Resensi
Cairo Oh Cairo; Perjalanan Seorang Aktivis MATAN
“Mushibatu qowmin ‘ala qowmin fawaidu”. Saya mendengar pesan hikmah ini pertama kali dari Romo KH. Hisyam Syafaat pada saat mengikuti pengajian kitab Ihya’ Ulumiddin setiap selesai shalat ashar di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, saat mondok dulu. Pesan itu berarti bahwa “Musibah suatu kaum, bagi kaum yang lain bisa menjadi keberkahan atau memberikan sebuah manfaat”.
Published
3 years agoon

Dalam kasus sebuah negara, penjajahan negara Palestina adalah sebuah musibah, tapi bagi Israel itu adalah keberkahan. Dalam contoh kecil, musim hujan adalah musibah bagi penjual es campur, tapi bagi penjual minuman STMJ yang hangat adalah sebuah berkah. Begitu seterusnya.
Pada bulan Januari tahun 2011, saat itu saya masih mengikuti perkuliahan di Universitas Al-Azhar Mesir, seperti biasa tidak ada yang istimewa. Berangkat dari rumah di Toubromly memakai bus 926 di Mahattah Akhirah bersama teman-teman pelajar ma’had Al-Azhar yang rata-rata dari Rusia.
Usai mengikuti perkuliyahan hingga siang hari, teman akrab saya hafidz dan rajif mengajak terlebih dahulu untuk makan siang di warung biasanya yang berada di pintu belakang Al-Azhar untuk membeli Tho’miyah bil baidh, makanan khas Mesir. Warung ini tidak pernah sepi dari pembeli, kami semua yang beli tidak ada kursi untuk duduk makan, silakan cari sendiri di mana saja tempat, yang penting bisa makan.
Biasanya saya dan hafidz, usai disodori makanan yang sudah disiapkan, akan mencari tempat untuk makan di tangga flat apartemen dekat Maktabah penjual buku yang berada dekat warung tadi. Di sana, sambil makan kami sering mengobrol sesuatu yang kebanyakan tidak jelas, alias tidak ada temanya, palingan hanya seputar urusan kuliyah dan film-film terbaru yang bisa ditonton di rumah saat malam hari.
Setelah shalat dhuhur berjama’ah di masjid Al-Azhar yang bersebelahan langsung dengan Universitas Al-Azhar dan berhadapan dengan masjid Sayyidina Husein yang berada di seberang jalan, kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Saya berjalan menyusuri toko-toko souvenir, makanan, hingga ashir ashob, minuman perasan tebu hingga sampai di mahattah Darrasah, tempat mangkalnya bus yang akan mengantarkan ke wilayah-wilayah di Cairo.
Bus yang saya cari adalah 80 Coret. Bus ini menjadi bus favorit mahasiswa Al-Azhar yang bertempat tinggal di kawasan Nasr City. Tidak seperti biasanya yang harus berebut untuk mencari kursi. Hari ini, jalanan sepi, para penumpang bus yang menunggu juga tidak banyak.
Tidak ada fikiran apapun hingga saya sampai di rumah dan membuka layar televisi Al-Jazeera. Rupanya lengangnya jalanan Cairo yang kami lalui mulai dari Darrosah, Nadi Sikkah, Hayyu Sadis, Hayyu Sabi’, hingga Hayyul Asyir diakibatkan oleh keadaan Mesir yang mulai tidak normal seperti biasanya.
Televisi Al-Jazeera menayangkan secara live demonstrasi yang terjadi di kawasan Tahrir Square yang menjadi Bundaran HI-nya kota Cairo. Hingga menjelang maghrib, semakin banyak para demonstran yang hadir. Polisi mulai kewalahan untuk mengaturnya.
Saat malam tiba, kerusuhan terjadi. Gedung yang berada di sekitar Tahrir mulai dirusak oleh massa, bahkan ada yang dibakar. Museum Ramses yang menyimpan seluruh benda-benda purbakala Mesir, termasuk di dalamnya ada sekitar 30 mumi dan diantara mumi itu adalah mumi Raja Ramsis II yang konon adalah fir’aun zamannya Nabi Musa juga ikut dijarah dan hendak dibakar oleh massa.
