Hikmah
Esensi Doa dan Urgensinya bagi Ahli Makrifat
Published
2 years agoon

Berdoa adalah kewajiban hamba kepada Tuhannya sebagai wujud kepasrahan diri serta rasa bergantung. Perintah berdoa banyak ditemukan di beberapa ayat-ayat dan hadits. Itu artinya doa bukan hanya sebagai pelengkap ibadah, tetapi juga substansi dari ibadah tersebut.
Allah Swt. berfirman:
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” (Qs. Al-Baqarah: 186)
اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-A’raf: 55)
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Dan Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, maka akan kukabulkan bagimu.” (Qs. Al-Mu’min: 60)
قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۚ
“Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asma’ul husna).” (Qs. Al-Isra: 110)
Ayat-ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya posisi doa dalam proses taqarrub. Allah Swt. bahkan memberikan pilihan berupa Nama-namanya (Asmaul Husna) sebagai wasilah hamba untuk menyeru dalam doa sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Misalnya, seorang hamba memohon dibukakan pintu rizki dalam doanya. Maka ia bisa menggunakan Nama-Nya Ya Fattah (يا فتاح) yaitu Yang Maha Pembuka dan Ya Razzaq (يا رزاق) yaitu Yang Maha Pemberi Rizki. Dengan begitu ada perasaan dekat dan yakin bahwa nama-nama tersebut mewakili segala bentuk Sifat-sifat Allah Swt.
Perintah doa ini kemudian ditaukid oleh Hadits Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
“Doa itu merupakan inti dari ibadah”
- Lihat juga Memahami Puasa dalam Perspektif Tasawuf
Tanpa disadari doa selalu mengiringi ibadah kita sehari-hari. Seperti dalam salat, doa adalah ruh dari setiap rukun yang didirikan. Juga dengan segala aktifitas yang kita kerjakan tidak luput dari doa. Baik aktifitas yang dihukumi wajib, sunnah, maupun mubah. Bahkan disebabkan doa, aktifitas yang hukum dasarnya adalah mubah bisa bernilai ibadah.
Doa yang dipanjatkan seorang hamba adalah harapan. Itu artinya ada keinginan bahwa doa tersebut harus diijabah oleh Allah Swt. Namun, bagi ahli ma’rifat, apabila ia berdoa kepada Allah Swt. tetapi doanya tidak dikabulkan, sesungguhnya itu karena Allah Swt. tidak ingin ia dikuasai harapan yang akan menghancurkan dirinya. Ia berdoa karena perintah Allah Swt. semata tanpa diiming-imingi nafsu yang mengharuskan terkabulnya doa tersebut. Sebab maqam ruhaniyah tidak akan dicapai kecuali ada rasa takut dan harap yang hadir secara bersamaan, bagaikan sayap burung yang tidak akan sempurna tanpa salah satu dari keduanya.
- Lihat juga Tiga Potong Roti dan Rakus Terhadap Dunia
Syekh Abdul Qadir al Jilani dalam Futhuhul Gaib menjelaskan, ada dua hal yang berkaitan dengan pengabulan doa seorang hamba:
1. Allah Swt.mengabulkan doa seorang hamba yang harapannya jauh dari yang telah ditakdirkan oleh-Nya. Dengan kata lain ia tidak mendahului Allah Swt. dalam hal apapun. Sementara ia sendiri tidak tahu bahwa ketetapan-Nya lebih baik daripada apa yang dia mohonkan dalam doa.
2. Allah Swt. tidak mengabulkan doa seorang hamba karena dapat membawanya kepada syirik dan mengharapkan sesuatu selain dari pada-Nya.
Karena dua hal inilah, Allah Swt. tidak selalu mengabulkan doa hamba-Nya. Tujuannya adalah agar hamba tidak meminta sesuatupun berdasarkan nafsu dan mengabaikan perintah-Nya. Kewajiban seorang hamba adalah berdoa berdasarkan dengan dalil-dalil al-Quran dan Hadits. Tapi dikabulkan atau tidaknya adalah urusan Allah Swt. Bisa jadi apa yang dikehendaki hamba dalam doanya akan menjadi madharat jika diijabah, sehingga Allah Swt. bermaksud menundanya atau menggantinya dengan lebih baik.
