Bayyinah ayat 6 – 8:
‘Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai -sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.
Keempat ; Nasib Baik atau Buruk (Bahagia atau Celaka) Pada hekekatnya, nasib manusia, apakah nasib baik maupun nasib buruk, bahagia atau celaka, bahkan kelak di akhirat, apakah ia termasuk akan menjadi penghuni surga atau neraka, telah diketahui dan dicatat oleh Allah SWT di Lauh Mahfudz serta dicatat kembali oleh malaikat ketika janin berumur 4 (empat) bulan dalam kandungan. Sungguhpun demikian, tidak ada satu pun manusia yang mengetahui nasibnya yang tertulis di Lauh Mahfudz tersebut. Oleh karena itu, setiap manusia wajib berusaha melakukan berbagai amal baik yang akan menghantarkannya meraih nasib yang baik serta menghindari amal buruk yang dapat menghempaskannya pada nasib buruk dan hina. Dengan berusaha semaksimal mungkin melakukan berbagai amal yang baik, disertai dengan doa, memohon petunjuk dan bantuan kepada Allah SWT, Allah SWT akan menunjukkannya pada jalan yang lurus dan diridai-Nya, bahkan akan mengubah nasib buruknya di Lauh Mahfudz menjadi nasib yang baik. Karena Allah SWT berhak melakukan hal tersebut. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Ankabut ayat 69:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.
Berdasarkan ayat di atas dapat diketahui bahwa orang-orang kafir tidak mendapatkan hidayah dari Allah SWT sehingga menjadi penghuni neraka jahannam selama-lamanya, karena mereka tidak mau berusaha semaksimal mungkin–bahkan tidak ada kemauan— untuk mendapatkan hidayah tersebut yang akan menghantarkannya untuk menjadi penghuni surga ‘Adn. Allah SWT tidak akan merubah keadaan seseorang, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk mengubahnya. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Ra’du ayat 11:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Jadi pada hakikatnya, seluruh kejadian yang menimpa manusia atau dialaminya di alam dunia, terutama empat hal di atas (rizki, ajal, amal dan nasib baik atau buruk) telah ditetapkan oleh Allah SWT di Lauh Mahfudz serta dicatat kembali oleh malaikat ketika janin berusia 4 (empat) bulan dalam kandungan. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah SWT di dalam surat al-Hadid ayat 22 – 23:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menjelaskan bahwa pada hakikatnya, Allah SWT telah mentakdirkan segala sesuatu sejak 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Allah telah mencatat seluruh takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi”8
Sungguh pun demikian, tidak ada seorang pun yang mengetahui takdir Allah SWT, terutama keempat hal yang telah disebutkan di atas. Oleh karenanya, seseorang tidak boleh malas berusaha dan beramal saleh, dengan alasan bahwa semuanya telah ditakdirkan oleh Allah SWT sejak zaman azali. Memang benar, bahwa Allah telah menetapkan takdir dalam kehidupan setiap hamba. Akan tetapi Dia Dzat Yang Maha Bijaksana juga menjelaskan jalan-jalan untuk mencapai kebahagiaan. Allah SWT Dzat Yang Maha Pemurah telah mentakdirkan rizki bagi setiap hamba-Nya. Namun Dia juga memerintahkan hamba-Nya keluar rumah untuk mencarinya. Jika ada orang yang bertanya, untuk apa kita beramal atau berusaha jika semuanya telah tercatat (ditakdirkan) oleh Allah SWT? Maka, Rasulullah SAW telah menjelaskan hal ini ketika menjawab pertanyaan Sahabat Suraqah bin Malik bin Ju’syum RA. Sbb:
“Beramallah kalian, karena semuanya telah dimudahkan oleh Allah sesuai dengan apa yang Allah ciptakan (takdirkan) atasnya. Jika seseorang ditakdirkan termasuk golongan orang-orang yang berbahagia, maka ia dimudahkan untuk beramal sesuai dengan amalan orang-orang yang berbahagia. Dan sebaliknya, jika seseorang ditakdirkan termasuk golongan orang-orang yang celaka, maka ia dimudahkan untuk beramal sesuai dengan amalan orang-orang yang celaka”9
Orang yang selalu beramal saleh (berbuat baik), maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Sebaliknya orang kafir atau orang yang selalu begelimang dosa, berbuat maksiat dan kerusakan di muka bumi, maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan menuju neraka. Setiap manusia diberikan kebebasan untuk memilih keinginan dan kehendaknya masing-masing. Al-Qur’an hanya berfungsi sebagai peringatan atau petunjuk bagi orang-orang yang ingin menempuh jalan yang lurus. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat al-Takwir ayat 27 – 28:
“Al Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus’.