Mesir mengalami revolusi setelah sebelumnya diawali oleh negara Tunisia yang sukses dan Libiya yang dalam proses. Semakin malam, sekitar wilayah Nasr City semakin sepi, apalagi yang menjadi tempat tinggal saya di Toubromly, hanya ada suara-suara anjing liar yang berkeliaran saja, tanpa ada manusia yang lalu Lalang.
Rupanya, saat pagi hari, saya membuka kembali televisi Al-Jazeera dan beberapa televisi yang menyiarkan berita. Dari sekian banyak televisi berita, tidak ada satupun televisi Mesir yang menyiarkan kerusuhan dan demonstrasi yang terjadi di Tahrir Square, apalagi televisi yang dimiliki oleh pemerintah.
Para demontran masih bertahan walaupun semalaman mereka harus berperang dengan gas air mata dan senjata peluru karet dari para polisi usai menghacurkan dan membakar gedung-gedung yang ada di Tahrir Square. Wilayah-wilayah lain selain Cairo masih belum merasakan dampak dari kerusuhan yang ternyata bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Hosni Mubarok yang sudah memerintah sekitar 30 tahun ini.
Beberapa hari para demonstran malah semakin membludak. Tahrir Square menjadi rumah mereka. Tenda-tenda didirikan. Demonstrasi mulai meluas di kota-kota lain selain Cairo, termasuk sampai di wilayah yang menjadi basis berkumpulnya kebanyakan mahasiswa Indonesia di Nasr City, demo terjadi di Mahattah Zahra, hanya sekitar 10 menit berjalan dari rumah tempat saya tinggal.
Dalam kondisi politik yang memanas. Bukan hanya terjadi di Mesir, tapi di banyak negara-negara arab. Pemerintah Indonesia di Syiria yang sudah ramai dengan ISIS memutuskan untuk mengevakuasi seluruh warga yang ada di sana. Di Mesir, pemerintah China, Malaysia, Jerman, dan banyak negara lain sudah mulai mengevakuasi warganya. Indonesia masih belum bergeming.
Saya yang bekerja di pengiriman barang dari Mesir ke Indonesia merasakan imbasnya. Gara-gara dalam kondisi kerusuhan Mesir seperti ini tetap bekerja, saya bersama Omar dan Asif harus berhadapan dengan beberapa kompi militer Mesir yang mendatangi rumah kami yang penuh dengan barang-barang yang hendak dikirim ke Indonesia.
Dengan ditodongkan senjata laras panjang yang pucuknya berupa pisau, saya duduk di antara para tentara itu di mobil militer. Kami diajak ke markaz militer yang paling dekat dari Toubromly. Awalnya saya yang dipanggil untuk diinterogasi, namun Omar yang kebetulan juga dibawa bersama kami, memberikan aba-aba kepada pimpinan militer agar dia saja yang bicara. Omar pernah bertugas wajib militer selama 3 tahun sebelum bekerja bersama kami.

Beberapa jam kami diinterogasi, satu alasan yang membuat rumah kami digerebek adalah akibat laporan dari tetangga atas rumah, entah lantai berapa, yang menelpon pihak militer, karena dia mencurigai adanya aktifitas di lantai satu setiap hari yang ramai lalu lalang orang asing yang membawa barang. Mereka takut barang-barang itu dikumpulkan untuk mensuplay para pendemo di Tahrir Square untuk menggulingkan pemerintah.
Omar berhasil membujuk pimpinan militer yang menginterogasinya. Entah bagaimana cara dia membicarakan perihal aktifitas yang kami lakukan setiap hari di rumah flat apartemen lantai satu untuk mengumpulkan barang-barang dari Mesir yang hendak dikirim ke Indonesia. Sebelum kami digelandang ke markaz militer tadi, banyak sekali karton-karton yang dibuka paksa oleh prajurit militer Mesir dengan menggunakan pisau di ujung senjata laras panjangnya, memastikan tidak ada benda terlarang.