You may like
-
Hirarki Kemursyidan dalam Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah
-
Hadiri Ngaji Bulanan Pesma Daarusshohabah, Kiai Nafi Jelaskan Pentingnya Tasawuf
-
Mengenal Rasulullah Lebih Dekat, Zawiyah Arraudhah Gelar Daurah Bersama Syekh Yusri Rusydi
-
Kebahagiaan Manusia, Kiai Zakky: Akhirat dan Duniawi Harus Seimbang
-
Kontribusi Tasawuf Syekh Amir Abdul Qadir al-Jaza’iri Terhadap Intelektual dan Spiritual Islam
-
Sufisme sebagai Jangkar Perdamaian Internasional
Hikmah
Bulan Maulid 1445 H, Habib Umar bin Hafidz Ijazahkan Shalawat Khusus Ibrahimiyah
Published
3 months agoon
15/09/2023
Habib Umar bin Hafidz dikenal sebagai seorang ulama keturunan Ba Alawi yang nasabnya sampai kepada Rasulullah Saw.
Habib Umar bin Hafidz mengajar tentang tasawuf dan kehidupan spiritual. Ia menghabiskan masa mudanya untuk memperdalam ilmu agama di bawah bimbingan ayahnya dan para ulama terkemuka di Kota Tarim.
Pada bulan Rabiul Awal 1445 H Habib Umar mengijazahkan Shalawat khusus Ibrahimiyah dibaca minimal 3000 kali. Bagi mereka yang banyak membaca akan mendapatkan banyak keutamaan dari Allah Ta’ala.
Adapun teks bacaan Shalawat Khusus Ibrahimiyah 1445 H sebagai berikut :
اللهُمَّ يا خَيرَ الناصرين، نسألكَ بِكَ أن تُصلِّيَ وتُسَلِّمَ على عَبدِكَ وحَبِيبِكَ سيِّدِنا محمدٍ وعلى آلهِ وصحبهِ، صلاةً تنصُرُنا بها بِما نَصرْتَ بهِ المُرسلِين، وتحفظُنا بها بِما حَفِظْتَ بهِ الذِّكرَ، يا قويُّ يا مَتِين.
“Ya Allah, Dzat sebaik-baiknya penolong, kami meminta kepada-Mu semoga shalawat dan dalam tercurahkan kepada hamba-Mu, kekasih-Mu junjungan Nabi Muhammad serta keluarga dan sahabatnya. Shalawat untuk memenangkan kami sebagaimana Engkau telah memenangkan semua urusan-Mu dan dengan itu Engkau akan melindungi kami dengan apa yang telah Engkau pelihara Ingatannya, Wahai Yang Maha Perkasa, Wahai Yang Maha Kokoh.”
Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz dilahirkan di Tarim pada Senin, 4 Muharram 1383 H atau 27 Mei 1963 M. Habib Umar resmi mendirikan Darul Musthafa pada Selasa 29 Dzulhijjah 1417 H/6 Mei 1997 M.
Sejak belia, beliau telah mempelajari sejumlah ilmu agama seperti Al-Hadist, Fiqih, Tauhid dan Ushul Fiqih dari lingkungan keluarganya sendiri, terutama dari ayahnya, Muhammad bin Salim yang merupakan seorang Mufti di Tarim.
Keluarganya bermazhab fikih Imam Syafi’i. Mereka termasuk kalangan Ahlussunnah waljama’ah dengan kecenderungan pada Thariqah Bani Alawi (Alawiyah).
Selain dari Ayahnya, pada masa itu ia juga belajar dari tokoh-tokoh lainnya seperti Al-Habib Muhammad bin Alawi bin Shihab al-Din, Al-Habib Ahmad bin Ali Ibn al-Shaykh Abu Bakr, Al-Habib Abdullah bin Shaykh Al-Aidarus, Al-Habib Abdullah bin Hasan Bil-Faqih, Al-Habib Umar bin Alawi al-Kaf, al-Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad, dan ulama lain di Tarim.
Penulis: Abdul Mun’im Hasan
Editor: Khoirum Millatin

Dalam al-Quran dijelaskan, masuk Islamlah kamu secara kaffah. Lalu, apa itu kaffah? Ada tiga unsur fundamen dinul haqq, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Kita perlu mengetahui Islam dengan baik dan benar melalui pendekatan Ilmu Fiqh. Kita perlu mengetahui iman dengan baik dan benar melalui pendekatan Ilmu Kalam dan kita perlu mengetahui ihsan dengan baik dan benar melalui pendekatan Ilmu Tasawuf. Inilah tiga kekuatan yang harus didoktrinkan kepada kita yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang kita nikmati manisnya sekarang.
Halawatul (manisnya) Islam, Halawatul (manisnya) Iman, Halawatul (manisnya) Ihsan itu dapat dirasakannya Islam dengan baik, dapat dinikmatinya Iman dan Ihsan itu dengan baik oleh jiwa kita, dan itulah wilayah thariqah.