Hal ini menunjukkan kesempurnaan ilmu Allah SWT, juga kesempurnaan kekuasaan, qudrah dan iradah-Nya, karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Meskipun setiap manusia telah ditentukan menjadi penghuni surga atau menjadi penghuni neraka, namun setiap manusia tidak dapat bergantung kepada ketetapan ini, karena tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui tentang hal-hal yang dicatat di Lauh Mahfudz. Kewajiban setiap manusia adalah berusaha dan beramal kebaikan, serta banyak memohon kepada Allah SWT agar dimasukkan ke surga. Karena Allah SWT berhak mengubah apa saja yang telah ditetapkan atau ditakdirkan kepada hamba-hamba-Nya di Lauh Mahfudz. Sebagaimana difirmankan dalam surat al-Ra’du ayat 39:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki). Dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).”[]
5 HR Ibnu Majah no. 2144, Ibnu Hibban no. 1084, 1085-Mawarid, al Hakim (II/4 ), dan Baihaqi (V/264), dari Sahabat Jabir Radhiyallahu ‘anhuma. Dianggap shahih oleh al Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Hadits ini dianggap shahih oleh Syaikh al -Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 2607.
6 Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/30 dan 52), at-Tirmidzi no.2344, Ibnu Majah no. 4164, Ibnu Hibban no. 730, Ibnul Mubarak di dalam kitab az-Zuhd no. 559, al-Hakim (IV/318), al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah no. 4108, Abu Nu’aim dalam kitab al Hilyah (X/69), dan lain-lainnya. Dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab. At-Tirmidzi berkata,”Hasan shahih.” Al-Hakim juga menilai hadits ini shahih, dan disetujui oleh adz-Dzahabi
7 HR Ibnu Hibban (1087-Mawarid) dan lainnya, dari Sahabat Abu Darda’. Hadits ini memiliki penguat dari Sahabat Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadiits ash-Shahihah no. 952.
8 HR Muslim no. 2653 (16) dan at-Tirmidzi no. 2156, Ahmad (II/169), Abu Dawudath-Thayalisi no. 557, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu ‘anhuma. Lafaz ini milik Imam Muslim.
9 HR al-Bukhari no. 4949 dan Muslim no. 2647.
- Baca sebelumnya: Fase Kehidupan di Alam Rahim (Arham)
- Kunjungi Pustaka Digital JATMAN
Kitab
Empat Buku Penting Kajian Syekh Hamzah Fansuri Sepanjang Masa
Published
3 months agoon
12/09/2023
Hamzah Fansuri telah dikaji oleh orientalis setidaknya sejak tahun 1933 atau bahkan lebih awal. Di tahun tersebut, John Doorenbos melakukan kajian filologi atas prosa dan syair Hamzah dan menerbitkannya dalam buku berjudul De Geschriften van Hamzah Pansoeri. Buku ini mengkaji beberapa karya syair dan prosa Syekh Hamzah seperti Ashrar Al Arifin dan Sharb Al Ashiqin. Selanjutnya muncul buku-buku karya orientalis lain seperti G.W.J Drewes dan L.F Brakel yang menulis The Poems of Hamzah Fansuri (1986); Claude Guillot dan Ludvik Kalus, menulis La stele funeraire de Hamzah Fansuri atau Batu Nisan Hamzah Fansuri (2000); Dan Braginsky, Satukan Hangat dan Dingin Kehidupan Hamzah Fansuri Pemikir dan Penyair Sufi Melayu (2003).