Mesir benar-benar kacau. Kerusuhan semakin meluas. Seluruh aktivitas sekolah dan perkantoran di seluruh negara diliburkan termasuk di Universitas Al-Azhar. Internet sempat diblokir hingga hampir satu minggu. Kami tidak bisa membuka facebook, tidak bisa bermain twitter. Hanya bisa menonton kondisi Mesir lewat televisi dan menonton film yang sudah disimpan di laptop.
Hampir tiap malam, Toubromly yang menjadi wilayah pinggiran sudah sering terjadi tembakan. Bahkan beberapa hari, saya sering menemukan selongsong bekas tembakan peluru yang dilakukan pada malam hari. Kalau malam tiba, orang-orang Mesir juga mulai banyak yang turun ke jalan untuk ronda malam.
Padahal, belum lama, saya bersama Mahmudi dan Asif beberapa bulan yang lalu masih asyik berkeliling wisata di Luxor dan Aswan dan disponsori oleh Menteri pendidikan Mesir. Luxor dan Aswan adalah dua kota bersejarah dan pernah menjadi ibu kota pada masa Fir’aun. Di Luxor ada museum terbuka terbesar sedunia. Kami juga mengunjungi Abu Simbel yang hampir berbatasan dengan Sudan. Saya sudah mencatat banyak artikel sebelumnya tentang perjalanan ini.
Peristiwa penangkapan saya oleh para militer Mesir, saya tuliskan dalam catatan di Kompasiana ini berjudul “Cairo Oh Cairo” dan ternyata viral. Kabar itu sampai di tanah air dan besoknya beberapa kali saya mendapatkan telepon dari beberapa stasiun televisi tanah air untuk mengabarkan kondisi Mesir terkini, beberapa televisi yang menghubungi saya diantaranya adalah Metro TV, TV One, Kompas TV, Jak TV dan SCTV.
Dari sinilah, yang awalnya pemerintah agak cuek dengan kondisi WNI yang ada di Mesir, akhirnya memerintahkan Bapak AM. Fachir yang menjadi Duta Besar Indonesia di Mesir untuk memutuskan evakuasi total seluruh WNI yang ada di Mesir. Saya tidak ikut evakuasi dan tidak mendaftarkannya. Saat ramai evakuasi, awalnya saya mencari tiket pesawat di teman-teman yang ada di Cairo tapi kesulitan mendapatkannya.
Akhirnya seorang teman yang ada Dubai membantu saya, dia membelikan tiket pesawat Emirat untuk saya buat perjalanan dari Mesir ke Dubai dan menuju Jakarta. Ketika pulang di Jakarta, saya bertemu dengan teman-teman blogger Kompasiana di Taman Ismail Marzuki, termasuk diundang Kang Pepih dan Mas Isjet ke kantornya Kompas Gramedia.
Itulah kisah yang pernah saya alami pada tahun 2011 lalu saat Mesir mengalami revolusi. Semua kisah itu, dari peristiwa sebelum rusuh, ketika saya jalan-jalan keliling Mesir di kota Luxor hingga Aswan, temasuk di Bali-nya Mesir yang di Sarm Syeikh dan Hurgada yang ada di Laut Merah, sampai peristiwa kerusuhan yang mengakibatkan kami diinterogasi ke markaz militer dan akhirnya kisah itu viral, semua itu sekarang bisa dinikmati kisahnya di salah satu 3 buku serial “Catatan Perjalanan Mahasiswa Al-Azhar Mesir” berjudul “Cairo Oh Cairo”, sama dengan judul catatan Kompasiana yang dulu juga sempat viral.