Jadi wilayah thariqah itu adalah wilayah rasa. Berbicara rasa kedudukannya qalbu (hati). Kalau wilayah fiqih kedudukannya di akal. Thariqah kedudukannya di hati, dirasakan, bukan dipikirkan. Tetapi dua kekuatan ini, yaitu kekuatan pikiran di satu sisi dan kekuatan qalbu di sisi yang lain, itulah yang dinamakan dengan ibadah.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad saw. bersabda,
ان تعبد الله كانك تراه فان لم تراه فانه يراك
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah Engkau melihatNya (Allah). Jika pun belum bisa melihatNya, maka yakinlah bahwa Ia (Allah) melihatmu”
Hadis di atas adalah dalil ihsan. Adapun lafaz An Ta’budallah itu bermakna umum. Semua penyembahan kepada Allah, termasuk shalat, puasa, haji, zakat, syahadatain sewaktu tahiyat, dan apapun yang merupakan ibadah mahdhah, kita pasti berhadap-hadapan pada suasana tersebut.
Kekhusyukan hati itu bukan hanya waktu shalat. Sewaktu mengeluarkan zakat, maka khusyukkan hatimu. Sewaktu menunaikan puasa, maka khusyukkan hatimu. Sebab itu adalah satu rangkaian penyembahan. Karena selama ini kita sering salah paham jika yang perlu khusuk itu hanya shalat.
Begitu juga sewaktu melakukan haji, maka khusyukkan hajimu. Bahkan dalam Kitab Haqiqatul Hajj, Syekh Yusuf Maqassari menjelaskan ‘Al-Hajju Arafah’, bukan Al-Hajju fil Arafah. Yang dimaksud Arafah bukan hanya sekedar tempat. Pada hakikatnya haji adalah pertemuan seorang hamba dengan Tuhannya. Untuk bisa bertemu, ia harus wukuf, berhenti dari urusan duniawi. Maka ia baru bisa mengenal Tuhannya dengan baik dan benar. Jadi kekhusyukan sangat dibutuhkan.
Adapun thariqah dan kekhusyukan adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena kedudukannya di hati dan perlu diolah dengan baik. Jika ada ahli thariqah yang masih memiliki sifat dengki, hasad, ujub, sombong, sudah pasti itu hanya casingnya saja yang thariqah. Maka dari itu Rasulullah saw. amat menitikberatkan pada innamal a’malu binniat, karena urusan niat adalah urusan hati. Inilah yang perlu diasah oleh para salik, murid, badal, khalifah dan mursyid.
Selain kuat di dalam urusan ikhtiar (urusan otak), orang thariqah juga harus mengasah hati. Sebab itu kita perlu memaksimalkan pikiran kita dengan ikhtiar dan mengoptimalkan hati kita dengan zikir, bermunajah, berdoa kepada Allah Swt. Sehingga ketika kita terbentur pada urusan logika, maka secara otomatis kekuatan logikanya akan pindah ke dalam kekuatan hati. Itulah orang thariqah.
Untuk itu, jangan sampai ilmu hanya keluar dari lisan dan otak saja. Karena yang paling penting adalah bagaimana ilmu keluar dari hati. Jika hanya lisan yang menyampaikan, maka orang lain hanya menerima dengan otaknya saja. Tetapi jika ilmu keluar dari hati dan pikiran, maka orang lain juga akan menerima dengan hatinya, itulah keberkahan.
Banyak ilmu kalau tidak ada berkah kita akan menjadi sombong, banyak harta kalau tidak ada berkah kita akan menjadi angkuh, memiliki tinggi jabatan kalau tidak ada berkah kita akan menjadi zalim pada jabatan kita. Yang kita buru adalah keberkahan dari Allah Swt. yang dudukannya di otak dan hati kita.
Disarikan dari penjelasan Sayyid Abdurrahim Assegaf (Habib Puang Makka)
Hikmah
Syekh Usama Kisahkan Imam Layts bin Sa’ad: Ulama Sufi Kaya yang Tak Wajib Zakat
Published
3 months agoon
01/09/2023
Syekh Usama Sayyid al-Azhari mengisahakan bagaimana dermawannya Imam Layts bin Sa’ad yang hidup sezaman dengan Imam Malik.
Diriwayatkan oleh Imam Syafi’i bahwasanya Imam Layts bin Sa’ad adalah ulama yang amat faqih dan kepakarannya melebihi Imam Malik. Ia adalah pimpinan ahli fikih, hadis dan banyak disiplin ilmu pada masanya yang banyak menjadi rujukan bagi umat Islam pada saat itu.