Sarjana Nusantara yang juga menulis tentang Hamzah Fansuri di antaranya Syed Muhammad Naquib Al-Attas melalui buku The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970); Ali Hasjimi yang menulis Ruba’i Hamzah Fansuri-Karya Sastra Sufi Abad XVII (1976); Wan Mohd Saghir Abdullah yang menulis Tafsir Puisi Hamzah Fansuri dan Karya-karya Sufi (1993); Abdul Hadi, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik terhadap karya-karya Hamzah Fansuri (2001); Dan Sangidu, Wachdatul Wujud – Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Samatrani dengan Nururddin ar Raniri (2003)
Di antara begitu banyak karya tersebut, ada empat judul yang sangat penulis rekomendasikan Alasannya, pertama karena sebagiannya adalah buku-buku paling awal yang mengkaji naskah tasawuf Hamzah Fansuri. Kedua, semua buku tersebut menggunakan sumber primer, yaitu naskah asli Hamzah Fansuri. Ketiga, buku-buku tersebut memuat analisis karya sang Hamzah secara komprehensif. Nyaris belum ada karya sebelum maupun setelahnya yang memuat sumber lain di luar dari apa yang mereka tulis. Keempat, hampir keseluruhan buku dan jurnal yang lahir setelahnya merujuk kepada mereka. Kelima, belum ada diskursus yang keluar dari wilayah kajian dari peneliti-peneliti tersebut seperti linguistik, metafisika, kosmologi, teologi, psikologi dan epistemologi.
1. The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970)
The Mysticism of Hamzah Fansuri (1970) adalah karya Syed Muhammad Naquib Al Attas yang diterbitkan oleh University of Malay Press Kuala Lumpur. Buku ini dapat dianggap sebagai karya legenda karena hampir semua peneliti pasca tahun 1970 yang hendak mengkaji Hamzah Fansuri akan merujuk kesini. Menurut Braginksy, buku ini adalah karya revolusi yang membangkitkan kajian mengenai berbagai aspek dalam studi Hamzah, Islam dan Melayu dalam berbagai aspeknya (Wan Daud dan Uthman, 2009).
Pengarangnya, Syed Muhammad al Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas adalah filsuf kebangsaan Malaysia yang lahir di Bogor, 5 September 1931. Al-Attas menghadirkan buku ini dalam rangka menyempurnakan transliterasi naskah Hamzah yang telah dimulai oleh Doorenbos.
Buku Al-Attas sendiri, selain mengelaborasi tiga risalah tasawuf juga mencantumkan lebih dari seratus bait syair Hamzah yang diambil dari perpustakaan Universitas Leiden. Menurut Al-Attas, ajaran tasawuf Hamzah Fansuri, secara ontologi, kosmologi dan psikologi memiliki kesamaan dengan Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al Jilli. Beberapa pokok pemikiran Hamzah Fansuri yang terdapat dalam buku Al-Attas yaitu aspect of oneness (tauhid dan ketauhidan); the world of created things (makhluk, ciptaan atau maujudad), creation and the doctrine of perpetual creation (doktrin penciptaan dan keabadian ciptaan yang diperdebatkan), fixed essence (a’yan thabithah), the spirit (nyawa/ruh) dan the soul/self (diri/nafs), divine attribute (Sifat Allah) dan hubungan fana dengan ma’rifah dan ikhtiar. Selain itu, secara mendalam Al Attas juga mengkaji pemikiran Hamzah mengenai divine will (irâdah) dan hal-hal terkait dengannya, termasuk hubungan antara irâdah dengan makna hendak dan mahu (mau) dalam bahasa Melayu. Melalui pendekatan linguistik dan semantik (a general linguistic and semantic approach) ia berusaha menemukan sistem mistik Syekh Hamzah Fansuri dengan pemetaan terhadap kata-kata kunci (to selection of key words in the vocabulary of Hamzah’s mystical system).