Serial “Catatan Perjalanan Mahasiswa Al-Azhar Mesir” terdiri dari tiga buku, pertama berjudul 926 Cairo, kedua berjudul Cairo Oh Cairo, dan yang ketiga berjudul Umroh Koboy. Masing-masing dari buku itu memiliki karakteristiknya sendiri.
Kembali ke pesan pertama tadi bahwa, Musibatu qowmin ‘ala qowmin fawaidu, telah menjadikan saya mendapatkan banyak bahan untuk menuliskan tentang Mesir. Selama di Mesir, saya mengalami 4 kali pergantian presiden. Mulai dari Presiden Hosni Mubarok yang nota bene kalau di Indonesia ibarat zamannya Pak Soeharto.
Lalu kedua menjumpai masa revolusi, digantikan oleh Presiden masa transisi adalah bernama Adli Mansour, selanjutnya digantikan oleh Presiden hasil pemilihan umum yakni Presiden Mohamed Morsi, dan kembali lagi Presiden dari kalangan Militer Mesir yakni Presiden Abdul Fattah As-Sisi. Semua masa pemerintahan memiliki ceritanya masing-masing.
Saya mendapatkan keberkahan hidup di Mesir di semua 4 masa itu. Dengan kondisi pemerintahan yang berbeda-beda itu, saya mendapatkan banyak catatan dan akhirnya alhamdulillah lahirlah 3 buku “Catatan Perjalanan Mahasiswa Al-Azhar Mesir” yang berjudul 926 Cairo, Cairo Oh Cairo, dan Umroh Koboy ini.
Selamat mencari buku itu dan membacanya.[Bisri]
You may like
-
MATAN Gelar Dialog Millenial Bersufi, Habib Husein Ja’far Ajak Anak Muda Bertasawuf
-
Ketum MATAN Sambangi Kader Muda Tarekat Sulawesi Selatan
-
MATAN UNJ Kembali Gelar Ziarah Kubur, Ini Tujuannya
-
Buka Bersama MATAN DKI Jakarta, Fokus Kaderisasi dan Pendidikan
-
Sebuah Orientasi Berpikir Kenapa Perlu Ada MATAN di Daerah
-
Cetak Kader Penulis, JATMAN Online Gelar Pelatihan Jurnalis Muda JOL

Cinta adalah realitas abadi, tapi ia cenderung memudar dan menghilang. Karena manusia jatuh cinta pada pantulan cahaya sang kekasih. Cinta sejati bergantung pada pemahaman. Pecinta harus mampu membedakan emas dan kilaunya. – Jalaluddin Rumi –
Laksana pasir pantai yang diterpa pasang surutnya ombak, tak pernah mengeluh tentang datang perginya deraian air laut. Begitulah kiranya ridha hamba kepada segala ketentuan-Nya, karena ridha merupakan salah satu dari sekian banyak buah cinta.
Dalam pembahasan tasawuf, ridha sebagai salah satu maqam atau jalan untuk menuju dan sampai wushul kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ibn Athaillah al-Sakandary mendefinisikan ridha sebagai tenangnya hati atas semua pilihan Allah didasari dengan keyakinan bahwa semua ketentuan Allah adalah yang terbaik baginya dan tidak membencinya sama sekali.
Sedangkan menurut Abi Ali al-Daqqaq, ridha bukan berarti tidak merasakan derita yang menimpa, akan tetapi ridha adalah tidak menolak takdir dan keputusan Allah. Pembahasan ridha juga termaktub dalam Al-quran surah al-Bayyinah yang berbunyi “Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya”.
Setiap manusia pasti merasakan manis pahitnya perjalanan hidup, karena itu sudah menjadi takdir Allah. Manusia diberi akal dan kekuatan untuk berikhtiar sedangkan untuk hasil kita bertawakkal kepada Allah. Karena segala sesuatu yang menciptakan adalah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa bagi orang yang mengakui keberadaan Allah Subhanahu wa ta’ala. dan mengakui bahwa cinta dapat menimbulkan duka tentu akan mengakui bahwa cinta dapat melahirkan ridha terhadap apa saja perbuatan kekasih hati pada dirinya.