Di samping karunia ilmu yang begitu luar biasa, ia juga ulama yang sangat kaya raya. Imam Layts bin Sa’ad memiliki tanah dan sawah yang berlimpah. Sampai-sampai para ulama memperkirakan keuntungan pertahun dari hasil pertaniannya itu sekitar 80.000 dinar emas. Di mana setiap satu dinar setara dengan 4,5 gr emas. Jika dikonversikan ke masa sekarang, bisa jadi hartanya lebih dari 100 juta dollar AS.
Yang menarik, dari harta yang demikian banyak, Imam Layts tidak pernah memiliki kewajiban zakat. Sebab sebelum datang haul, hartanya sudah dikeluarkan semuanya. Karena begitu luar biasa dermawan, sehingga untuk bersedekah ia tidak pernah menunggu haul. Dan itulah yang ia lakukan sampai bertemu dengan Sang Pemilik Kehidupan.
Di samping itu, Imam Layts bin Sa’ad memiliki tiga majelis. Majelis pertama dikhususkan untuk para ulama, ahli fikih, hadis dan tafsir. Majelis kedua dikhususkan untuk para umara. Di mana para umara tersebut tidak akan pernah mengeluarkan satu keputusanpun kecuali setelah mendapat arahan darinya. Sedangkan majelis ketiga dikhususkan untuk orang yang memiliki kebutuhan dan hajat. Sehingga, tidak ada seorangpun yang meminta hajat kepadanya kecuali ia penuhi, termasuk biaya untuk pernikahan, haji, pengobatan dan lain-lain. Imam Layts bin Sa’ad melakukan kedermawanan yang begitu besar.
Pernah pada suatu hari datang seorang perempuan yang mengatakan jika suaminya sakit. Menurut dokter, cara menyembuhkan penyakit suaminya itu dengan memberikannya madu. Kemudian perempuan tersebut menemui Imam Layts bin Sa’ad dengan membawa sebuah lepek. Lalu Imam Layts bin Sa’ad menolak permintaan perempuan itu dengan berkata, “Tidak. Saya tidak akan memberikanmu selepek untuk madu. Tapi ambillah satu drigen madu itu, bukan satu lepek.”
Pada kisah yang lain, setiap kali Imam Layts bin Sa’ad melakukan perjalanan, ia selalu membawa tiga perahu. Perahu pertama khusus untuknya dan keluarganya. Kemudian perahu kedua untuk tamu-tamunya. Sedangkan perahu ketika khusus para koki dan bahan-bahan makanan. Sehingga ketika ia sampai di satu lokasi, para koki itu memasak dan membagikan semua hasil masakannya kepada pendudukan lokasi itu.
Suatu hari Imam Layts bin Sa’ad melakukan ibadah haji dengan ditemani oleh Imam Malik bin Anas. Imam Malik kemudian memberikannya satu piring kurma. Kemudian kurma itu ia tuang dan diganti dengan dinar emas setara piring itu untuk diberikan kepada Imam Malik.
Dari kisah ini, Syekh Usama kemudian menyampaikan,
“Saya ingin menyimpulkan apa yang saya katakan. Inilah keadaan orang Islam. Inilah keadaan sebenarnya ahli tasawuf yang memenuhi dunia dengan pembangunan, memerangi kemiskinan, memerangi kelaparan, memenuhi dunia dengan kekayaan. Dan kita harus seperti itu.”

Hirarki Kemursyidan dalam Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Hadiri Ngaji Bulanan Pesma Daarusshohabah, Kiai Nafi Jelaskan Pentingnya Tasawuf
Habib Luthfi bin Ali bin Yahya
Anugerah Gelar DHC Abah
Arsip
- September 2023 (35)
- August 2023 (68)
- July 2023 (63)
- June 2023 (62)
- May 2023 (71)
- April 2023 (54)
- March 2023 (66)
- February 2023 (61)
- January 2023 (72)
- December 2022 (60)
- November 2022 (68)
- October 2022 (66)
- September 2022 (68)
- August 2022 (61)
- July 2022 (73)
- June 2022 (74)
- May 2022 (72)
- April 2022 (67)
- March 2022 (89)
- February 2022 (85)
- January 2022 (89)
- December 2021 (72)
- November 2021 (36)
- October 2021 (6)
- September 2021 (15)
- August 2021 (14)
- July 2021 (15)
- June 2021 (20)
- May 2021 (15)
- April 2021 (20)
- March 2021 (15)
- February 2021 (30)
- January 2021 (62)
- December 2020 (95)
- November 2020 (101)
- October 2020 (72)
- September 2020 (41)