2. Ruba’i Hamzah Fansuri (1976)
Ruba’i Hamzah Fansuri; Karya Sastra Sufi Abad XVII (1976) ditulis oleh Ali Hasjimi dan diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Buku berukuran kecil tersebut merupakan transliterasi atas karya Syekh Samsuddin As Sumatrani yang membahas 26 bait syair Hamzah Fansuri. Sebagai pengantar Ali Hasjimi juga memaparkan riwayat Hamzah Fansuri dan polemik pemikiran tasawufnya. Terakhir, Ali Hasjimi juga memuat 19 bait syair tafsir unggas yang sedikit berbeda dengan tafsir unggas dalam buku Al-Attas. Perbedaan ini bisa terjadi karena perbedaan hasil bacaan atau manuskrip yang dibaca berbeda. Karena salah satu resiko dalam dunia penyalinan naskah di masa lalu adalah terjadinya berbedaan salinan dari satu naskah yang sama.
3. The Poems of Hamzah Fansuri (1986)
The Poems of Hamzah Fansuri (1986). Buku ini diterbitkan oleh Foris Publication, Cinnaminson-USA tahun 1986. Pada tahun 1976, Brakel memperkenalkan Hamzah Fansuri dalam The World Orientalist Conference di Paris dan tahun 1979 di the 2nd European Colloquium on Indonesian Studies di London. Artinya, naskah sastra sufi Melayu Nusantara, wabilkhusus Syekh Hamzah telah sejak lama menjadi lirikan orang Eropa dan Amerika.
Drewes dan Brakel memulai bukunya dengan mengkaji periode kehidupan Hamzah Fansuri, pengaruh ajarannya di Pulau Jawa, diskursus beberapa naskah, pengaruh tasawuf Persia, penolakan Nuruddin Ar Raniry, dan telaaah filologis atas karya syair Hamzah. Secara umum, buku “The Poems” mengkaji syair Hamzah Fansuri langsung sumber-sumber primer baik di Indonesia maupun Belanda.
4. Tasawuf yang Tertindas (2001)
Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik terhadap karya-karya Hamzah Fansuri (2001) terbitan Paramadina layak diposisikan sebagai salah satu karya yang mengulas syair Syekh Hamzah secara lebih komprehesif. Bahkan ada pendapat yang beredar bahwa “Jika ingin mengenal kitab tasawuf Hamzah Fansuri, maka bacalah “The Mysticism of Hamzah Fansuri” dan jika ingin mengenal syair-syairnya bacalah “Tasawuf yang Tertindas.” Hal ini menjadi wajar karena Abdul Hadi memfokuskan karya disertasi pada Universitas Sains Malaysia tersebut untuk membedah syair-syair Hamzah Fansuri.
Buku Tasawuf yang Tertindas dimulai dari penjelasan-penjelasan teoritik mengenai tasawuf dan sastra sufi; hermeneutika, dunia simbol dan ta’wil; serta perdebatan atas pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri. Pada bagian kedua, Abdul Hadi mendekati naskah Hamzah secara filologi dengan memeriksa mana teks yang diyakini sebagai milik Hamzah Fansuri dan mana teks milik orang lain. Pemeriksaan dilakukan setelah merumuskan beberapa ciri dan karakter syair Hamzah berdasarkan pengalaman bertahun bergumul dengan teks sufi penyair terbesar Aceh tersebut. Dua sumber utama syair yaitu Perpustakaan Nasional Jakarta dan Perpustakaan Museum Leiden.