Hal ini bisa terjadi karena jika hati sudah menyatu dengan sesuatu yang telah menguasainya secara penuh, maka ia tidak peduli dengan selain sesuatu tersebut. Selain itu, dengan adanya setitik cinta pada hatinya, pasti dia berpikir bahwa di balik semua yang menimpanya itu semata-mata hanya karena cinta.
Cinta dan ridha adalah dua hal yang tidak rasional di mata orang yang belum merasakannya, akan tetapi menjadi rasional jika sudah sampai titik tersebut. Karena jika cinta sudah menguasai seseorang maka ia akan menaklukan segalanya. Orang yang lebih mencintai kekasihnya daripada kemalasan, niscaya akan meninggalkan kemalasan demi kekasihnya. Orang yang lebih mencintai kekasihnya daripada harta bendanya, ia akan berani meninggalkan harta bendanya demi kekasihnya.
Dalam perjalanan cinta, jika sudah sampai pada titik uns atau keintiman spiritual, maka ia akan merasakan kegembiraan dan kebahagiaan hati karena telah menyaksikan keindahan. Ketika kegembiraan dan kebahagiaan hati sudah menguasai, tidak peduli dengan sesuatu yang menghilang, juga tidak peduli dengan kekhawatiran akan menghilang, maka kenikmatan yang ia rasakan akan memuncak.
Buku ini merupakan terjemahan dari kitab Mahabbah wa al-Syawq wa al Uns wa al-Riha karya Imam al-Ghazali (450-505). Buku ini berisi tentang kisah-kisah para ulama yang sudah sampai di titik mahabbah atau cinta kepada Allah dan juga berisi tentang perumpamaan-perumpamaan dalam penjabaran setiap pembahasan. Bagi Sebagian orang mungkin buku ini bisa dipahami dengan mudah, akan tetapi bagi sebagiannya lagi, perlunya pemahaman lebih dalam memahami buku ini.
Judul Buku: Rindu tanpa Akhir
Penulis: Imam al- Ghazali
Penerjemah: Asy’ari Khatib
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Tahun Terbit: Cet. II Agustus 2006
Oleh: Khoirul Muthohhirin (UIN Walisongo Semarang)
Editor: Arip Suprasetio

“Ilmu tasawuf itu tidak didapat dari pembahasan lisan, akan tetapi dari sesuatu yang dirasakan dan ditemukan dalam hati. Tidak digali dari buku, akan tetapi dari ahli rasa. Tidak diraih dari diskusi dan seminar, akan tetapi dari berkhidmah dan berguru kepada orang-orang yang sempurna,” (KH. Ahmad Asrori).
Munculnya agama Islam menjadi jawaban atas rusaknya peradaban pada masa Jahiliyyah, bahkan sampai saat ini konsep ajaran Islam relevan untuk dibumikan dan dijadikan pedoman hidup, hal itu dibuktikan dengan adanya trilogi ajaran Tuhan yang termaktub dalam ajaran Islam, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan, dimana tiga pondasi tersebut mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam memahami trilogi ajaran Islam, posisi iman sebagai pondasi teologi, islam sebagai pondasi dalam menjalankan syari’at, maka ihsan sebagai jalan tasawuf. Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan yang ditempuh seseorang dalam dalam mengetahui dan melawan nafsu. Pembahasan tasawuf berkaitan dengan ruhaniyah manusia, aspek-aspek moral serta tingkah laku untuk menuju dan sampai (wushul) ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagai orang awam dengan segala keterbatasan ilmu dan pemahaman mengenai jalan untuk menuju dan wushul ke hadirat Allah, maka perlu adanya ilmu dan metode untuk meraihnya, dalam hal ini para sufi (ahli tasawuf) memiliki suatu konsepsi untuk wushul, konsep ini merupakan latihan-latihan ruhani yang dilakukan secara bertahap. Latihan-latihan ini sering dikenal dengan istilah maqamat serta ahwal. adapun bentuk-bentuk maaqamat di antaranya adalah taubat, zuhud, wara’, tawakal, sabar, rida, ikhlas, dan khauf.
Dalam buku ini, Kiai Asrori memiliki konsepsi maqamat yang berbeda dengan para tokoh sufi lainnya, jika para ulama sufi menjelaskan bahwa maqamat pertama adalah taubat kemudian maqamat berikutnya harus ditempuh secara berurutan. Sedangkan menurut Kiai Asrori menuturkan bahwa maqamat itu pilihan, tidak harus dilakukan secara berurutan. Hal ini disebabkan karena perjalanan ruhani setiap orang itu berbeda, tergantung dengan hal yang diberikan Allah kepada orang tersebut. Maka setelah menempuh maqam taubat sebagai maqam pertama, salik bisa melanjutkan menempuh jalan sufistiknya melalui maqam mana yang ia mampu.
Selain itu, dalam konsepsi maqamatnya, Kiai Asrori memperkenalkan istilah Al maut al ikhtiyari (kematian yang dapat diusahakan) atau dapat diartikan dengan mematikan hawa nafsu. Menurut beliau, siapapun tidak bisa wushul kepada Allah kecuali mengalami salah satu dari dua kematian, yaitu matinya jasad atau matinya hawa nafsu.
Lebih lanjut Kiai Asrori menjelaskan bahwa ada dua usaha untuk meraih maqamat, yaitu dengan usaha yang didasari dengan kelapangan hati dan menyiapkan hati untuk menerima anugerah dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Penjabaran konsep maqamat Kiai asrori dalam buku ini tidak selesai pada teori saja, akan tetapi sampai pada implementasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam upaya mematikan hawa nafsu, Kiai Asrori menganjurkan untuk tidak mengonsumsi makanan atau minuman yang bernyawa, atau campuran unsur hayawani dalam proses pembuatannya. Dalam ritual jawa perbuatan semacam ini disebut mutih atau tarak.
Kedua, jika berbuka puasa tidak langsung makan makanan yang berat, melainkan cukup dengan air putih dengan beberapa kurma. Ketiga, membaca surah Al Insyirah setiap pagi dan sore setelah salat subuh dan ashar sebanyak tujuh kali sambil meletakkan telapak tangan kanan di bawah susu kiri. Hal ini bermaksud untuk membuat hati menjadi lapang, tidak mudah marah dan tersinggung, dan mudah menerima semua takdir Allah subhanahu wa ta’ala.
Buku yang bisa dijadikan media untuk belajar tasawuf, menjadi obat di kala gundah, dan kabar gembira bagi yang mengalami kesedihan. Selain itu, buku ini mudah dipahami bagi kalangan manapun karena menggunakan bahasa yang ringan.
Judul Buku : Konsep Sufistik KH. Ahmad Asrori Al Ishaqy
Penulis : Rosidi a.k.a Abdur Rosyid
Penerbit : Bildung
Tahun Terbit : Cetakan Pertama 2019
Tebal : xviii+132 Halaman; 14 x 20.5 cm
Oleh: Khoirul Muthohhirin (UIN Walisongo)
Editor: Arip Suprasetio
Resensi
Buku Pendidikan Tasawuf Abuya; Mengupas Konsep dan Geneologi Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh
Published
1 year agoon
25/07/2022By
Hardianto
Buku “Pendidikan Tasawuf Abuya” karya Dr. Dicky Wirianto yang diterbitkan oleh Bandar Publishing, merupakan sebuah karya yang menyajikan Konsep dan Geneologi Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh. Tokoh utama yang dijelaskan adalah masyayikh dari ulama-ulama Aceh, yaitu Syekh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.