Penulis: Ramli Cibro (Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islam Jurusan Dakwah dan Komunikasi Islam STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh)
Editor: Khoirum Millatin
Kitab
Mengenal Kitab Insan Kamil Fi Ma’arifah Awa’il wa Awakhir dalam Membangun Spiritual Hati
Published
5 months agoon
29/06/2023By
Budi Handoyo
Insan kamil menjadikan manusia (mikro-kosmos) sebagai fokus kajian, utamanya Rasulullah saw. sebagai inti pembahasan dan ikon kesempurnaan. Karya tersebut merupakan buah pemikiran dan hasil kasyf Syekh Abdul Karim Al-Jili, seorang wali Allah, ulama sufi dan juga cerdik cendikiawan muslim kelahiran al-Jailan salah satu distrik di kota Baghdad (Irak), yang hidup antara tahun 1366 M dan 1430 M. Al-Jili merupakan anak keturunan Syekh Sayyidi Abdul Qadir Al-Jilani.
Kitab Insan kamil mengupas tuntas kesejatian maujudaat dari awal hingga akhir, utamanya kesejatian wujud al-Haq yang bertajallikan pada segala wujud. Untuk memakrifahi hakikat segala sesuatu itu menurut al-Jili hanya bisa dilakukan dengan jalan mukasyafah. Dalam karya ini al-Jili mencoba merumuskan degri-degri makrifah, dimulai dengan pemahaman kesejatian wujud tingkat paling dasar hingga wujud teragung.
Al-Jili mengharamkan teori ittihad, Hulul, Tanazukh dan tipe wahdatul al-wujud mulhid. Substansi pokok kitab Insan al-Kamil menjelaskan, “Tidak ada sesuatu yang yang hakiki selain al-Dzat al-Ilahiyyah yang mencakup inti Dzat dan inti makhluk.”
Menurut al-Jili, inti (Dzat) al-Haq dan lnti makhluk adalah dua yang berbeda, namun termanisfestasikan dalam satu wujud. Adapun tahapan utama adalah “kabut” (a’ama) ibarat dzat murni yang terselimuti sebelum tajalli. Kemudian Al-Ahadiyah yang merupakan awal penurunan dari kegelapan kabut menuju cahaya tajalli. Lalu al-Wahidiyah, ia merupakan manifestasi Dzat dengan sifat-sifat pencitraan global.
Al-Jili mengistilahkan pencitraan global itu dengan Alam Kabir (makro cosmos), sedangkan manusia disebut Alam shaghir (mikro cosmos). Dengan demikian sejatinya insan kamil itulah sejatinya citra lahir al-Haq di alam realitas (asy-Syahadah) ini.
Syekh Abdul Karim al-Jili dalam kitab Insan kamil menjelaskan,
أن الإنسان الكامل هو القطب الذي تدور عليه أفلاك الوجود من أوله إلى آخره وهو واحد منذ كان الوجود إلى أبد الابدين ثم له تنوع في ملابس ويظهر في كنائس فيسمى به باعتبار لباس ولا يسمى به باعتبار لباس آخر، فاسمه الأصلي الذي هو له محمد، وكنيته أبو القاسم ووصفه عبدالله ولقبه شمس الدين ثم له باعتبار ملابس أخرى أسام وله في كل زمان اسم ما يليق بلباسه في ذلك الزمان.
“Sesungguhnya Insan Kamil itu sejatinya kutub yang berotasi, di sekelilingnya segenap Aflak yaitu cakrawala galaksi setiap wujud dari permulaan wujud alam hingga akhir wujud alam. Ia adalah Tunggal sejak wujud ada hingga kekekalan abadi, Ia memiliki aneka ragam baju, kemudian menampakkan diri dengan baju-baju itu, lalu dinamakan sesuai dengan baju yang melabeli wujud penampakkannya, dan Insan Kamil tidak dinamai dengan baju lain selain baju kesempurnaan dan keutamaan. Namanya yang hakiki adalah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, gelarnya Abul Al-Qosim, pensifatannya Abdullah, julukannya Syamsuddin, setiap zaman Insan Kamil tetap ada setiap zaman ia memiliki nama sesuai dengan baju yang dikenakan yang sesuai zamannya.
(Kitab Al-Insan Al-Kamil fi Ma’arifat Awa’il wa Awakhir Juz II Dar Al-Kotob Al-ilmiyah Beirut hal 277).
Menurut al-Jili satu-satunya Thariqah untuk memahami hakikat segala wujud yang tertera dalam kitab Insan kamil adalah dengan dzuq bukan dengan logika.
Dalam kitab Insan kamil al-Jili membagi wujud dengan wujud Murni, yaitu inti (dzat) Allah Ta’ala dan wujud Mulhaq bil Adam yaitu inti segenap makhluk-Nya. Dzat Allah tidak bisa dilihat. Inti (dzat) Nya Ghaib al-Ghaib. Tidak bisa dilihat dengan kasat mata, nalar logika, dijangkau daya persepsi, namun bisa dilihat melalui tajalli-Nya pada segenap maujudaat, sedangkan untuk mengetahui hakikat makrifatnya adalah dengan pengetahuan intuitif.
Al-Jili juga menuturkan Insan kamil merupakan cerminan inti (dzat) ketuhanan, sejalan dengan sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk citra Diri-Nya.” Al-Haq menciptakan Muhammad dari dzat Diri-Nya. Dia menjadikan Muhammad wujud tajalli Kesempurnaan, Keperkasaan dan Keindahan Diri-Nya. Kemudian Dia menciptakan rahasia semesta alam dari cahaya Muhammad tersebut. Demikian pula dengan segenap partikel wujud sejatinya adalah Jauhar al-Fard (etentitas tunggal), selaras dengan sabda Rasul Saw, “Kali pertama yang diciptakan Allah adalah al-Qalam, juga hadits Nabi saw. lain, “Kali pertama yang diciptakan Allah adalah akal.”
Membaca kitab Insan kamil ini kita dihadapkan pada kalimat-kalimat yang pekat dengan simbol-simbol, isyarat-isyarat dan metafora serta paradoks tasawuf. Kalimat-kalimat ini mewajahkan semangat spiritual penulisnya yang tinggi, dalam mengekspresikan pengalaman bathin (insight)nya dengan Allah. Bahasa dan kata-kata yang jamak digunakan sang penulis memang tidak sepenuhnya bisa dipahami dari makna lahirnya.
Tanpa menelisik makna-makna bathinnya, kita akan mudah terpeleset dalam kekeliruhan serius. Maka tajamkanlah nalar logika anda, optimalkan ketajaman mata hati anda, singkirkan segenap pikiran dari makna-makna lahiriyah, agar anda benar-benar tahu. Carilah makna-makna bathin melalui seorang mursyid yang arif billah yang pakar dibidang ilmu hakikat.
Oleh karena itu, Syekh Abdul Karim Al-Jili dalam frase kitab Insan kamil mengingatkan,
“Ketahuilah, bahwasanya setiap ilmu yang tidak didasari al-Quran dan sunnah Rasul-Nya yang shahih adalah dlalal (sesat), al-Quran dan sunnah Nabi bukan untuk membenarkan ilmu dan tindakan anda, akan tetapi hendaknya ilmu dan tindakan anda sesuai dengan pesan al-Quran dan sunnah Rasul-Nya. Jadikan keduanya dasar pijakan ilmu dan ibadah anda, jika nalar anda dan dasar logika anda tidak mampu menjangkau kedalam ilmu ini (dalam kitab Insan kamil), sebaiknya anda taslim dengan keimanan yang jernih dan jangan sekali-kali mengingkari sesuatu yang anda belum mampu menyibaknya, serahkan segala sesuatunya kepada Sang Maha Mengetahui, Dialah Allah Ta’ala.”