Buku ini sangat menarik dan ada beberapa alasan yang mendorong penulis berusaha menerbitkan buku ini. Pertama, buku ini menjelaskan secara spesifik tentang Syekh Muhammad Waly Al-Khalidi sebagai pelopor Tarekat Naqsyabandiyah al-Waliyah di Aceh pada Abad 20 yang bertempat di Dayah, Labuhan Haji Aceh Selatan. Karya ini merupakan kajian mendalam dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para penulis sebelumnya, sehingga dengan penerbitan buku ini, maka hasil penelitian tersebut akan memberi manfaat maksimal bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang Pendidikan Islam, Tasawuf dan Ilmu Agama Islam lainnya.
Kedua, kehadiran buku ini diharapkan akan memberikan sumbangan signifikan dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran di Fakultas pada Perguruan Tinggi. Apalagi, peningkatan kualitas pembelajaran adalah salah satu bagian komitmen penting dalam rangka mewujudkan pendidikan tinggi yang berkualitas bagi masyarakat Indonesia. Dengan adanya buku ini, diharapkan akan memperkaya informasi dan akan ilmu baru yang didapatkan dari hasil penelitian.
Naskah buku ini berisikan uraian komprehensif tentang kajian ketasawufan di Nusantara, terutama di Aceh termasuk di dalamnya akan menguraikan bagaimana peran Syekh Muhammad Waly Al-Khalidi sebagai pelopor Pendidikan Tasawuf di Indonesia, dan Aceh khususnya.
Prof. Jamhari, MA., Guru Besar Fakultas Imu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia). Dalam sebuah pengantarnya menuliskan sebagai berikut:
”Van Bruinessen memaparkan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah masuk ke Indonesia mula-mula muncul pada paruh abad ke-17 dan orang pertama yang mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyah ini diketahui adalah Syekh Yusuf Al-Makassari. Selanjutnya tarekat ini berkembang ke beberapa daerah seperti Banten, Bogor, Cianjur di mana seorang guru dari Banten mengangkat seorang khalifah di dua daerah ini. Kemudian belakangan diketahui di penghujung abad ke-18, atau awal abad 19, tarekat ini ditemukan di beberapa daerah. Seperti Jawa Tengah dan Pengikut yang banyak di Sumatera dan Aceh.”
Penyebaran Tarekat Naqshabandiyah di Aceh dibawa oleh Syekh Muhammad Waly Al-Khalidy melalui jalur Syekh Abdul Ghani Al-Kamfari dari Batu Bersurat Riau. Kehadiran buku ini telah menjelaskan peran dan strategi penyebaran tarekat ini melalui murid-murid dan khalifah Syekh Muhammad Waly yang tersebar di beberapa daerah seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan dan sebagian wilayah pesisir Aceh. Semoga kehadiran buku ini dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya tentang tarekat.
Penulis: Hardianto
Editor: Khoirum Millatin

Hirarki Kemursyidan dalam Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah

Apakah Seorang Salik itu Boleh Mendawamkan Zikir Di Luar Zikir Thariqahnya?

Hadiri Ngaji Bulanan Pesma Daarusshohabah, Kiai Nafi Jelaskan Pentingnya Tasawuf
Habib Luthfi bin Ali bin Yahya
Anugerah Gelar DHC Abah
Arsip
- September 2023 (35)
- August 2023 (68)
- July 2023 (63)
- June 2023 (62)
- May 2023 (71)
- April 2023 (54)
- March 2023 (66)
- February 2023 (61)
- January 2023 (72)
- December 2022 (60)
- November 2022 (68)
- October 2022 (66)
- September 2022 (68)
- August 2022 (61)
- July 2022 (73)
- June 2022 (74)
- May 2022 (72)
- April 2022 (67)
- March 2022 (89)
- February 2022 (85)
- January 2022 (89)
- December 2021 (72)
- November 2021 (36)
- October 2021 (6)
- September 2021 (15)
- August 2021 (14)
- July 2021 (15)
- June 2021 (20)
- May 2021 (15)
- April 2021 (20)
- March 2021 (15)
- February 2021 (30)
- January 2021 (62)
- December 2020 (95)
- November 2020 (101)
- October 2020 (72)
- September 2020 (41)