(Kitab Al-Insan Al-Kamil fi Ma’arifat Awa’il wa Awakhir Juz I, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Beirut hal 32)
Kitab
Kitab Al-Haqibah; Kompilasi Doa, Shalawat dan Wirid yang Disusun oleh Ayah Gus Mus
Published
11 months agoon
29/12/2022
KH. Bisri Mustofa yang merupakan ayah dari KH. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, di masa hidupnya adalah ulama yang produktif menulis kitab dengan berbahasa Arab – Pegon atau Arab – Jawa. Banyak karyanya yang menjadi rujukan keilmuan hingga saat ini mulai dari bidang tafsir, fiqih, sejarah hingga bahasa Arab.
Selain dari sekian banyak karyanya tersebut, Kiai Bisri juga mengumpulkan doa-doa dan ijazah wirid dari guru-gurunya yang dikumpulkan dan disusun dalam sebuah kitab yang bernama Al-Haqibah yang terdiri dari dua jilid untuk diamalkan oleh segenap santri dan masyarakat umum. Wirid-wirid tersebut antara lain berasal dari Mbah Kiai Wahab Chasbullah, Mbah Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Mahrus Aly, Kiai Abdullah Zaini, Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Kiai Murtadlo Tuban, Kiai Nawawi Kajen, Sayyid Abdul Qodir Bafaqih Tuban, Kiai Thoha Rembang, Syaikh Cholil Bangkalan, Kiai Ma’ruf Kedunglo, Kiai Iskandar Berasan, Kiai Abdul Jabbar Kajen dan lain-lain.
Di lansir dari laman kuliahislam.com, Kiai Bisri memang memiliki hobi yang unik, yaitu memburu guru-gurunya untuk mengijazahkan doa-doa dan wirid secara langsung serta enggan menukil dari kitab-kitab karangan gurunya sendiri. Hal tersebut dikarenakan sanad ijazah doa yang diterima dan berharap berkah dari akumulasi “energi” doa yang telah ditirakati para Kiai sepuh.
Seperti ketika mengaji tafsir kepada Mbah Kiai Ma’ruf, Kedunglo Kediri, karena Kiai Bisri sudah paham Tafsir Jalalain, maka saat beliau menghadiri pengajian tersebut justru yang dibawa bukan tafsir Jalalain, tapi buku kosong guna mencatat doa yang akan disampaikan Mbah Kiai Ma’ruf.
Sayangnya, sebagaimana kitabnya yang lain, kitab Al-Haqibah juga ditulis dengan bahasa Arab – Pegon berikut juga khasiatnya. Sehingga bacaan tersebut perlu ditransliterasi dan diterjemahkan agar bisa dinikmati oleh orang yang non-Jawa.

Hirarki Kemursyidan dalam Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Hadiri Ngaji Bulanan Pesma Daarusshohabah, Kiai Nafi Jelaskan Pentingnya Tasawuf
Habib Luthfi bin Ali bin Yahya
Anugerah Gelar DHC Abah
Arsip
- September 2023 (35)
- August 2023 (68)
- July 2023 (63)
- June 2023 (62)
- May 2023 (71)
- April 2023 (54)
- March 2023 (66)
- February 2023 (61)
- January 2023 (72)
- December 2022 (60)
- November 2022 (68)
- October 2022 (66)
- September 2022 (68)
- August 2022 (61)
- July 2022 (73)
- June 2022 (74)
- May 2022 (72)
- April 2022 (67)
- March 2022 (89)
- February 2022 (85)
- January 2022 (89)
- December 2021 (72)
- November 2021 (36)
- October 2021 (6)
- September 2021 (15)
- August 2021 (14)
- July 2021 (15)
- June 2021 (20)
- May 2021 (15)
- April 2021 (20)
- March 2021 (15)
- February 2021 (30)
- January 2021 (62)
- December 2020 (95)
- November 2020 (101)
- October 2020 (72)
- September 2020 (41)